Salam Ta'aruf

Allah telah membuktikan firmannya :
"Qul Hal Yastawilladzina Ya'lamuna wal Ladzina la Ya'lamuun"....
ayat tersebut merupakan anjuran kepada manusia agar supaya kita menjadikan ILMU sebagai sesuatu yang paling berharga dan tameng dalam hidupnya.
dengan Ilmu manusia bisa menggapai segala-galanya, dengan ilmu manusia bisa meraih apa yang dicita-citakannya, dengan ilmu manusia mampu menerobos angkasa, dan masih banyak lagi.
Allah menjamin dengan Jaminan yang Pasti, bahwanya terdapat perbedaan yang sangat besar antara orang yang berilmu dan tidak berilmu, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. begitu juga dalam menghadapi dan menyelesaikan sebuah permasalahan. orang berilmu menggunakan ilmu sebagai paradigma atau "pisau analisnya" melalui akal yang diberikanNya, sedangkan orang yang tidak berilmu mengambil cara pintas, dengan tanpa menganilasa sebab dan akibat yang akan ditimbulkannya.
Subhanallah, ternyata mahligai Ilmu dapat diraih dengan tafakkur, tadabbur, sehingga membawa manusia kepada kebahagian lahir dan batin yang menjadi idaman setiap manusia yang hidup di muka bumi ini.
Ingin bahagia lahir batin, dan dunia akhirat... dapatkan...carilah Ilmu....
Ingat.... Ilmu Allah sangat luas

Heurmenetika Al-Qur'an


A.    Pendahuluan

Dari hari ke hari kehidupan manusia menunjukkan perkembangan yang semakin pesat. Seiring dengan lajunya perkembangan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat tentu permasalahan-permasalahan hidup yang muncul semakin kompleks dan rumit yang sangat membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tepat. Dalam realitasnya, manusia seringkali mengeluh ketika menghadapi permasalahan-permasalahan hidupnya yang dirasakan begitu membebani. Bahkan seringkali manusia memilih jalan yang tidak tepat dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan hidupnya.
Sejalan dengan pendapat di atas, Suryadilaga, dkk. (2005:25) berpendapat bahwa perkembangan dan kemajuan segala aspek kehidupan manusia bukan berarti manusia akan hidup mudah dan menyenangkan tanpa masalah. Sebaliknya, semakin berkembang dan maju peradaban manusia semakin kompleks pula permasalahan yang dihadapi. Mulai dari permasalahan yang paling sederhana sampai yang paling rumit. Tentu saja permalahan-permasalahan yang muncul  tersebut membutuhkan penyelesaian.
Untuk menjawab keadaan itu, Allah mengutus para Rasul yang berfungsi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Bersamaan dengan diutusnya Rasul, diturunkan pula Al-Qur’an yang berfungsi menyelesaikan permasalahan dan menemukan jalan keluar dari berbagai permasalahan yang dihadapi manusia. Dengan kata lain, Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia ke jalan yang benar. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185, yaitu;

شَهْرُرَمَضَانَ الَّذِ يْ اُ نْزِلَ فِيْهِ الْقُرْا نُ هُدًى لِّنَّا سِ وَبَيِّنَتِ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْ قَا ن.ِ..(البقرة : 185)
Artinya;
“(Beberapa hari yang ditentukan ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…”(Al-Baqarah: 185) (Depag. RI 1993: 45)

