Salam Ta'aruf

Allah telah membuktikan firmannya :
"Qul Hal Yastawilladzina Ya'lamuna wal Ladzina la Ya'lamuun"....
ayat tersebut merupakan anjuran kepada manusia agar supaya kita menjadikan ILMU sebagai sesuatu yang paling berharga dan tameng dalam hidupnya.
dengan Ilmu manusia bisa menggapai segala-galanya, dengan ilmu manusia bisa meraih apa yang dicita-citakannya, dengan ilmu manusia mampu menerobos angkasa, dan masih banyak lagi.
Allah menjamin dengan Jaminan yang Pasti, bahwanya terdapat perbedaan yang sangat besar antara orang yang berilmu dan tidak berilmu, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. begitu juga dalam menghadapi dan menyelesaikan sebuah permasalahan. orang berilmu menggunakan ilmu sebagai paradigma atau "pisau analisnya" melalui akal yang diberikanNya, sedangkan orang yang tidak berilmu mengambil cara pintas, dengan tanpa menganilasa sebab dan akibat yang akan ditimbulkannya.
Subhanallah, ternyata mahligai Ilmu dapat diraih dengan tafakkur, tadabbur, sehingga membawa manusia kepada kebahagian lahir dan batin yang menjadi idaman setiap manusia yang hidup di muka bumi ini.
Ingin bahagia lahir batin, dan dunia akhirat... dapatkan...carilah Ilmu....
Ingat.... Ilmu Allah sangat luas