Fungsi ideal dan strategis itu  dalam tataran praktis tidak begitu saja dapat diaktualisasikan, akan tetapi membutuhkan pemikiran dan analisis yang mendalam. Harus diakui ternyata tidak semua ayat Al-Qur’an yang tertentu hukumnya sudah siap pakai. Banyak ayat-ayat yang masih global yang tentunya membutuhkan pemikiran dan analisis khusus untuk menerapkannya. Atau dengan kata lain, Al-Qur’an tidak siap pakai. Statemen ini sangat beralasan, karena umat Islam tidak akan mampu memahami isi Al-Qur’an secara sempurna tanpa dianalisis sebelumnya. Dengan analisis yang mendalam akan didapatkan pemahaman isi-isi Al-Qur’an secara detail, supaya isi-isinya aplikatif dan aktual.
Dengan mengacu pada pandangan di atas, Ash-Shiddieqy (1993:105) berpendapat bahwa;
Banyaknya ayat-ayat yang global itu bukanlah melemahkan peran Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam, akan tetapi malah menjadikannya bersifat universal. Keadan ini menempatkan hukum Islam sebagai aturan yang bersifat takammul (sempurna) dalam artian dapat menempatkan diri dan mencakup segenap dimensi duniawi dan ukhrawi, antara individu dan masyarakat; dan juga bersifat harakah (dinamis)  yakni mampu berkembang dan dapat diapalikasikan di sepanjang zaman

Dalam upaya pemusatan pemikiran dan analisis dalam menetapkan ketentuan hukum yang dikandung dalam Al-Qur’an itulah diperlukan metode-metode tertentu sebagai pisau analisis. Metode-metode tersebut dapat berupa  tafsir dan takwil. Seiring dengan perkembangan kemajuan ilmu dan tingkat intelektual manusia, kini dikenal sebuah metode baru, yaitu hermeneutika.
Dari sekilas wacana di atas, dalam makalah ini akan mengangkat topik tentang tafsir, takwil dan hermeneutika Al-Qur’an. Dalam penjabarannya ketiga metode analisis tersebut akan dianalisis dan dikomparasi secara tajam dengan tetap mengacu pada pendapat para ahli. Semoga makalah ini mampu memberikan kontribusi positif dalam memperluas khazanah keilmuan kita, khususnya tetang tafsir, takwil dan hermeneutika Al-Qur’an. Untuk lebih jelasnya akan  dideskripsikan dalam sub-sub bahasan berikut ini.

B.     Tafsir, Takwil dan Hermeneutika Al-Qur’an

1.      Tafsir Al-Qur’an
a.       Peristilahan
Istilah tafsir di dalam Al-Qur’an dapat dilihat pada surat Al-Furqan ayat 33, yang berbunyi;

وَلاَ يَآْ تُوْ نَكَ بِمَثَلٍ اِلاَجِئْنَكَ بِا لْحَقِّ وَاَحْسَنَ تَفْسِيْرًا (الفرقا ن: 33)

Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling kuat penafsirannya (penjelasannya)” (Al-Furqan: 33) (Depag. RI., 1993:564)

Pengertian tafsir dapat dilihat dari dua segi. Dari segi etimologi tafsir artinya menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan dari terminologi tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadh-lafadh Al-Qur’an, makna-makna yang dikandungnya dan hukum-hukumnya, baik yang berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun (Al-Aridl, 1994:3)
Sejalan dengan pendapat di atas Suryadilaga (2005:12-27) mengemukakan bahwa secara etimologi tafsir berasal dari fassara yang berarti menjelaskan, membuka dan menampakkan makna yang ma’qul. Sedangkan dalam pengertian istilah, tafsir adalah upaya menguraikan dan menjelaskan apa-apa yang dikandung Al-qur’an berupa makna-makna, rahasia-rahasia dan hukum-hukum sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan sesuai dengan tantangan zaman.
Dari kedua definisi secara terminologi di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir merupakan upaya menjelaskan hal-hal yang masih samar yang dikandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga dengan mudah dimengerti, mengeluarkan hukum yang terkandung di dalamnya untuk diterapkannya dalam suatu ketentuan hukum. Karena yang dijelaskan dan diterangkan itu ayat-ayat Al-Qur’an yang masih belum jelas, maka tafsir Al-Qur’an berarti menerangkan dan menjelaskan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat Al-Qur’an.

b.      Penafsiran Ulama’ Mutaqaddimin dan Mutaakhirin
Menurut Al-Munawwar (2002:21) bahwa ulama’ mutaqaddimin adalah ulama’-ulama’ yang hidup sebelum tahun 300 H, sementara ulama’ mutaakhirin adalah ulama’-ulama’ yang tumbuh dan berkembang sesudah abad 3 H, yaitu abad ke-4 sampai abad ke-12 H. Di dalam bidang tafsir terdapat perbedaan yang begitu mendasar antara tafsir pada kalangan ulama mutaqaddimin  dan ulama’ mutaakhirin.
Di kalangan ulama’ mutaqaddimin sumber penafsiran didapat dari penafsiran Rasulullah SAW, para sahabat dan para tabi’in, sehingga corak penafsiran ulama mutaqaddimin dikelompokkan menjadi Tafsir bi al Ma’tsur. Sedangkan ulama’ mutaakhirin bukan hanya mengikuti corak Tafsir bi al Ma’tsur, tetapi mengembangkan lebih jauh dengan metode-metode kondisional (Al-Munawwar, 2002:21-22).
Dalam praktiknya penafsiran pada masa Rasul, sahabat, tabi’in dan tabi’in-tabi’in senantiasa berpijak dan mengacu pada inti dan kandungan Al-Qur’an itu sendiri. Pada masa Rasul, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada Rasul. Menurut Shihab (1999:71) pada  saat Al-Qur’an diturunkan Rasul berfungsi sebagai pemberi penjelasan kepada sahabat-sahabatnya tentang kandungan Al-Qur’an, khususnya menyangkut  ayat-ayat yang tidak dimengerti atau samar artinya. Penafsiran Rasulullah itu adakalanya dengan sunnah qauliya, adakalanya sunnah fi’liyah dan adakalanya juga dengan sunnah taqririyah.
Penafsiran atau pemahaman Rasulullah terhadap Al-Qur’an selalu dibantu wahyu atau dalam kontrol Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 17-19, yaitu:

اِنَّ عَلَيْنَا خَمْعَهُ وَقُرْ اَ نَهُ (17) فَاِذَا قَرَأْ نَهُ فَتَّبِعْ قُرْآَ نَهُ (18) ثُمَّ اِ نَّ عَلَيْنَا
بَيَا نَهُ (19) (البقرة: 17-19)

Artinya:”Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kamudia, sesungguhnya atas tanggungan Kami penjelasannya”(Al-Qiyamah:17-19) (Depag RI. 1993:999)

Dengan bantuan wahyu dan di bawah kontrol Allah SWT maka tingkat kesalahan penafsiran sangat minim, bahkan tidak ada karena Tuhan selalu tahu yang terbaik untuk hamba-hambanya. Tidak mungkin Dia berbuat zalim dengan memanipulasi atau merekayasa tafsiran ayat-ayat Al-Qur’an melalui perantara Rasulullah.
Adapun setelah Rasul wafat seiring dengan tersebarnya Islam ke negeri-negeri lain dan tafsir semakin dibutuhkan, para sahabat dan tabi’in terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan seperti Ali bin Abi Tahlib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.
Lebih lanjut, Al-Munawwar (2002:62) menambahkan bahwa pada periode mutaqaddimin umat Islam belum menaruh perhatian dalam bidang nahwu dan i’rab dan belum mengadakan kajian terhadap suatu lafadz Al-Qur’an, susunan kalimatnya,  majaz, i’jaz, ithnab, taqdim dan takhir, washal dan qatha’  serta nida’ dan istisna. Sementara pada periode mutaakhirin kondisi tersebut berubah. Ulama’ mutaakhirin mulai menaruh perhatian untuk mempelajari hal-hal yang sebelumnya tidak pernah dipelajari pada periode mutaqaddimin.mutaakhirin mengkaji ayat dari beberapa segi seperti munasabah, ayat Makiyyah, Madaniyah, Muhkamat, muhtasyabihat dan lain sebagainya. Ulama’
Para ulama’ mutaakhirin merasa berkewajiban untuk berupaya menjelaskan makna-makna Al-Qur’an dengan menggunakan cabang ilmu tafsir. Hal tersebut akibat interaksi bangsa Arab dengan non-Arab, berubahnya dialek-dialek Arab yang shahih dan melemahnya ketatabahasaan Arab untuk menangkap makna Al-Qur’an, sebagaimana dicapai pada sebelum interaksi atau masa ulama’ mutaqaddimin.
Kondisi yang terjadi pada masa ulama’ mutaqaddimin yang mengandalkan penafsiran Rasulullah SAW, para sahabat dan tabiin, karena mereka menganggap mereka merupakan sumber-sumber kuat dan terpercaya atau mumpuni. Sementara pada kalangan ulama’ mutaakhirin yang mengandalkan metode-metode kondisional karena mereka telah kehilangan mata rantai dengan orang-orang  mumpuni layaknya ulama’ mutaqaddimin. Di samping itu juga karena pengaruh perkembangan zaman yang kian hari semakin maju yang diringi dengan munculnya permasalahan-permasalahan hidup yang semakin konpleks dan rumit. Permasalahan-permasalahan yang muncul juga seringkali tidak ditemukan jawabannya dalam nash-nash yang ada. Di tambah lagi dengan semakin tinggi tingkat intelektual umat Muslim.