Standar Nasional Pendidikan

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM MEMENUHI STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
Oleh : H. Hasan Baharun, M. Pd
A.      Pendahuluan
Pendidikan adalah sesuatu yang sangat esensial bagi manusia. Melalui pendidikan, manusia bisa belajar menghadapi alam semesta demi mempertahankan kehidupannya. Mengingat pentingnya pendidikan, Islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang penting dan tinggi dalam doktrin Islam. Hal ini bisa dilihat dalam al-Qur'an dan al-Hadits yang banyak menjelaskan tentang arti pendidikan bagi kehidupan umat Islam sebagai hamba Allah dan kholifah fil a'rdh.
Berbicara tentang pendidikan dalam Islam tidak bisa lepas dari sejarah sebagai suatu pedoman berpijak dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas dari pendidikan. Para tokoh terdahulu dalam bidang pendidikan telah banyak memberikan suatu konsep keilmuan guna merekonstruksi terhadap tatanan yang kurang mapan pada masanya, sehingga berkat pemikirannya yang cemerlang dalam bidang pendidikan dapat kita gunakan sebagai pedoman untuk membedah fenoma pendidikan kita dewasa ini.
Seiring perkembangan zaman, pendidikan, khususnya di Indoensia mengalami berbagai macam tantangan, khususnya terkait dengan pengelolaan dan peningkatan mutu pendidikan yang merupakan harapan masyarakat terhadap dunia pendidikan dewasa ini. Besarnya harapan masyarakat terhadap pendidikan, di satu sisi merupakan bentuk kepedulian dan kerjasama masyarakat terhadap eksistensi pendidikan. Sedangkan di sisi lain harapan tersebut merupakan sebuah kritik konstruksif terhadap decicion maker – dalam hal ini pemerintah – terhadap pelaksanaan pendidikan yang kurang merata dan terhadap arah pengembangan pendidikan di Indonesia.
Menghadapi berbagai tuntutan tersebut, akhirnya pemerintah membentuk Badan Nasional Standar Pendidikan sebagai lembaga penjamin dan pengendali mutu pendidikan di Indonesia. Sebagai lembaga penjamin dan pengendali mutu pendidikan, tentunya Badan Standar Nasional Pendidikan memiliki standarisasi-standarisasi yang diberlakukan kepada lembaga pendidikan di Indonesia dalam system penyelenggaraan kependidikannya. Standarisasi pendidikan di dalam pelaksanaannya ternyata bukan hanya sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai pemerataan pendidikan yang bermutu.
B.       Standar Pendirian dan Pengorganisasian
1.      Standar Pendirian Lembaga Pendikan Islam
Lembaga Pendidikan (baik formal, non formal atau informal) adalah tempat transfer ilmu pengetahuan dan budaya (peradaban). Melalui praktik pendidikan, peserta didik diajak untuk memahami bagaimana sejarah atau pengalaman budaya dapat ditransformasi dalam zaman kehidupan yang akan mereka alami serta mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan dan tuntutan yang ada di dalamnya.
Tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa, dewasa lembaga pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap corak dan karakter masyarakat. Belajar dari sejarah perkembanganya lembaga pendidikan yang ada di Indonesia memiliki beragam corak dan tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang melingkupi, mulai dari zaman kerajaan dengan bentuknya yang sangat sederhana dan zaman penjajahan yang sebagian memiliki corak ala barat dan gereja, dan corak ketimuran ala pesantren sebagai penyeimbang, serta model dan corak kelembagaan yang berkembang saat ini tentunya tidak terlepas dari kebutuhan dan tujuan-tujuan tersebut[1].
Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989. Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998.
Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang SISDIKNAS yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.
Sebagai sistem sosial, lembaga pendidikan harus memiliki fungsi dan peran dalam perubahan masyarakat menuju ke arah perbaikan dalam segala lini. Dalam hal ini lembaga pendidikan memiliki dua karakter secara umum. Pertama, melaksanakan peranan fungsi dan harapan untuk mencapai tujuan dari sebuah sitem. Kedua mengenali individu yang berbeda-beda dalam peserta didik yang memiliki kepribadian dan disposisi kebutuhan[2].
Seiring dengan meningkatnya perkembangan penduduk secara kuantitatif, dunia pendidikan dihadapkan pada persoalan baru, yaitu minimnya jumlah lembaga pendidikan yang tersebar di berbagai penjuru tanah air bila dibandingkan dengan rasio jumlah penduduk Indonesia. Banyak masyarakat yang tidak bisa mengenyam pendidikan formal dikarenakan jauhnya jarak tempuh yang harus dilalui oleh peserta didik guna mendapatkan secercah ilmu dan harapan untuk bisa bersekolah.
Problematika tersebut dipandang serius oleh pemerintah, sehingga pemerintah memberikan kemudahan kepada penyelenggara pendidikan untuk memberikan pelayanan pendidikan melalui pendirian lembaga pendidikan formal maupun non formal di beberapa daerah guna memberikan pemerataan pendidikan kepada masyarakat. Berbagai kemudahan yang dijadikan kebijakan pemerintah tersebut berlandaskan pada ;
a)      Undang-Undang Tahun No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
b)      Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Sekolah
c)      Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 261/u/1999 tentang Penyelenggaraan Khusus
Melalui kebijakan yang berlandaskan peraturan tersebut di atas, pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kementrian Agama memberikan persyaratan minimal yang harus dimiliki oleh penyelenggara pendidikan untuk mendirikan lembaga pendidikan baru, khususnya lembaga pendidikan Islam. Adapun persyaratan pendirian lembaga pendidikan Islam meliputi ;
a)      Diselenggarakan oleh Penyelenggara Madrasah yang bersifat sosial dan tidak mengarah kepada sifat mencari keuntungan.
b)      Penyelenggaraan Madrasah harus mempunyai Program Pendidikan yang jelas.
c)      Melaksanakan kurikulum yang ditetapkan dan atau oleh Departemen Agama.
d)     Pada saat Pembukuan Madrasah Swasta harus memiliki Kepala Sekolah dan tenaga pengajar tetap yang diangkat oleh Penyelenggara Madrasah.
e)      Tersedia murid / siswa yang memenuhi syarat sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang.
f)       Tersedia gedung / ruang belajar dengan tidak menempati serta menggunakan fasilitas Madrasah / sekolah milik Pemerintah.
g)      Tersedia sarana pendidikan yang memenuhi persyaratan.
Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan bentuk apresiasi pemerintah dalam rangka pemerataan pendidikan, dan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat melalui pendidikan sebagai wujud dari pengamalan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Langkah baik ini akan bisa dirasakan oleh masyarakat, manakala pendirian lembaga pendidikan benar-benar diarahkan untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas dan berdaya saing, sehingga mampu menghilangkan buta aksara dan mengangkat mutu pendidikan yang ada di Indonesia.
Maraknya lembaga pendidikan yang bermunculan dewasa ini, harus dikaji secara mendalam oleh pemerintah, mengingat apresiasi masyarakat terhadap pendirian lembaga pendidikan baru sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena lembaga pendidikan bisa dijadikan sebagai “lahan baru” untuk mencari pekerjaan bagi para penyelenggara pendidikan melalui bantuan-bantuan yang diberikan oleh pemerintah, baik oleh pemerintah daerah, propensi dan pemerintah pusat.
Bantuan Operasional Siswa (BOS) misalnya, Dana Rehab, Dana Ruang Gedung Baru (RKB) dan proyek-proyek bantuan lain, ternyata faktor inilah yang dijadikan “landasan” untuk mendirikan lembaga pendidikan baru, dengan artian penyelenggara pendidikan ingin meraup keuntungan dengan dalih “penciptaan lembaga pendidikan baru”, tanpa mempertimbangkan aspek peningkatan mutu pendidikan. Hal ini berimplikasi pada maraknya persaingan “kurang sehat” antar beberapa lembaga pendidikan, karena hanya berorientasi pada kuantitas siswa, bukan pada kualitas siswa dan lembaga pendidikan yang diselenggarakannya.
Oleh karena itu, hendaknya pemerintah harus mengevaluasi terhadap adanya usulan-usulan pendirian lembaga pendidikan baru yang diselenggarakan oleh berbagai pihak melalui standarisasi pendirian lembaga pendidikan (studi kelayakan, manajemen perencanaan dan standar fasilitas dll), apakah orientasi pendirian itu bersifat mencari keuntungan atau benar-benar ingin meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
2.      Standar Pengorganisasian Lembaga Pendidikan Islam
Dalam pelaksanaan manajerial pada lembaga pendidikan Islam, organizing atau pengorganisasian memegang peranan penting dalam rangka penentuan dan pengaturan sumber daya dan kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan sebuah organisasi[3].
Fungsi pengorganisasian dalam lembaga pendidikan sangatlah penting karena fungsi tersebut dapat memberi kerangka kerja untuk melaksanakan rencana-rencana yang telah ditetapkan. Pengorganisasian merupakan pengelompokan aktivitas tersebut yang penting untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Pengorganisasian mencakup penugasan manajer untuk mensupervisi kinerja aktivitas-aktivitas tersebut, sebagaimana mereka harus memantapkan hubungan supervisor bawahan yang penting. Hubungan-hubungan ini diperlukan untuk mencapai koordinasi struktural baik secara vertikal dan lateral.
Secara prinsipil, pengorganisasian pada lembaga pendidikan mengacu pada;
ü  Pengembangan ilmu murni dalam pengelolaan, disertai dangan hukum, aturan dan prinsip yang dinyatakan secara ielas untuk mengganti metode tradisional.
ü  Seleksi, pelatihan, dan pengembangan karyawan dilakukan secara ilmiah; dimana of workers; sementara karyawan masa lampau dipilih secara acak dan sering tidak terlatih.
ü  Kerjasama secara sungguh-sungguh dengan para karyawan untuk meyakinkan bahwa semua pekerjaan/tugas dikerjakan sesuaidangan prinsip-prinsip ilmiah.
ü  Pembagian dan tanggungjawab secara sama antara karyawan dan manajemen.
Menurut system persekolahan di negara kita, pada umumnya kepala sekolah merupakan jabatan yang tertinggi disekolah itu sehingga dengan demikian kepala sekolah memegang peranan dan pimpinan segala sesuatunya yang berhubungan dengan tugas sekolah kedalam maupun keluar. Maka dari itu dalam struktur organisasi sekolah pun kepala sekolah biasanya didudukkan ditempat yang paling atas.
Faktor lain yang menyebabkan perlunya organisasi sekolah yang baik adalah karena tugas-tugas guru-guru tidak hanya mengajar saja, juga pegawai-pegawai tata usaha-usaha, pesuruh dan penjaga sekolah, dan lain-lain, semuanya harus bertanggung jawab dan diikut sertakan dalam menjalankan roda sekolah itu secara keseluruhan. Dengan demikian agar jangan terjadi over lapping (tabrakan) dalam memegang atau menjalankan tugasnya masing-masing, diperlukan organisasi sekolah yang baik dan teratur.
Dengan organisasi sekolah yang baik dimaksudkan agar pembagian tugas dan tanggung jawab dapat merata pada semua orang sesuai dengan kecakapan dan fungsinya masing-masing. Tiap orang mengerti dan menyadari tugasnya dan tempatnya didalam struktur organisasi itu. Dengan demikian dapat dihindari pula adanya tindakan yang sewenang-wenang atau otoriter dari kepala sekolah, dan sebaliknya dapat diciptakan adanya suasana yang demokratis didalam menjalankan roda sekolah itu[4].  
Bagaimana susunan organisasi sekolah yang baik yang dapat berlaku bagi semua jenis sekolah, tidak dapat ditentukan. Tiap-tiap sekolah memerlukan susunan organisasi yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Ini tergantung kepada keadaan dan kebutuhan sekolah masing-masing. Namun demikian, bagi sekolah-sekolah yang sejenis perlu adanya pola keseragaman dalam susunan organisasi sekolahnya.
Adapun beberapa factor yang dapat mempengaruhi perbedaan-perbedaan dalam organisasi sekolah, antara lain :
ü  Besar kecilnya sekolah
ü  Letak gegrafis sekolah
ü  Jenis dan tingkatan sekolah
Kerangka kerja konseptual yang terbaik dan harus dilaksanakan oleh lembaga pendidikan Islam adalah dengan menggunakan pengorganisasian “system terbuka” (open System)[5]. Suatu system dikatakan “terbuka”, jika mempunyai transaksi dengan lingkungan mana ia berada. Transaksi antar suatu organisasi dengan lingkungannya mencakup “in put” dan “out put”. In put biasanya dalam bentuk informasi, energi, uang, pegawai, material dan perlengkapan yang diterima organisasi dari lingkungannya. Out put organisasi pada lingkungannya dapat berbentuk macam-macam tergantung pada sifat organisasi. Sebagian besar out put berasal dari in put yang diolah oleh organisasi.
Organisasi sebagai system terbuka atau sebagai system social, berarti organisasi melibatkan orang, yang pada akhirnya organisasi ini bergantung kepada usaha orang-orang itu untuk tampil atau berperilaku. Meskipun orang-orang merupakan sumber daya manusia dari organisasi, tetapi organisasi adalah lebih daripada manusia itu sendiri. Organisasi juga meliputi peralatan, mesin, perlengkapan, sarana, fasilitas dan dana yang memungkinkan orang-orang untuk menghasilkan barang atau pelayanan[6].
Dalam sistem penyelenggaraan lembaga pendidikan Islam, ternyata untuk mengaplikasikan sistem pengorganisasian secara baik dan benar sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen belum sepenuhnya berjalan maksimal. Hal ini disebabkan karena budaya organisasi yang diterapkan di lembaga pendidikan Islam banyak yang mengadopsi sistem “manajemen tertutup” dan bersifat top-down, sehingga kurang memberikan keleluasaan kepada bawahan dalam bekerjasama dan memberikan konstribusi pengembangan lembaga ke arah yang lebih maju.
Disamping itu, maraknya budaya monopoli yang ada dalam pelaksanaan manajemen di lembaga pendidikan Islam. Betapa tidak, budaya tersebut mengindikasikan adanya ketidak percayaan atasan terhadap bawahan terkait beberapa hal, sehingga menyebabkan kurang harmonisnya sistem organisasi yang berkembang, yang berimplikasi pada kurang maksimalnya kinerja dan hasil yang inginkan.
C.      Standar Nasional Pendidikan : Tinjauan Kritis
Pendidikan sebagaimana termaktub Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 03 berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serat bertanggung jawab[7].
Mengingat pentingnya pendidikan dalam menumbuhkembangkan potensi peserta didik, maka diperlukan standarisasi dari pelaksanaan pendidikan yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga pendidikan, melalui standarisasi pendidikan nasional yang merupakan landasan pengukuran keberhasilan bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Standar Nasional Pendidikan dalam hal ini berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu[8]. Jadi standar nasional pendidikan berfungsi sebagai acuan penyelenggara pendidikan untuk mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi dan sertifikasi.
Peraturan pemerintah nomer 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan merupakan pelaksanaan dari undang-undang nomer 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ditetapkannya PP no 19 tersebut menginsyaratkan betapa pentingnya standar yang terkait dengan masalah pendidikan yang dapat dijadikan rujukan bagi siapapun yang berkepentingan terhadap masalah pendidikan di Indonesia. Peraturan pemerintah ini juga mengatur dan menetapkan berbagai standar dalam pendidikan yang dijadikan panduan ataupun pelaksanaan pendidikan. Dalam pasal 1 ayat (17) Undang-unang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Yungto pasal 1 ayat 91 PP No. 19 tahun 2005 dinyatakan bahwa ligkup standar nasional pendidikan meliputi 8 standar[9], yaitu ;
1.      Standar isi
Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standarisasi ini memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kalender pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional  Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a.       kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b.      kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c.       kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d.      kelompok mata pelajaran estetika;
e.       kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
Sedangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta  panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut; 1) berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, 2) beragam dan terpadu, 3) tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,  teknologi, dan seni, 4) relevan dengan  kebutuhan kehidupan, 5) menyeluruh dan berkesinambungan, 6) belajar sepanjang hayat, 7) seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah,
Sedangkan pelaksanaan kurikulum di setiap satuan pendidikan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut;
a.       Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan menyenangkan.
b.      Kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
c.       Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral.
d.      Kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang memberikan daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan contoh dan teladan).
e.       Kurikulum dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang jadi guru (semua yang terjadi, tergelar dan berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan).
f.       Kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal.
g.      Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antarkelas dan jenis serta jenjang pendidikan.
Selanjutnya, beban belajar yang diatur pada ketentuan ini adalah beban belajar sistem paket pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sistem Paket adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya diwajibkan mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban belajar yang sudah ditetapkan untuk setiap kelas sesuai dengan struktur kurikulum yang berlaku pada satuan pendidikan. Beban belajar setiap mata pelajaran pada Sistem Paket  dinyatakan dalam  satuan jam pembelajaran.
Kemudian, kurikulum satuan pendidikan pada setiap jenis dan jenjang diselenggarakan dengan mengikuti kalender pendidikan pada setiap tahun ajaran. Kalender pendidikan adalah pengaturan waktu untuk kegiatan pembelajaran peserta didik selama satu tahun ajaran yang mencakup permulaan tahun pelajaran, minggu efektif belajar, waktu pembelajaran efektif dan hari libur.
Standar isi yang ditentukan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan bukan berarti kebenarannya mutlak dan tidak dapat dikritisi, akan tetapi terdapat beberapa hal yang harus dibenahi dan dikembangkan, guna dijadikan sebagai penyempurna pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Hal yang menjadi perhatian dari standar isi disini adalah tentang kelompok mata pelajaran agama dan akhlaq mulia.
Mengingat pentingnya kelompok mata pelajaran ini, khususnya dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam, terdapat beberapa hal yeng perlu dikritisi terkait dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang menjadi acuan pengembangannya. Diantaranya adalah pada mata pelajaran PAI yang diajarkan di SMP/MTs terdapat pelajaran Hadits (al-Qur’an dan Hadits), akan tetapi yang lebih ditojolkan adalah tentang al-Qur’an saja, sedangkan pembelajaran tentang Haditsnya sangat minim. Begitu juga dengan SK/KD di SD/MI dan SMA/MA pembelajaran Hadits tidak nampak sama sekali. Sehingga dalam penelitian Muhaimin[10], dijelaskan bahwa hal ini menunjukkan tidak ada sinkronisasi antara SKL dengan SK dan KD.
Selanjutnya pada jenjang SMP/MTs, SK/KD pada matri al-Qur’an Hadits lebih menonjolkan aspek tajwid, terutama dari kelas VII sampai kelas VIII semester Ganjil dan Genap, sehingga pembelajaran al-Qur’an terkesan kurang memperhatikan fungsinya sebagai hudan dan furqan.
Tidak ada sinkronisasi antara SKL dan SK/KD juga nampak pada pelajaran Fiqih di SD/MI, yang mana pada SKL tertuang ”mengenal dan melaksanakan rukun Islam mulai dari bersesuci (thaharah) sampai zakat serta mengetahui tata cara pelaksanaan ibdah haji”. Padahal di dalam SK/KD nya masih belum memasukkan haji[11].