c.       Penafsiran Al-Qur’an dalam Dunia Kontemporer
Studi terhadap Al-Qur’an dan metodologi tafsir sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seiring dengan lajunya perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia, sejak turunnya Al-Qur’an hingga sekarang.  Fenomena ter-sebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan antara Al-Qur’an sebagai teks (nash) yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks yang tidak terbatas.  Hal itu juga merupakan salah satu implikasi dari pandangan teologis umat Islam bahwa Al-Qur’an itu selalu cocok setiap waktu dan tempat.
Dengan mengacu pada pandangan di atas, Syahrur (1992:33) berpendapat bahwa Al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat Islam. Sudah barang tentu hal itu menuntut adanya metodologi baru yang sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.
Oleh sebab itu, munculnya metodologi tafsir kontemporer merupakan keniscayaan sejarah yang tidak terelakkan. Apalagi dalam pemikiran-pemikiran keislaman, persoalan metodologi tafsir, yang nota bebenya adalah seperangkat konsep-konsep dan teori, proses dan prosedur untuk mengembangkan tafsir merupakan ilmu yang belum matang, sehingga selalu terbuka untuk diperbaharui dan dikembangkan. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa metodologi tafsir kontemporer dapat dipandang sebagai upaya pengembangan tafsir di era kontemporer dalam rangka merespon tantangan zamannnya. Hal ini erat sekali kaitannya dengan Al-Qur’an yang dipandang umat Islam sebagai sumber ajaran moral, petunjuk bagi bagi umat manusia, dan bukan hanya sebagai sumber hukum Islam.
Oleh sebab itu, pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an melalui pengembangan dan pemekaran metodologi tafsir tentu mempunyai implikasi dan peranan yang sangat besar bagi perkembangan tafsir dan maju mundurnya umat Islam pada umumnya. Di sini menurut Azyumardi Azra (1994:9) dalam Jurnal Ulumul Qur’an  bahwa Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi dan Farid Essack dapat dikutip sebagai representasi ekspresi sarjana-sarjana muslim yang dilandasi rasa keimanannya dalam mengkaji Al-Qur’an.
Lebih lanjut, Azra (1994:9)  menambahkan bahwa;
Esensi untuk memelihara Al-Qur’an sebagai dasar keimanan, pemahaman dan tingkah laku moral. Tetapi juga, Al-Qur’an harus dijadikan sebagai buku bimbingan bagi seluruh umat manusia, bahkan perlu memandang Al-Qur’an secara kritis sebagai kesatuan dalam kaca mata keilmuan modern dengan memahami ideal moral (maksud utamanya) dan mengambil darinya ajaran-ajaran yang cocok dalam waktu dan tempat tertentu.