Hal lain yang nampak dalam analisis tentang standar isi ini adalah, masih terdapatnya over lapping[12] antara materi aqidah akhlaq dan al-Qur’an Hadits. Padahal masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, al-Qur’an Hadits menekankan kepada kemampuan baca tulis yang baik dan benar, memahami makna secara tekstual dan konteksual, serta mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan aqidah, menekankan kepada kemampuan memahami, membela dan mempertahankan keyakinan/keimanan yang benar serta menghayati dan mengamalkan nilai-nilai al-asma’ul husna.
2.      Standar Proses
Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada sa­tuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester.
Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajar­an, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pem­belajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompe­tensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembela­jaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.
Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran.
Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram dengan menggunakan tes dan nontes dalam ben­tuk tertulis atau lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, portofolio, dan penilaian diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan Standar Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran.
Dalam penyelenggaraan standar proses di beberapa lembaga pendidikan, terdapat pelaksanaan yang tidak sesuai dengan prosedur seperti yang telah diamanatkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. Hal ini nampak dalam beberapa hal, misalnya dalam perencanaan pembelajaran. Dari realita di lapangan, ternyata banyak guru yang belum sadar akan pentingnya sebuah perencanaan dalam pembelajaran, apalagi membuat dan merampungkan rencana pembelajarannya. Asumsi ini dilatarbelakangi oleh lemahnya motivasi mereka untuk membuat dan melaksanakan perencanaan dalam pembelajaran, baik motivasi secara internal maupun eksternal. Yang terjadi justeru, mereka hanya menjiplak (copy paste) perencaaan pembelajaran yang telah ada, padahal perencaan yang ada belum tentu sesuai dengan kompetensi guru yang bersangkutan, terkait dengan penggunaan pendekatan, metode, penggunaan media, penentuan strategi evaluasi dan karakteristik peserta didik serta lingkungan lembaganya.
Disamping itu, dalam penentuan Kriteria Ketuntasan Minimal sebagai standar patokan untuk setiap mata pelajaran, WK. Kurikulum dan guru dalam penentuannya banyak yang tidak sesuai dengan prosedur yang digariskan oleh BNSP. Banyak guru yang hanya sekedar mematok Standar Kriteria Ketuntasan Minimal tanpa melalui analisis secara benar dan prosedural, dengan anggapan ”yang penting terdapat KKM dan bisa dijadikan sebagai landasan untuk akreditasi dan nilainya tinggi”, sehingga pemberian nilai ketika evaluasi semester Ganjil dan Genap terkesan ”NGAJI” (ngarang biji).


3.      Standar Kompetensi Lulusan
Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam hal ini, standar kompetensi lulusan dibagi menjadi dua ;
a)      Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) dikembangkan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan, meliputi ;
ü  Pendidikan Dasar, yang meliputi SD/MI/SDLB/Paket A dan SMP/MTs./SMPLB/Paket B bertujuan: Meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
ü  Pendidikan Menengah yang terdiri atas SMA/MA/SMALB/Paket C bertujuan: Meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
ü  Pendidikan Menengah Kejuruan yang terdiri atas SMK/MAK bertujuan: Meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya
b)      Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SK-KMP) terdiri atas kelompok-kelompok mata pelajaran; 1) Agama dan Akhlak Mulia, 2)  Kewarganegaraan dan Kepribadian, 3) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 4) Estetika, 5) Jasmani, Olah Raga,  dan Kesehatan.
Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SK-KMP) dikembangkan berdasarkan tujuan dan cakupan muatan dan/ atau kegiatan setiap kelompok mata pelajaran, yakni:
ü  Kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia bertujuan: membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Tujuan tersebut dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga, dan kesehatan.
ü  Kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian bertujuan: membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani.
ü  Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bertujuan: mengembangkan logika, kemampuan berpikir dan analisis peserta didik.
1)        Pada satuan pendidikan SD/MI/SDLB/Paket A, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal yang relevan,
2)        Pada satuan pendidikan SMP/MTs/SMPLB/Paket B, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, dan/atau teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan
3)        Pada satuan pendidikan SMA/MA/SMALB/Paket C, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan
4)        Pada satuan pendidikan SMK/MAK, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan, kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan
ü  Kelompok mata pelajaran Estetika bertujuan: membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan.
ü  Kelompok mata pelajaran Jasmani, Olah Raga,  dan Kesehatan bertujuan: membentuk karakter peserta didik agar sehat jasmani dan rohani, dan menumbuhkan rasa sportivitas. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan pendidikan jasmani, olahraga, pendidikan kesehatan, ilmu pengetahuan alam, dan muatan lokal yang relevan.
4.      Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental serta pendidikan dalam jabatan.
Kualifikasi akademik guru pada satuan pendidikan jalur formal mencakup kualifikasi akademik guru pendidikan Anak Usia Dini/Taman Kanak-kanak/RaudatuI Atfal (PAUD/TK/RA), guru sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), guru seko-lah menengah pertama/madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), guru sekolah menengah atas/madrasah aliyah (SMA/MA), guru sekolah dasar luar biasa/sekolah menengah luar biasa/sekolah menengah atas luar biasa (SDLB/SMPLB/SMALB), dan guru seko-lah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan (SMK/MAK), sebagai berikut;
ü  Guru pada PAUD/TK/RA harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang pendidikan anak usia dini atau psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
ü  Guru pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang pendidikan SD/MI (D-IV/S1 PGSD/PGMI) atau psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
ü  Guru pada SMP/MTs, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
ü  Guru pada SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
ü  Guru pada SDLB/SMPLB/SMALB, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (SI) program pendidikan khusus atau sarjana yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
ü  Guru pada SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (SI) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
Selanjutnya, Kualifikasi akademik yang dipersyaratkan untuk dapat diangkat sebagai guru dalam bidang-bidang khusus yang sangat diperlukan tetapi belum dikembangkan di perguruan tinggi dapat diperoleh melalui uji kelayakan dan kesetaraan. Uji kelayakan dan kesetaraan bagi seseorang yang memiliki keahlian tanpa ijazah dilakukan oleh perguruan tinggi yang diberi wewenang untuk melaksanakannya.
Standar kompetensi guru ini dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru. (Lampiran 2)
Diantara standar dasar kompetensi atau skill yang harus di miliki oleh personal pendidik dan tenaga kependidikan, menurut Muhaimin [13] mencakup : 
a)      General life skill, yang mencakup :
ü  Personal skill (kecakapn personal atau kecakapan mengenal diri) yang meliputi : 1) kesadaran sebagai mahluq Tuhan, 2) Kesadaran akan ekstistensi diri, 3) kesadaran akan potensi diri.
ü  Thinking skill (kecakapan berfikir), yang meliputi : 1) kecakapan menggali informasi dan menemukan informasi, 2) kecakapan mengolah informasi, 3) kecakapan memecahkan masalah.
ü  Social skill, yang meliputi : 1) kecakapan komunikasi lisan, 2) kecakapan komunikasi tertulis, dan 3) Kecakapan bekerja sama.


b)      Spesific life skill, yang mencakup :
ü  Academic skill (kecakapan akademis) meliputi kecakapan : 1) Mengidentifikasi variable, 2) merumuskan hipotesis dan 3) melaksanakan penelitian
ü  Vocational skill (kecapan vocational) atau ketrampilan kejuruan, yakni keterampilan yang dikaitkan dengan pekerjaan tertentu yang terdapat dilingkungan atau masyarakatnya.
Sedangkan untuk kepala sekolah sebagai manager dan pimpinan lembaga pendidikan harus memiliki kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervise dan kompetensi social. (lihat lampiran 2)
Standar pendidik dan tenaga kependidikan dewasa ini telah diupayakan semaksimal mungkin oleh pemerintah, agar supaya pendidik dan tenaga kependidikan menjadi professional dan cakap dalam melaksanakan tugasnya. Mulai dari pendidikan dan pelatihan, workshop, seminar, bahkan sertifikasi untuk menentukan kualifikasi dan mutu pendidik dan tenaga kependidikan yang diadakan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan profesionalismenya.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, ternyata upaya pemerintah tersebut belum merata dan menjangkau terhadap lembaga pendidikan secara menyeluruh. Pendidikan dan pelatihan misalnya, ternyata dalam pengembangan profesionalisme melalui kegiatan ini, pemerintah lebih memfokuskan pada lembaga pendidikan negeri, kurang memperhatikan terhadap lembaga pendidikan swasta. Sehingga upaya pemerintah tersebut tidak merata dan menyebabkan ketimpangan dalam penyelenggaraan pendidikan di lapangan. Betapa tidak, lembaga pendidikan swasta yang dalam pengembangan kelembagaan bersifat mandiri, bukan berarti ia tidak membutuhkan peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikannya. Ia pun berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam pengembangan mutu pendidikannya. Oleh karena itu, melalui political will nya, hendaknya pemerintah tidak membeda-bedakan antara lembaga pendidikan negeri dan lembaga pendidikan swasta dalam rangka peningkatan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan, tetapi harus dijadikan satu kesatuan dalam rangka mewujudkan pendidikan yang maju dan bermutu, sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata dunia.
Selanjutnya, upaya pemerintah dalam meningkatkan profesionalisme dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan melalui sertifikasi guru dalam jabatan. Sertifikasi ini bertujuan untuk menentukan kelayakan  guru  dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan meningkatkan profesionalisme guru. Pada kenyataannya, program sertifikasi guru ini ternyata kurang maksimal dalam prakteknya. Betapa tidak, untuk menentukan kelayakan dan profesionalisme guru hanya dilakukan melalui jalur portofolio an sich yang terdiri dari 10 komponen yang harus diisi dan dipenuhi oleh guru, ketika lulus guru yang bersangkutan akan diberikan sertifikat “kelayakan pendidik”, apabila tidak lulus, mengikuti diklat di LPTK yang telah ditunjuk. Akhirnya guru menempuh berbagai cara agar bisa lulus melalui jalur portofolio tersebut, mulai dari pembuatan portofolio “instan” melalui biro jasa pembuatan portofolio sampai pada upaya pendekatan personal dengan beberapa oknum assessor.
Terlebih, pemerintah akhir-akhir ini kurang begitu serius dalam melaksanakan mega proyek Sertifikasi dalam Jabatan ini, buktinya bagi pendidik dan tenaga kependidikan yang telah mendapatkan sertifikat pendidik seharusnya mendapatkan imbalan salary yang sepantasnya, ternyata dalam prakteknya justru mereka banyak yang tidak mendapatkan haknya, terlebih mereka mengalami penundaan-penundaan dalam pembayarannya dan ironisnya mereka belum dibayar untuk beberapa bulan terakhir ini.
Dari realita di lapangan tersebut, pemerintah bisa mengambil suatu kebijakan baru dalam rangka menentukan kelayakan dan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan dan juga dalam perencanaan penganggaran untuk membiayai program peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan ini. Apabila perencanaannya cukup matang dengan berbagai pendekatan dan analisis yang tepat, maka kualitas dan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan dapat tercapai secara maksimal.  


5.      Standar Sarana dan prasarana
Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perputakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran termasuk penggunaan tekhnologi informasi dan komonikasi.
Perumusan standar sarana dan prasarana pendidikan ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, khususnya pada pasal 42 sampai dengan pasal 48 mengenai standar sarana dan prasarana.
Standar sarana dan prasarana mencakup: (1) pengadaan satuan pendidikan, (2) kelengkapan prasarana yang terdiri dari lahan, bangunan gedung, ruang-ruang, dan instalasi daya dan jasa yang wajib dimiliki oleh setiap satuan pendidikan, dan (3) kelengkapan sarana yang terdiri dari perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, teknologi informasi dan komunikasi, serta perlengkapan lain yang wajib dimiliki oleh setiap satuan pendidikan.
Standar sarana dan prasarana ini disusun untuk lingkup pendidikan formal, jenis pendidikan umum, jenjang pendidikan dasar dan menengah yaitu: Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA).
Dalam realita penyelenggaraan pendidikan di lapangan, ternyata banyak lembaga pendidikan yang kurang memenuhi standar pengelolaan sarana dan pra sarana, diakibatkan adanya beberapa keterbatasan  yang dimiliki oleh lembaga pendidikan. Keterbatasan dalam penyediaan dan pengelolaan sarana pendidikan menyebabkan kurang efektifnya pelaksanaan pendidikan.
Hal ini disebabkan karena lembaga pendidikan Islam kurang mampu dalam mendapatkan sarana pra sarana bagi lembaganya disebabkan berbagai factor, misalnya lemahnya networking, minimnya inovasi pengembangan lembaga dan lain sebagainya. Oleh karena itu, agar lembaga pendidikan mampu dalam pengadaan dan pengelolaan sarana dan prasarana, diperlukan manajemen sarana pra sarana, mulai tekhnik pengadaan sarana prasarana, pengelolaan sampai kepada pemeliharaan sarana pra sarana.
6.      Standar pengelolaan
Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, propinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pendidikan. 
Dalam sistem pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan dan akuntabilitas. BAPPENAS menyatakan bahwa “School Based Management” (SBM) merupakan upaya konkrit otonomi sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui; antara lain keleluasaan mengelola sumber daya, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sedangkan peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui control dan partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem insentif, dan lain-lain[14].         
SBM ini diangkat serta didorong sebagai sebuah substitusi terhadap pola pengambilan berbagai kebijakan pengembangan sekolah, dari mulai kurikulum, strategi, evaluasi serta berbagai sarana pembelajaran lainnya, yang semula lebih banyak ditentukan oleh pusat atau daerah, dalam MBM, semua itu itu lebih banyak digagas oleh madrasah bersama dengan stake holder dan bahkan usernya[15]. 


Manfaat utama “School Based Management” (SBM) adalah terbangunnya peran serta aktif masyarakat (stakeholder), meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan kepada sekolah dan guru, tumbuhnya kreativitas, inisiatif, serta inovasi dari kepala sekolah, guru bahkan juga tenaga administrasi sekolah.
Dalam pengembangan “School Based Management” (SBM), dapat diketahui bahwa sekolah memiliki kewenangan-kewenangan dalam menentukan arah kebijakannya yang berkaitan dengan pengembangan kualitas madrasah untuk dapat eksis dan memenuhi terhadap berbagai tuntutan masyarakat sekitarnya.
Adanya pengembangan lembaga melalui “School Based Management” (SBM) sebagai landasan dalam sistem pengelolaan lembaga pendidikan Islam, yang diaplikasikan dalam berbagai langkah pengambilan kebijakan di dalam berbagai hal pada lembaga pendidikan secara otonomi, tentunya tidak akan terlepas dari tantangan dan hambatan dalam perjalannya. Justru dengan ketidak siapan beberapa lembaga pendidikan dalam menghadapi era otonomi pendidikan menjadi bomber tersendiri bagi eksistensi sekolah/madrasah dalam menghadapi persaingan global dan tuntutan masyarakat. Untuk dapat melihat seberapa jauh problematika penerapan “School Based Management” (SBM), dalam penerapannya, dapat terlihat dalam :
a)   Ketidak jelasan struktur dan tata kerja
Di lapangan sering terjadi tumpang tindih antara wewenang Yayasan dengan pengelola madrasah. Yayasan sebagai “pemilik” biasanya memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lebih dan pada umumnya menggunakan kekuasaannya utuk mengatur segala hal. Sebaliknya madrasah cenderung tidak/kurang memilki posisi tawar, sehingga secara psikologis menjadikan pengelola madrasah tersubordinasikan.
Antara Madrasah dengan pihak Yayasan secara garis besar telah dibagi bidang pekerjaannya. Hal ini disebabkan karena pihak kepala madrasah lebih cenderung mengumatakan hal-hal yang bersangkut-paut dengan akademik dan kurang memperhatikan misi lembaga tersebut, sedang pihak yayasan lebih cenderung memperhatikan status quo-nya. Akibatnya terjadi saling tuding, yang pada akhirnya menghambat kemajuan madrasah itu sendiri.
Untuk mengatasi hal tersebut deperlukan Dewan Madrasah yang diharapkan dapat berperan sebagai mediator antara Madrasah dan Yayasan. Dan madrasah dapat terbentuk dari beberapa unsur seperti; wakil yayasan, tokoh masyarakat, perwakilan orang tua murid, perwakilan guru, perwakilan masyarakat sekitar madrasah. Dewan ini dapat difungsikan sebagai institusi pemberi saran dan pertimbangan terhadap upaya pengelolaan madrasah. Dewan ini diharapkan pula menjadi lembaga yang memiliki akses langsung ke public, sehingga bisa sangat membantu dalam membangun dukungan baik financial maupun bentuk dukungan lain dalam rangka pengembangan madrasah.
b)   Ketidak jelasan Misi, Visi dan Tujuan
Setiap organisasi pasti memiliki target dan unggulan sebagai nilai tawar dalam. Madrasah adalah sekolah beciri khas Islam, dan ini merupakan nilai jual utama. Tetapi jika madrasah sudah tidak lagi memperkuat pendidikan agamanya maka dia akan “ditinggalkan” oleh masyarakatnya.
Sebagai upaya memberikan panduan kerja dan memperjelas arah yang hendak dituju, sekaligus motivasi bagi seluruh komponen madrasah yang terlibat dalm pengembangan madrasah, maka diperlukan pencanangan misi dan visi. Misi dan visi menjadi sarana penyatuan persepsi dan cita-cita sebuah madrasah, kedua merupakan pengejawantahan ide-ide konstruktif dalam setiap aktifitas.
Kelemahan ketidak jelasan misi dan visi dan tujuan ini juga banyak sekali ditemukan di berbagai daerah. Seringkali program yang telah dicanangkan pada tahun sebelumnya berhenti di tengah jalan, atau ketika ganti kepala madrasah, maka berubah pula arah yang dituju. Hal ini tentu dapat dieliminir ketika misi, visi dan tujuan sudah dirumuskan secara jelas dan bisa diakses dan dipahami oleh semua komponen madrasah.


c)    Lemahnya Manajemen
Kelemahan dibidang ini boleh dibilang merupakan “wabah”  yang menjangkiti sebagian besar madrasah. Pendanaan terbatas, lemahnya SDM dan minimnya pengetahuan tentang organisasi dan tata kerja, merupakan beberapa penyebab yang saling kait-mengait. Beberapa langkah manajemen modern, Planning, organizing, staffing, actuating, leading, controlling dan evaluating, belum bisa berjalan secara tertib di madrasah. Dikarenakan keterbatasan-keterbatasan tersebut, seringkali manajemen madrasah lebih bercirikan “lillahi ta’ala”. Sehingga beberapa prinsip manajemen yang baik seperti; optimalisasi kemampuan sekolah (capacity building), keterbukaan khususnya dalam hal administrasi keuangan (transparency) dan akuntabilitas (accountability) seringkali macet dan tidak tersentuh sama sekali. Hal ini diperparah intervensi yayasan, yang kadang-kadang masuk di wilayah akademis.
Pengelola pendidikan madrasah yakni yayasan dan pelaksana pendidikan madrasah (kepala madrasah, guru, dan tenaga administrasi) merupakan SDM yang menjadi mesin penggerak dinamika madrasah. Kepada mereka harus ditanamkan kesadaran, pengertian dan pemahaman serta tangung jawab penyelenggaraan pendidikan. Dimensi ini merupakan bagian dari dimensi lain yang tingkat mutunya bersifat sinergi. Dimensi lain adalah keterampilan manajemen. Rasa tanggung jawab yang tinggi tanpa dibarengi managerial skill yang memadai, akan menjadi treatment  manajemen yang bersifat uji coba, dan akibatnya dana serta daya yang dikeluarkan tidak memperoleh hasil yang seimbang. Demikian pula keterampilan manajemen yang baik tanpa dibarengi kesadaran perjuangan (yang sebagian besar pengelola madrasah telah memiliki unsur ini) juga akan menuntut banyak biaya[16].