Kini, persolannya adalah bagaimana merumuskan sebuah metode tafsir yang dianggap mampu menjadi alat untuk menafsirkan Al-Qur’an secara baik, dialektis, reformatif, komunikatif-inklusif serta mampu menjawab perubahan dan perkembangan problem kontemporer yang dihadapi umat Islam.
Senada dengan pandangn-pandangan di atas, M. Amin Abdullah (2000:93) dalam Jurnal Al-Jami’ah; Jurnal of Islamic Studies IAIN Sunan Kalijaga berpendapat bahwa perkembangan situasi dan kondisi sosial, budaya, politik, ilmu pengetahuan dan revolusi reformasi juga turut memberi andil bagaimana memaknai kembali teks-teks agama.

d.      Urgensi Tafsir
Suryadilaga, dkk. (2005:33) berpendapat bahwa “Sebelum memaparkan pentingnya peranan tafsir, ada baiknya dikemukakan dulu tujuan utama turunnya Al-Qur’an. Dengan mengetahui tujuan tersebut, akan diketahui pula betapa pentingnya peranan tafsir untuk megungkap kandungan Al-Qur’an”.
Menurut Qardhawi (1997:19) bahwa tujuan utama diturunkanya Al-Quran memberikan petunjuk bagi perjalanan hidup manusia, yang di dalamnya terdapat petunjuk akidah, muamalah, akhlak dan syari’at atau hukum. Al-Qur’an adalah pegangan atau pedoman hidup yang paling ideal dan sempurna bagi kehidupan manusia.
Dengan kata lain, Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum, sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan, sumber dari segala segala sumber nilai dan atau sumber dari segala sumber aturan hidup. Kitab suci ini menempatkan diri pada posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad.
Tujuan dan fungsi Al-Qur’an yang sangat strategis tersebut tidak akan aplikatif dan tidak akan sulit dicapai apabila di dalam Al-Qur’an ternyata banyak hal-hal yang samar dan global, yang membutuhkan analisis atau pemahaman sebelumnya. Untuk menanggulangi hal tersebut dibutuhkan tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an.
Peranan-peranan strategis tafsir dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli, di antaranya;
1)      Tafsir mempnyai posisi mulia, karena yang menjadi obyeknya adalah kitab yang maha mulia. Dalam hal ini Al-Syirbashi dalam Suryadilaga dkk. (2005:34) berpendapat bahwa tafsir merupakan usaha dalam mengkaji dan memahami Al-Qur’an yang maha mulia secara mendatail untuk mendapatkan ketentuan hukum yang akan dapat di terapakan pada kondisi tetentu.
2)      Ali Hasan Al-Aridl (1994:3-4) dalam bukunya Sejarah dan Metodologi Tafsir  berpendapat bahwa kedudukan tafsir sangat tergantung pada obyek atau masalah yang ditafsirkannya, karena obyek tafsir adalah kita suci Al-Qur’an yang mempunyai kedudukan yang mulia, yang merupakan kebahagian yang abadi, maka kedudukan tafsir pun amatlah mulia.
3)      Quraish Shihab (1999:71:73) berpendapat bahwa pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an melalui penafsiran-penafsirannya mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat Islam. Sekaligus penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran umat Islam.
2.      Takwil Al-Qur’an
a.       Memahami Takwil Al-Qur’an
Kata takwil dalam Al-Qur’an terdapat surat Ali Imran, ayat 7, yaitu:
... وَمَا يَعْلَمُ تَأْ وِيْيْلَهُ إِلاَّ اللهُ ...(العمرا ن:7)
Artinya: “…padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah” (Ali Imran:7) (Depag. RI., 1993:76)

Takwil secara etimologi berasal dari kata aul yang bermakna kembali dan berpaling. Ada juga yang megnatakan bahwa takwil berasal dari kata ail yang berarti memalingkan, yakni memalingkan ayat dari makna yang dhahir kepada sesuatu makna yang diterima olehnya (Ash-Shiddieqy, 1993:173).
Sedangkan takwil secara terminologi adalah upaya menginterpretasi sesuatu yang dimungkinkan oleh suatu lafadl dengan tanpa memastikannya. Atau takwil usaha memahami dan menganlisis ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk kepada penjelasan-penjelasan makna-dalam dan tersembunyi. Dalam hal ini pentakwil selain menggarap dimensi lahiriah (dhahir) ayat, juga menggunakan perangkat keilmuan lain, baik ilmu-ilmu sosial maupun humaniora untuk menguak makna teks yang lebih dalam (Abu Zayd, 1994:252-267).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa takwil adalah upaya mengalihkan makna suatu kata dari makna lahiriahnya kepada makna yang lebih tepat yang mungkin dikandungnya, karena suatu dalil  yang membuatnya lebih tepat. Pengalihan makna itu harus kepada makna yang kemungkinannya terkandung oleh kata yang ditakwilkan, walau kemungkinan itu bersifat tidak kuat. Jika tidak, maka ia tidak dianggap takwil, tetapi kebodohan dan kesesatan, atau sesuatu yang sia-sia dan batil.
Di samping itu, juga harus ada dalil yang kuat yang mendasari pengalihan makna tersebut, sekalipun makna tersebut terkandung di dalamnya. Karena meninggalkan suatu kemungkinan yang kuat kepada kemungkinan yang kurang kuat tidak boleh dilakukan kecuali dengan dalil. Jika tidak, maka setiap orang akan mengatakan sesuatu yang dikehendakinya dan orang-orang yang menyimpang dapat menggugurkan dalil-dalil agama yang jelas, tanpa dalil apapun, dengan alasan melakukan takwil.

b.       Takwil dalam Realita
Setelah masa ulama’ salaf berlalu, keadaan telah berubah yang diiringi dengan perkembangan dan kemajuan peradaban manusia. Hal tersebut menuntut perlunya penggunaan takwil dalam berbagai bentuknya.. Kini sementara orang menganggap dirinya sebagai pembaru dalam bidang tafsir, menggunakan pentakwilan semata-mata berdasarkan penalaran tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan. Menurut beberapa ahli proses pentakwilan telah keluar dari koridor-koridor yang telah ditetapkan, karena sebagian ahli telah menempatkan nalar atau akal pada posisi paling tinggi dan mengabaikan konteks kebahasaan. Alhasil, seringkali hasil pentakwilan yang didapatkan tidak sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh teks yang ada dan keinginan Tuhan (Shihab, 1999:91 & 98).
Oleh sebab itu, salah satu bahaya besar yang mengancam nash ialah adanya pentakwilan yang sangat tidak baik. Dalam artian bahwa nash-nash ditafsirkan dengan penafsiran yang sangat menyimpang dari apa yang dinginkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, yakni kepada makna-makna lain yang dikehendaki oleh pentakwil. Makna-makna pentakwilan secara internal boleh saja benar, tetapi sama sekali tidak menunjukkan apa yang dimaksudkan oleh nash. Dan bisa jadi, makna-makna tersebut tidak benar secara internal dan juga tidak menunjukkan apa yang dimaksud oleh nash, sehingga ketidakbenarannya terjadi pada dalil dan apa yang didalilinya secara bersamaan.
Dalam hal ini Al-Syathibi dalam Shihab (1999:97) mengemukakan dua syarat pokok bagi setiap pentakwilan, yaitu:
1)      Makna yang dipilih sesuuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya.
2)      Makna yang dipilih telah dikenal oleh bahasa Arab klasik.
Dari dua syarat utama tersebut sangat jelas menerangkan bahwa di dalam pentakwilan harus berpedoman pada tata kebahasaan. Sementara pembaru dinilai sangat memperluas penggunaan takwil tanpa suatu alasan yang mendukungnya. Kita dapat memahami motivasi sebagian orang yang menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran-ajaran agama, sambil mempersempit sedapat mungkin wilayah ghaib, seperti yang dilakukan oleh Muhammad Abduh selama ini. Namun bila hal ini diperturutkan tanpa batas, maka ia dapat mengakibatkan pengingkaran hal-hal yang bersifat supra-natural, sebagaimana ditemukan dalam pemikiran sementara pembaru. Menggunakan akal sebagai tolak ukur satu-satunya dalam memahami teks-teks keagamaaan, khususnya tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal-hal ghaib berarti menggunakan sesuatu yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Tuhan.