d)   Kurangnya Keterlibatan Masyarakat
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian madrasah berdiri atas prakarsa dan usaha masyarakat sendiri. Di tempat dimana masyarakat (muslim) perlu lembaga pendidikan bagi anaknya, maka secara antusias mereka bergotong-royong mendirikan madrasah. Namun problem klasik yang sering muncul adalah, ketika madrasah sudah berdiri, maka keterlibatan aktif masyarakat untuk memikirkan nasib, kelangsungan hidup (apalagi pengembangan dan kemajuan) madrasah relative kurang (kalau tidak bisa dikatakan tidak ada). Memang susah mencari jawaban tentang siapa yang bersalah dalam hal ini. Namun yang jelas sikap proaktif dari keduanya mutlakperlu ditumbuhkan.
Keberadaan lembaga-lembaga seperti Forum Masyarakat Peduli Madrasah (FMPM) atau sejenisnya, yang relative masih sedikit perlu lebih ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya. Dalam hal ini pihak madrasah harus secara intensif bermitra dengan lembaga-lembaga seperti ini.
e)    Lemahnya Jejaring (Networking)
Kelemahan yang banyak terjadi di lembaga pendidikan madrasah adalah dari aspek networking. Jejaringan dalam hal ini berarti bagaimana madrasah bisa memberikan keyakinan kepada masyarakat (stake holder), untuk kemudian dijadikan sebagai mitra dalam pengembangan madrasah, sehingga madrasah bisa kompetetif dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Membangun jejaring (networking) adalah suatu usaha atau proses aktif untuk membangun dan mengelola kemitraan yang produktif, yang terdiri kemitraan pribadi (antar individu) dan organisasi (antar institusi). Menghadapi persaingan yang ketat di era global sekarang ini, mustahil bagi suatu organisasi (baca : madrasah) bertahan dengan kekuatan sendiri. Membangun jejaring merupakan suatu keniscayaan yang tak terelakkan, agar madrasah mampu berkembang mencapai kemajuan.
Tentunya jejaring (networking) ini tidaklah terbatas antar madrasah atau yayasan saja, namun bisa dikembangkan pada skala yang lebih luas. Membangun jejaring ini memerlukan kemampuan berkomunikasi yang handal dari top manager madrasah maupun yayasan, karena harus mampu meyakinkan stake holder yang mencakup banyak kalangan. Sebagai modal utama dalam upaya meyakinkan stake holder, tentunya madrasah harus mampu menampilkan “keunggulan komparatif”.
7.      Standar pembiayaan
Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun adapun biaya operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar dapat berlangsung kegiatan pendidikan yang sesuai dengan standar nasional pendidikan secara teratur dan bekelanjutan.
Dalam pengertian sehari-hari, istilah keuangan atau pembiayaan yang berasal dari kata finance dikaitkan dengan usaha memperoleh atau mengumpulan modal untuk membiayai aktivitas yang akan dilakukan. Namun akhir-akhir ini, pengertian keuangan atau permodalan itu diperluas dalam arti bukan hanya sebagai usaha pengumpulan modal, melainkan mencakup dimensi penggunaan modal tersebut. Perluasan pengertian itu sebagai akibat kesadaran bahwa modal merupakan factor produksi yang langka, sehingga perlu dipakai sebaik mungkin. Sedangkan definisi dari pengelolaan dana itu sendiri dalam arti sempit adalah tata pembukuan. Sedangkan pengertian dalam arti luas dapat mengandung arti pengurusan dan pertanggung jawaban, baik pemerintah pusat, daerah, sekolah dan lain sebagainya[17].
Berkaitan dengan masalah biaya yang dibutuhkan dalam operasionalisasi pendidikan, maka hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari masalah dana (uang). Dana yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pendidikan tidak akan tampak hasilnya secara nyata dalam kurun waktu relatif singkat. Oleh karena itu, uang yang dikeluarkan oleh pemerintah, masyarakat, maupun orang tua (keluarga) untuk menghasilkan pendidikan atau "membeli" pendidikan bagi anaknya harus dipandang sebagai investasi. Uang yang dikeluarkan di bidang pendidikan sebagai bentuk investasi pada periode tertentu, di masa yang akan datang harus dapat menghasilkan keuntungan (benefit) atau manfaat, baik dalam bentuk uang (financial) maupun non financial[18].
Berkaitan dengan penggunaan anggaran dan pengelolaan pendanaan pendidikan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
a)      Hemat, tidak mewah, efisien dan sesuai dengan kebutuhan tekhnis yang diisyaratkan oleh suatu lembaga pendidikan  
b)      Terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program atau kegiatan
Bicara tentang keuangan sekolah akan berkaitan dengan dua dimensi, yaitu dimensi alokasi dan dimensi penerimaan, yakni dari mana penerimaan dana sekolah. Sektor pendidikan sebagai bagian dari sektor public, maka prosedur keuangan di mulai dari usaha bagaimana mencari dana. Jadi pada tahap pertama perlu direncanakan berapa dana yang diperlukan. Perencanaan dana pendidikan yang komprehensif baru dapat dikembangkan kalau sudah ada keputusan tentang :
a)      Siapa yang seharusnya dididik, yakni mencakup sasaran penduduk yang harus dilayani, seperti kelas nol kecil, taman kanak-kanak, sekolah luar biasa dan lain sebagainya
b)      Apa yang menjadi tujuan pendidikan untuk tiap sasaran populasi
c)      Jenis program pendidikan yang diperlukan pada tiap target populasi[19].
Dalam penyelenggaraan pendidikan, keuangan dan pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Komponen pembiayaan, pendanaan dan keuangan pada suatu sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan-kegiatan proses belajar mengajar di sekolah bersama komponen-komponen lainnya. Dengan kata lain, setiap kegiatan yang dilakukan sekolah (madrasah) memerlukan biaya, baik itu disadari maupun tidak disadari. Komponen keuangan dan pembiayaan ini perlu dikelola sebaik-baiknya, agar dana yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Hal ini sangat penting, terutama dalam rangka penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang memberikan kewenang kepala sekolah untuk mencari dan memanfaatkan berbagai sumber dana sesuai dengan keperluan dan kebutuhan masing-masing sekolah, karena pada umumnya dunia pendidikan selalu dihadapkan pada masalah keterbatasan dana, apalagi dalam kondisi krisis seperti sekarang ini[20].
Penyelenggaraan kegiatan dalam lingkungan lembaga pendidikan, baik yang bersifat manajemen administratif maupun manajemen operatif sebagian diantaranya sangat memerlukan penyediaan sejumlah dana. Kegiatan pengelolaan dana memerlukan pula kegiatan perencanaan, pengorganisasian, bimbingan dan pengarahan, control, komunikasi dan bahkan juga ketata usahaan. Sehubungan dengan itu, administrasi pengelolaan dana pendidikan dapat dilihat dari dua spek sebagai berikut :
a)      Administrasi pengelolaan dana pendidikan dalam arti sempit, yang mengandung pengertian segala pencatatan masuk dan keluarnya dana (keuangan) dalam membiayai kegiatan pendidikan berupa tata usaha atau tata pembukuan pendanaan (keuangan)
b)      Administrasi pengelolaan dana pendidikan secara luas, yang mengandung pengertian penentuan kebijakan dalam pengadaan dan penggunaan dana (keuangan) untuk mewujudkan kegiatan organisasi lembaga pendidikan berupa kegiatan perencanaan, pengaturan, pertanggungan jawab dan pengawasan pendanaan (keuangan)[21].
Sumber keuangan dan pembiayaan, pendanaan suatu sekolah secara garis besar dapat dikelompokkan atas tiga sumber, yaitu (1) pemerintah, baik pemerintah pusat, daerah maupun kedua-duanya, uang bersifat umum atau khusus dan diperuntukkan bagi kepentingan pendidikan, (2) orang tua atau peserta didik, (3) masyarakat, baik mengikat atau tidak mengikat.
Selaras dengan pola pikir di atas, maka saat ini ada tiga pola dasar pembiayaan pendidikan, yakni : full cost pricing, free public education dan conglomerate[22].
a)      Full cost pricing, maksudnya tiap siswa dikenakan uang sekolah untuk membayar biaya pengajaran dan biaya penggunaan jasa-jasa lembaga, demikian juga aktivitas penelitian dan pengabdian masyarakat. Seluruh beban biaya dibebankan kepada siswa, dan tiap siswa memikul biaya tertentu yang besarnya dapat sama atau berbeda.
b)      Free public education. Dalam mdoel ini siswa tidak dikenakan biaya, baik biaya pengajaran, pengabdian masyarakat maupun aktivitas penelitian. Semua pembiayaan sekolah berasal dari pemerintah, masyarakat dan usaha-usaha sekolah.
c)      Conglomerate atau campuran dan modal ini biaya sekolah sebagian bersumber dari uang sekolah dan sebagian lagi dari pemerintah dan bantuan masyarakat.
Konsep tentang pembiayaan dalam pendidikan dapat dibedakan dengan cara mengelompokkan biaya yang terjadi, yaitu (1) social and private cost, (2) opportunity cost and money cost,and (3) explicit and implicit costs[23]. Pendapat ahli lain menyatakan bahwa dalam pendidikan dikenal beberapa kategori biaya pendidikan yaitu (1) biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost), (2) biaya pribadi (private cost) dan biaya sosial (social cost), dan (3) biaya dalam bentuk uang (monetary cost) dan bukan uang (non-menetary cost). Biaya yang bersumber dari sekolah termasuk nilai setiap input yang digunakan, meskipun sekolah memberikan sumbangan atau tidak terlihat secara akurat dalam perhitungan pengeluaran[24] .

Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.
a)        Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud di atas meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap.
b)        Biaya personal sebagaimana dimaksud pada di atas meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
c)        Biaya personal (operasi satuan pendidikan) meliputi ; gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya
Apabila diperhatikan dengan seksama, biaya pendidikan atau pengeluaran sekolah sangat ditentukan oleh komponen-komponen biaya pendidikan yang jumlah dan porsinya berbeda-beda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Berdasarkan pendekatan unsur biaya (ingridient approach), pengeluaran sekolah dapat dikategorikan ke dalam beberapa item pengeluaran yang berupa (a) pengeluaran untuk pelaksanaan pelajaran, (b) pengeluaran untuk tata usaha sekolah, (c) pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah, (d) kesejahteraan pegawai, (e) administrasi, (f) pembinaan teknis edukatif, dan (g) pendataan[25].
Secara lebih rinci pemanfaatan biaya pendidikan di sekolah digunakan untuk berbagai komponen yang berupa (1) gaji/kesejahteraan pegawai (termasuk guru), (2) pembinaan profesi guru, (3) pengadaan alat-alat pelajaran, (4) pengadaan buku pelajaran, (5) perawatan/rehabilitasi gedung ruang belajar, (6) pengadaan sarana kelas, (7) pengadaan sarana sekolah, (8) pembinaan kegiatan ekstrakurikuler, dan (9) pengelolaan sekolah[26].
8.      Standar penilaian pendidikan
Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
Penilaian atau evaluasi adalah tahap terakhir setelah tahap-tahap penelitian, perencanaan dan penggiatan yang dilaksanakan oleh suatu organisasi[27]. Dalam beberapa hal, evaluasi memiliki karakteristik pengukuran dan penilaian, apakah kuantitaf atau kualitatatif. Evaluasi dalam hal ini diartikan sebagai suatu pengukuran (measurenment) atau penilaian (evaluation)[28] terhadap suatu perencanan yang telah dilakukan oleh organisasi yang biasa dilakukan pada pertengahan, akhir bulan atau tahun.
Adapun unsur-unsur pokok dalam suatu evaluasi yaitu : adanya obyek yang mau dievaluasi, adanya tujuan pelaksanaan evaluasi, adanya alat pengukuran (standar pengukuran / perbandingan), adanya hasil evaluasi apakah bersifat kualitatif maupun kuantitatif[29]. Kualitatif artinya, hasil tersebut tidak bisa diukur secara statistic, melainkan diukur melalui pengalaman dan perbandingan nyata. Sedangkan kuantitatif maksudnya adalah hasil dalam suatu pelaksaanan evaluasi dapat diukur berdasarkan angka-angka atau statistic[30].
Evaluasi dalam hal ini bertujuan untuk  mengetahui implikasi suatu lembaga pendidikan terhadap public / khalayak dalam berbagai hal[31]. Sedangkan fungsi dari evaluasi di berbagai lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam adalah; Evaluasi berfungsi selektif, Evaluasi berfungsi diagnostic, Evaluasi berfungsi sebagai pengukuran keberhasilan
Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada prinsip-prinsip; mendidik, terbuka atau transparan, menyeluruh, Terpadu, objektif, sistematis, berkesinambungan, adil dan Beracuan kriteria[32].
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan, bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran.
Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut:
a)      Menentukan KKM setiap mata pelajaran dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, karakteristik mata pelajaran, dan kondisi satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik.
b)      mengkoordinasikan ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
c)      menentukan kriteria kenaikan kelas bagi satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket melalui rapat dewan pendidik.
d)     menentukan kriteria program pembelajaran bagi satuan pendidikan yang menggunakan sistem kredit semester melalui rapat dewan pendidik.
e)      menentukan nilai akhir kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik.
f)       menentukan nilai akhir kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik dan nilai hasil ujian sekolah/madrasah.
g)      menyelenggarakan ujian sekolah/madrasah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah sesuai dengan POS Ujian Sekolah/Madrasah bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.
h)      melaporkan hasil penilaian mata pelajaran untuk semua kelompok mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada orang tua/wali peserta didik dalam bentuk buku laporan pendidikan.
i)        melaporkan pencapaian hasil belajar tingkat satuan pendidikan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota.
j)        menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik sesuai dengan criteria; a) menyelesaikan seluruh program pembelajaran, b) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran estetika; dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan, c) lulus ujian sekolah/madrasah, d) lulus UN.
k)      menerbitkan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) setiap peserta didik yang mengikuti Ujian Nasional bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.
l)        menerbitkan ijazah setiap peserta didik yang lulus dari satuan pendidikan bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.
Atas dasar uraian di atas, maka dapatlah diketahuhi bahwa evaluasi pada lembaga pendidikan Islam dilaksanakan untuk :
a)        Memperoleh informasi yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas serta keefektivan belajar siswa dan pengembangan sekolah.
b)       Memperoleh bahan feed back.
c)        Memperoleh informasi yang diperlukan untuk memperbaiki dan menyempunarkan proses pembelajaran di sekolah.
d)       Memperoleh informasi yang diperlukan untuk memperbaiki, menyempurnakan serta mengembangkan program.
e)        Mengetahui kesukaran-kesukaran apa yang dialami siswa selama belajar dan bagaimana mencari jalan keluarnya[33].
Penilaian dan Evaluasi akan tercapai apabila dilaksanakan secara obyektif dan tercipta suasana yang terbuka, harmonis, penuh kejujuran serta menerima terhadap berbagai kritikan yang diarahkan kepada upaya pengembangan lembaga. Faktor inilah yang nantinya akan menjadikan sekolah bisa berkembang dan sesuai dengan tuntutan dari pendidik, peserta didik, masyarakat dan lain sebagainya.
Dewasa ini yang paling mengkhawatirkan dunia pendidikan di Indonesia adalah adanya dalam system penilaian dan evaluasi yang tidak mendidik, bahkan cenderung merugikan kepada semua pihak, seperti adanya pelaksanaan UNAS yang dilakukan oleh pemerintah dengan dalih untuk mengevaluasi mutu pendidikan secara nasional. Adanya pelaksanaan UNAS sebagai langkah untuk mengevaluasi mutu pendidikan kita bukan berarti berjalan mulus tanpa cela, tetapi justru menimbulkan masalah yang sangat kompleks.
Masalah tersebut diantaranya adalah banyaknya ketidaksiapan dan ketiksanggupan lembaga pendidikan yang berada di daerah-daerah terpencil dalam mengikuti standar kelulusan pemerintah yang cenderung membebani kepada mereka, yang disebabankan oleh tidak meratanya mutu pendidikan di Indonesia. Akibatnya, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan UNAS yang baru-baru ini dilaksanakan, mulai dari kesalahan dalam pengepakan (baca:pembungkusan) soal yang tidak sesuai dengan sampulnya, bocornya soal-soal UNAS, banyak kunci jawaban yang beredar, adanya tim sukses di beberapa lembaga pendidikan untuk menjadikan anak didiknya lulus 100 %, pembentukan karakter siswa yang un honestly (tidak jujur) dan lain sebagainya.
Hal ini menunjukkan bahwa betapa terpuruknya system penilaian dan evaluasi pendidikan di Indonesia. Sebenarnya untuk menghindari hal tersebut di atas, pemerintahnya hendaknya benar-benar arif dan tegas dalam melaksanakan prinsip dari otonomi pendidikan yang telah digariskan melalui undang-undang Nomer 22 Tahun 1999 pemberlakuan otonomi daerah yang berimplikasi pada otonomi pendidikan. Makna dari otonomi pendidikan dalam hal ini adalah pendidikan dikembalikan lagi kepada the stake holder, yaitu masyarakat (civitas sekolah)[34]. Artinya melalui otonomi pendidikan, pemerintah memberikan kebebasan kepada lembaga pendidikan untuk mengelola, mengevaluasi dan menentukan kelulusan peserta didiknya, tanpa adanya campur tangan besar dari pemerintah dalam system penilaiannya.
D.      Standar Pengakuan Lembaga Pendidikan Islam
1.      Akreditasi Sekolah/Madrasah
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan secara nasional merupakan salah satu agenda yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Upaya ini diarahkan agar setiap lembaga pendidikan selalu berupaya untuk memberikan jaminan kualitas kepada pihak-pihak yang berkepentingan atau masyarakat, yakni suatu jaminan bahwa penyelenggaraan pendidikan di sekolah/madrasah itu sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi dan sesuai pula dengan harapan mereka. Apabila setiap lembaga penyelenggara pendidikan selalu berupaya untuk memberikan jaminan kualitas dan upaya ini dilakukan secara terus menerus, maka diharapkan kualitas pendidikan secara nasional akan terus meningkat.
Peningkatan kualitas pendidikan akan berdampak pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal ini sangat penting mengingat dewasa ini kita dihadapkan pada berbagai kesempatan dan tantangan, baik yang bersifat nasional maupun global, sedangkan berbagai kesempatan dan tantangan itu hanya dapat diraih dan dijawab apabila sumber daya manusia yang dimiliki berkualitas.
Kenyataan menunjukkan bahwa dewasa ini kualitas penyelenggaraan pendidikan Islam di berbagai lembaga pendidikan cukup bervariasi. Hal ini bisa diamati dari berbagai aspek, baik aspek-aspek yang terkait dengan masukan instrumental, seperti kurikulum tenaga pengajar, bahan ajar, maupun masukan lingkungan seperti kondisi lingkungan fisik dan manajerial kepala sekolah, aspek-aspek yang terkait dengan proses, seperti proses belajar-mengajar dan sarana serta prasarana yang dibutuhkan, maupun aspek-aspek yang terkait dengan keluaran, seperti hasil ujian dan keterserapan lulusan oleh para tenaga kerja.
Diberlakukannya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah[35] berdampak pada pengelolaan pendidikan di daerah. Di satu sisi, upaya otonomi pendidikan akan berpengaruh positif terhadap berkembangnya sekolah/madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis kepada kebutuhan dan tantangan-tantangan yang dihadapinya. Disisi lain keragaman potensi dan sumber daya daerah serta keragaman dan potensi lembaga penyelenggara pendidikan baik pemerintah maupun swasta dapat menyebabkan kualitas sekolah bisa sangat bervariasi. Jika sebelumnya, masyarakat dalam memberikan pengakuan terhadap lembaga pendidikan didasarkan atas penghargaan pemerintah, maka ke depan justeru masyarakat yang akan memberikan ukuran-ukuran tentang kekuatan masing-masing lembaga pendidikan. Itulah sebabnya lembaga pendidikan harus lebih terbuka dan mampu melihat tuntutan riil masyarakatnya[36].     
Agar kualitas pendidikan itu sesuai dengan apa yang seharusnya dan apa yang diharapkan oleh masyarakat maka perlu ada suatu standar atau patokan yang dijadikan pedoman, dan setiap sekolah secara bertahap dibina untuk menuju kepada pencapaian standar yang dijadikan pedoman itu.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas suatu sekolah, diantaranya ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran, motivasi kerja guru, lingkungan sekolah yang kondusif, pelaksanaan supervisi kepala sekolah yang rutin, akreditasi sekolah, dan sebagainya. Dari beberapa faktor tersebut, penulis memandang faktor akreditasi sekolah/madrasah dan supervisi yang dilakukan kepala sekolah/madrasah merupakan faktor yang dominan. Hal ini dikarenakan dalam kegiatan akreditasi sekolah/madrasah mencakup berbagai bidang penilaian, yakni kurikulum dan proses belajar-mengajar, manajemen sekolah, kelembagaan sekolah, sarana dan prasarana, ketenagaan, peserta didik, peran serta masyarakat dan kultur sekolah. Karena mencakup berbagai komponen itulah maka keberadaan akreditasi sekolah merupakan salah satu faktor yang turut berpengaruh terhadap kualitas sekolah.
Sekolah yang terakreditasi amat baik sudah barang tentu merupakan lembaga pendidikan yang dianggap berkualitas. Demikian juga sebaliknya, sekolah yang terakreditasi cukup, tentunya masyarakat menganggap sekolah tersebut kurang berkualitas.
Akreditasi sekolah/madrasah adalah kegiatan penilaian (assesmen) sekolah secara sistematis dan komprehensif melalui kegiatan evaluasi diri dan evaluasi eksternal (visitasi) untuk menentukan kelayakan dan kinerja sekolah. Dasar hukumnya adalah : Undang Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 60, Peraturana Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Pasal 86 & 87 dan Surat Keputusan Mendiknas No. 87/U/2002.
Selanjutnya, akreditasi sekolah/madrasah bertujuan untuk : (a) menentukan tingkat kelayakan suatu sekolah dalam menyelenggarakan layanan pendidikan dan (b) memperoleh gambaran tentang kinerja sekolah. Sedangkan fungsi akreditasi sekolah adalah : (a) untuk pengetahuan, yakni dalam rangka mengetahui bagaimana kelayakan & kinerja sekolah dilihat dari berbagai unsur yang terkait, mengacu kepada baku kualitas yang dikembangkan berdasarkan indikator-indikator amalan baik sekolah, (b) untuk akuntabilitas, yakni agar sekolah dapat mempertanggungjawabkan apakah layanan yang diberikan memenuhi harapan atau keinginan masyarakat, dan (c) untuk kepentingan pengembangan, yakni agar sekolah dapat melakukan peningkatan kualitas atau pengembangan berdasarkan masukan dari hasil akreditasi
Prinsip – prinsip akreditasi yaitu : (a) objektif, informasi objektif tentangg kelayakan dan kinerja sekolah, (b) efektif, hasil akreditasi memberikan informasi yang dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan, (c) komprehensif, meliputi berbagai aspek dan menyeluruh, (d) memandirikan, sekolah dapat berupaya meningkatkan mutu dengan bercermin pada evaluasi diri, dan (d) keharusan (mandatori), akreditasi dilakukan untuk setiap sekolah sesuai dengan kesiapan sekolah.
Keputusan Mendiknas nomor 097/U/2002 tentang akreditasi sekolah dengan tegas menunjukkan seluruh sekolah agar diakreditasi, baik sekolah negeri (diselenggarakan pemerintah) maupun sekolah swasta (diselenggarakan masyarakat). Sebelumnya, Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 020/C/Kep/I/1983 menyebutkan, akreditasi hanya diberlakukan untuk sekolah swasta. Jika akreditasi diselenggarakan demi peningkatan mutu pendidikan, maka Depdiknas telah melakukan perubahan kebijakan bahwa seluruh satuan pendidikan tanpa terkecuali mesti ditingkatkan kualitasnya. Anggapan bahwa sekolah negeri sudah beres atau sekolah swasta pasti carut–marut telah diluruskan dalam surat keputusan mutakhir .
Akreditasi terhadap semua sekolah tanpa kecuali, baik negeri maupun swasta, kiranya sejalan dengan kebijakan umum menyangkut otonomi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah. Setiap sekolah mesti secara otonom mengelola seluruh penyelenggaraan pendidikan, bahkan dalam hal pendanaan sekali pun di sisi lain, pihak pemerintah dapat mengambil jarak terhadap sekolah-sekolah yang selama ini diproteksinya habis-habisan. Jika prinsip keadilan dan kejujuran sebagaimana tersurat dalam ketentuan umum akreditasi – sungguh diterapkan, maka keberadaan BAS akan mempunyai arti bagi peningkatan mutu semua sekolah.
Dalam  rumusan  kebijakan akreditasi  di atas ternyata dalam realita belum bisa memberikan jawaban problematika sekolah/madrasah serta tercapainya tujuan dasar adanya akreditasi, meski sudah banyak sekolah/madrasah yang sudah di akreditasi, akan tetapi kualitas dan mutu sekolah/madrasah sendiri masih tetap seperti semula. Dan yang terjadi malah sebaliknya kebijakan yang dibuat justeru mempersulit upaya pengembangan madrasah. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi madrasah saat ini masih jauh dari kriteria standar pendidikan nasional, baik dari segi standar kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga pendidikan, sarana-prasarana, standar pengelolaan,pembiayaan dan standar nilai pendidikan.
Pada pengelolaan madrasah, pada umumnya para pengelola tidak beraninya mengambil inisiatif sendiri, padahal inisiatif untuk berkreasi mengembang sekolah itu terbuka lebar, jadi tidak perlu menunggu adanya kebijakan akreditasi untuk melakukan standar penyetaran secara formal, tetapi yang lebih penting adalah penyetaraan yang lebih real, yaitu dari masyarakat.  Hal ini terbukti dalam sebuah lembaga besar seperti gontor, tidak ada yang mengakreditasi gontor, karena tanpa akreditasipun masyarakat sudah tahu kualitas Gontor. hal itu terjadi karena Gontor dikelola oleh tangan orang yang profesional.


Dari beberapa pelaksanaan akreditasi di beberapa lembaga pendidikan yang dilakukan tim Assesor yang ditunjuk oleh BAS (Badan Akreditasi Sekolah) diketahui bahwasanya pelaksanaan akreditasi sekolah dilaksanakan sebatas untuk kegiatan administratif belaka. Pemahaman akreditasi sekolah/madrasah cenderung memunculkan sikap formalitas, baik dari pihak pengawas maupun pihak sekolah. Formalitas yang menyangkut temuan sesaat waktu penilaian berlangsung. Penilaian yang mendasarkan pada ”ada” atau ”tidak ada” komponen-komponen yang dinilai akan mendorong tindakan-tindakan yang mengada-ada. Demi nilai, kelengkapan yang dibutuhkan dalam pelakasanaan akreditasi diupayak “ada” oleh lembaga pendidikan, meskipun sesaat. Cara-cara tersebut sebenarnya dilandasi oleh cara berpikir bahwa akreditasi bukan lagi sebagai ”sarana” untuk meningkatkan mutu pendidikan, tetapi sebagai ”tujuan”. Cara berpikir demikian inilah, yakni mengalihkan hal-hal yang seharusnya menjadi sarana lantas menjadikan sebagai tujuan, membuat mutu pendidikan tidak kunjung membaik. Kelengkapan sarana-prasarana, situasi yang nyaman, atau proses belajar-mengajar yang kondusif dikelola demi akreditasi, demi penilaian, atau demi konsumsi atasan.
Pada kebijakan akreditasi madrasah  sering terjadi tidak obyektif, yaitu penilain yang kurang obyektif, seperti memberikan informasi atau data yang tidak benar kepada badan akreditasi, apalagi dengan mempertimbangkan rata-rata nilai tahunan hasil nilai ujian. Maka hal itu  tudak menjamin kelayakan suatu lembaga untuk disebut lembaga yang proporsional. Apalagi kalau kita lihat di  mayoritas madrasah standar nilai hasil ujian masih jauh dari standar nasional.
Disamping itu, satu hal perlu dicatat bahwa assesor sebagai ujung tombak pelaksanaan visitasi di sekolah perlu ditingkatkan kemampuannya. Setidaknya dalam memahami instrumen baru ini asesor harus belajar lebih banyak. Kompetensi asesor diarahkan untuk benar-benar profesional, mandiri, terpercaya, terbuka, dan handal.


2.      Akreditasi Program Studi dan Institusi Perguruan Tinggi
Pada bulan Desember 1994 dibentuk BAN-PT untuk membantu pemerintah dalam upaya melakukan tugas dan kewajiban melaksanakan pengawasan mutu dan efisiensi pendidikan tinggi. Pembentukan BAN-PT ini menunjukkan bahwa akreditasi perguruan tinggi di Indonesia pada dasarnya adalah tanggung jawab pemerintah dan berlaku bagi semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Hal ini sekaligus menunjukkan niat dan kepedulian pemerintah dalam pembinaan penyelenggaraan perguruan tinggi, melayani kepentingan masyarakat, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Karena tidak lagi membedakan negeri dan swasta, pengertian akreditasi dalam dunia pendidikan tinggi adalah pengakuan atas suatu lembaga pendidikan yang menjamin standar minimal sehingga lulusannya memenuhi kualifikasi untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi atau memasuki pendidikan spesialisasi, atau untuk dapat menjalankan praktek profesinya (to recognize an educational institution as maintaining standards that qualify the graduates for admission to higher or more specialized institutions or for professional practice).
Akreditasi perguruan tinggi yang diterapkan dalam sistem pendidikan nasional dimaksudkan untuk menilai penyelenggaraan pendidikan tinggi. Penilaian itu diarahkan pada tujuan ganda, yaitu:
1.      menginformasikan kinerja perguruan tinggi kepada masyarakat
2.      mengemukakan langkah pembinaan yang perlu ditempuh terutama oleh perguruan tinggi dan pemerintah, serta partisipasi masyarakat.
Akreditasi dipahami sebagai penentuan standar mutu serta penilaian terhadap suatu lembaga pendidikan (dalam hal ini pendidikan tinggi) oleh pihak di luar lembaga pendidikan itu sendiri. Mengingat adanya berbagai pengertian tentang hakikat perguruan tinggi (Barnet, 1992) maka kriteria akreditasi pun dapat berbeda-beda. Barnet menunjukkan, bahwa setidak-tidaknya ada empat pengertian atau konsep tentang hakikat perguruan tinggi :
1.      Perguruan tinggi sebagai penghasil tenaga kerja yang bermutu (qualified manpower). Dalam pengertian ini pendidikan tinggi merupakan suatu proses dan mahasiswa dianggap sebagai keluaran (output) yang mempunyai nilai atau harga (value) dalam pasaran kerja, dan keberhasilan itu diukur dengan tingkat penyerapan lulusan dalam masyarakat (employment rate) dan kadang-kadang diukur juga dengan tingkat penghasilan yang mereka peroleh dalam karirnya.
2.      Perguruan tinggi sebagai lembaga pelatihan bagi karier peneliti. Mutu perguruan tinggi ditentukan oleh penampilan/prestasi penelitian anggota staf. Ukuruan masukan dan keluaran dihitung dengan jumlah staf yang mendapat hadiah/penghargaan dari hasil penelitiannya (baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional), atau jumlah dana yang diterima oleh staf dan/atau oleh lembaganya untuk kegiatan penelitian, ataupun jumlah publikasi ilmiah yang diterbitkan dalam majalah ilmiah yang diakui oleh pakar sejawat (peer group).
3.      Perguruan tinggi sebagai organisasi pengelola pendidikan yang efisien. Dalam pengertian ini perguruan tinggi dianggap baik jika dengan sumber daya dan dana yang tersedia, jumlah mahasiswa yang lewat proses pendidikannya (throughput) semakin besar.
4.      Perguruan tinggi sebagai upaya memperluas dan mempertinggi pengkayaan kehidupan. Indikator sukses kelembagaan terletak pada cepatnya pertumbuhan jumlah mahasiswa dan variasi jenis program yang ditawarkan. Rasio mahasiswa-dosen yang besar dan satuan biaya pendidikan setiap mahasiswa yang rendah juga dipandang sebagai ukuran keberhasilan perguruan tinggi.
Status akreditasi suatu perguruan tinggi merupakan cermin kinerja perguruan tinggi yang bersangkutan dan menggambarkan mutu, efisiensi, serta relevansi suatu program studi yang diselenggarakan. Saat ini terdapat dua jenis akreditasi yang diberikan oleh pemerintah kepada program studi di perguruan tinggi, yaitu:


1.      Status Terdaftar, Diakui, atau Disamakan yang diberikan kepada Perguruan Tinggi Swasta
2.      Status Terakreditasi atau Nir-Akreditasi yang diberikan kepada semua perguruan tinggi (Perguruan Tinggi Negeri, Perguruan Tinggi Swasta, dan Perguruan Tinggi Kedinasan).
Karena adanya dua status akreditasi yang sama-sama masih berlaku, saat ini terdapat PTS yang menyandang kedua-duanya untuk program studinya. Hal ini terjadi karena proses pemberian status akreditasi dilakukan melalui dua jalur yang berbeda sesudah terbentuknya Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Sebelumnya, penentuan status didasarkan pada SE Dirjen Dikti No. 470/D/T/1996.
Kemudian pemerintah menetapkan, untuk pelaksanaan akreditasi terhadap suatu PTS/Unit PTS, sepanjang belum pernah dievaluasi (diakreditasi) oleh atau melalui BAN-PT, akan tetap dilakukan berdasarkan peraturan tersebut diatas, tetapi manakala suatu PTS/Unit PTS telah pernah dievaluasi (diakreditasi) oleh atau melalui BAN-PT, maka selanjutnya pelaksanaan akreditasi terhadap PTS yang bersangkutan dilakukan dengan berpedoman pada kriteria atau Borang Akreditasi dari BAN-PT.
Peringkat pengakuan yang diberikan oleh pemerintah pada perguruan tinggi didasarkan atas hasil akreditasi perguruan tinggi yang dilaksanakan oleh BAN-PT, dengan melakukan akreditasi yang meliputi akreditasi lembaga dan akreditasi program studi.
Kriteria penilaian untuk akreditasi lembaga terdiri atas; izin penyelenggaraan pendidikan tinggi, persyaratan dan kelayakan penyelenggaraan pendidikan tinggi, relevansi penyelenggaraan program pendidikan dengan pembangunan, kinerja perguruan tinggi dan efisiensi pengelolaan perguruan tinggi.
Kriteria penilaian untuk akreditasi program studi terdiri atas; identitas, izin penyelenggaraan program studi, kesesuaian penyelenggaraan program studi dengan peraturan perundang-udangan, relevansi penyelenggaraan program studi, sarana dan prasarana, efisiensi penyelenggaraan program studi, produktivitas program studi, dan mutu lulusan.
E.       Kesimpulan
ü  Lembaga pendidikan harus memiliki fungsi dan peran dalam perubahan masyarakat menuju ke arah perbaikan dalam segala lini. Maraknya pendirian lembaga pendidikan dewasa ini, harus dikaji secara mendalam oleh pemerintah, mengingat apresiasi masyarakat terhadap pendirian lembaga pendidikan baru sangat tinggi guna mengatasi kebutuhan masyarakat akan keberadaan lembaga pendidikan.
ü  Pengorganisasian merupakan pengelompokan aktivitas tersebut yang penting untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Kerangka kerja konseptual yang terbaik dan harus dilaksanakan oleh lembaga pendidikan Islam adalah dengan menggunakan pengorganisasian dengan menggunakan “system organisasi terbuka” (open System).
ü  Standar Nasional Pendidikan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pendidikan meliputi ; standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, standar penilaian pendidikan dan standar pengakuan lembaga pendidikan islam
ü  Akreditasi sekolah/madrasah merupakan kegiatan penilaian sekolah secara sistematis dan komprehensif melalui kegiatan evaluasi diri dan evaluasi eksternal (visitasi) untuk menentukan kelayakan lembaga dan memperoleh gambaran tentang kinerja sekolah.
ü  Akreditasi perguruan tinggi dimaksudkan untuk menilai penyelenggaraan pendidikan tinggi guna mengetahui tentang standar mutu dan penilaian terhadap suatu lembaga pendidikan tinggi. Hal ini disebabkan karena status akreditasi suatu perguruan tinggi merupakan cermin kinerja perguruan tinggi yang bersangkutan dan menggambarkan mutu, efisiensi, serta relevansi suatu program studi yang diselenggarakan.



DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta : Gemawindu Pancaperkasa, 2000).
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat  dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta : Kencana, 2004).
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, dalam Konsep Strategi dan Implementasi, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002).
F. Rahmadi, Public Relations dalam Teori & Praktek, (Jakarta : PT Gramedia, 1996).
Frank Jefkins, Public Relations, (Jakarta : Erlangga, 1992).
H.A.R Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002).
H.A.R Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional : Suatu Tinjauan Kritis, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006).
Hadari Nawawi, Aministrasi Pendidikan, (Jakarta : Gunung Agung, 1985).
Husaini Usman, Manajemen : Teori, Praktek dan Riset Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2010).
Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma al-Qur'an : Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam, (Malang, UIN PRESS, 2004).
J. Winardi, Manajemen Perilaku Organisasi, (Jakarta : Kencana, 2004).
Latchanna, G., dan Hussein, J. O, Economics of Education, (New Delhi: Discovery Publishing House, 2007).
Levin, M. H. and Hans, G. S. Financing Recurrent Educational. (Beverly Hills California : Sage Publication Inc, 1987).
M. Chabib Thoha, Tekhnik Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Rajawali Pers, 1991).
M. D. Orwig, Financing Higher Education, Alternatives for The Federal Government, (The American Colege Testing Program, 1971).
M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta : Mutiara, 1984).
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005).
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam : dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta : PT Rajawali Grafindo Persada, 2009).
Nanang Fatah,  Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000).
Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung : Penerbit Rosdakarya, 2002).
Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta : Bumi Aksara).
Nur Rif'ah Masykur, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, (Jakarta : PT Permata Artistika Kreasi, 2001).
Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Jakarta : Bumi Aksara, 2005).
Onong Uchjana Efendy, Human Relation dan Public Relation, (Bandung : Mandar Maju, 1993).
Roe L. John & Edgar L. Morhpet, The Economics & Financing of Education, A Systems Aproach, (Englewood Chliffs, 1975).
Slameto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : PT Bina Aksara, 1988).
Standar Nasional Pendidikan (SNP), (Bandung : Fokus Media, 2008).
Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, , 2001).
Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKP Malang, Administrasi Pendidikan, (Malang : IKIP Malang, 1989).
Tim Teknis Bappenas, Menuju Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Dasar, (Jakarta).
Undang-undang Republik Indonesia No. 14 tahun 2005 dan UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, (Bandung ; Citra Umbara, 2006).
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah : Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2002).
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010).


[1] Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta : Bumi Aksara, 1989), hlm. 152.
[2] Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Jakarta : Bumi Aksara, 2005), hlm. 23
[3] Husaini Usman, Manajemen : Teori, Praktek dan Riset Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2010), hlm. 146.
[4] M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta : Mutiara, 1984) hlm. 111.
[5] J. Winardi, Manajemen Perilaku Organisasi, (Jakarta : Kencana, 2004), hlm. 57.
[6] Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah : Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2002), hlm. 44.
[7] Undang-undang Republik Indonesia No. 14 tahun 2005 dan UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, (Bandung ; Citra Umbara, 2006), hlm. 76
[8] Standar Nasional Pendidikan (SNP), (Bandung : Fokus Media, 2008), hlm. 6.
[9] H.A.R Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional : Suatu Tinjauan Kritis, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006), hlm. 169-170.
[10] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam : dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta : PT Rajawali Grafindo Persada, 2009), hlm. 199.
[11] Ibid, hlm. 230.
[12] Ibid, hlm. 210.
[13] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 266.
[14] Tim Teknis Bappenas, Menuju Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Dasar, (Jakarta), hlm. 11-12.
[15] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat  dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta : Kencana, 2004), hlm. 267.
[16] Abdurrahman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta : Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hlm. 132.
[17] Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKP Malang, Administrasi Pendidikan, (Malang : IKIP Malang, 1989), hlm. 163.
[18] Nanang Fatah,  Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 7.
[19] Roe L. John & Edgar L. Morhpet, The Economics & Financing of Education, A Systems Aproach, (Englewood Chliffs, 1975), hlm. 231.
[20] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, dalam Konsep Strategi dan Implementasi, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 48.
[21] Hadari Nawawi, Aministrasi Pendidikan, (Jakarta : Gunung Agung, 1985), hlm. 67-68.
[22] M. D. Orwig, Financing Higher Education, Alternatives for The Federal Government, (The American Colege Testing Program, 1971), hlm. 164-165.
[23] Latchanna, G., dan Hussein, J. O, Economics of Education, (New Delhi: Discovery Publishing House, 2007), hlm. 52-56.
[24] Levin, M. H. and Hans, G. S. Financing Recurrent Educational. (Beverly Hills California : Sage Publication Inc, 1987), hlm. 426.
[25] Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung : Penerbit Rosdakarya, 2002), hlm. 24.
[26] Ibid, hlm. 109
[27] Onong Uchjana Efendy, Human Relation dan Public Relation, (Bandung : Mandar Maju, 1993), hlm. 131.
[28] Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2001), hlm. 03.
[29] M. Chabib Thoha, Tekhnik Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Rajawali Pers, 1991), hlm. 03.
[30] Frank Jefkins, Public Relations, (Jakarta : Erlangga, 1992), hlm. 157.
[31] F. Rahmadi, Public Relations dalam Teori & Praktek, (Jakarta : PT Gramedia, 1996), hlm. 114.
[32] Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 52.
[33] Slameto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : PT Bina Aksara, 1988), hlm. 15.
[34] H.A.R Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), hlm. 76.
[35] Nur Rif'ah Masykur, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, (Jakarta : PT Permata Artistika Kreasi, 2001), hlm. 21.
[36] Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma al-Qur'an : Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam, (Malang, UINPRESS, 2004) hlm. 133.

My Family

My Family
Kunjungan Dosen Native Speaker dari Sudan

My Duty

My Duty
Pelatihan Model Pembelajaran