3.      Perbedaan antara Tafsir dan Takwil
Karena fungsi tafsir dan takwil sama-sama menjelaskan makna suatu ayat yang samar atau menguak kandungan makna teks-teks dalam Al-Qur’an, maka ada kalangan ulama’ yang menyamakan makna tafsir dan takwil. Di samping itu juga, terdapat pula ulama’ yang membedakannya, seperti Al-Maturidy dan Abu Zayd. Mereka berpendapat bahwa bahwa tafsir lebih umum dibanding takwil, sebab tafsir umumnya berfungsi menerangkan maksud yang terkandung dalam susunan kalimat. Sedangkan takwil digunakan untuk menjelaskan pengertian kitab-kitab suci, sedangkan tafsir juga menerangkan hal-hal yang lainnya (Suryadilaga, 20005:29).
Menurut Al-Maturidy di dalam Ash Shiddieqy (1993:173) bahwa tafsir adalah memastikan bahwa yang dikehendaki oleh Allah adalah demikian, sedangkan takwil adalah menginterpretasi sesuatu yang dimungkinkan oleh suatu lafadl dengan tanpa memastikannya. Selanjutnya, menurut Abu Zayd (1994:252-267) berpendapat bahwa dalam diskursus Ilmu Tafsir Al-Qur’an, kata takwil ini biasa dibedakan dengan tafsir. Ringkasnya dapat dikatakan bahwa kalau tafsir menjelaskan aspek luar (dhahir) dari Al-Qur’an, sementara takwil merujuk kepada penjelasan-penjelasan makna-dalam dan tersembunyi.  Bahwa dalam proses tafsir seorang penafsir menggunakan linguistik dalam pengertiannya yang tradisional, yaitu merujuk kepada riwayah, artinya peran penafsir dalam melakukan penafsiran hanya dalam kerangka mengenal simbol-simbol. Sedangkan dalam takwil, seorang penafsir selain menggarap dimensi lahiriah (dhahir) ayat, juga menggunakan perangkat keilmuan lain, baik ilmu-ilmu sosial maupun humaniora untuk menguak makna teks yang lebih dalam.
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat kita bedakan bahwa dalam tataran praktik antara tafsir dan takwil memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Tafsir dalam praktiknya berlaku untuk semua teks secara umum sedangkan takwil hanya berlaku untuk membuka tabir kesamaran makna teks-teks dalam kitab-kitab suci dengan menggunakan perspektif ilmu-ilmu yang lain guna mendapatkan makna yang diinginkan.

4.      Hermineutika Al-Qur’an
a.       Hermineutika: Asal Usul dan Teori
Menurut Saeonong (2002:23) hermeneutika berasal dari kata Yunani yaitu hermeneuinehermenia yang masing-masing berarti menafsirkan dan penafsiran. Istilah tersebut dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam sejumlah literatur peninggalan masa Yunani Kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang di dalamnya terdapat risalah terkenal yaitu Peri hermeneias (Tentang Penafsiran). Senada dengan pendapat tersebut, Palmer (2003:15) berpendapat bahwa hermeneutika berasal dari kata Yunani, yaitu hermeneuein (kata kerja) dan hermenia  (kata benda) yantg berarti menafsirkan dan interpretasi. Kedua istilah tersebut diasosiasikan kepada Hermes (hermeios), seorang utusan (dewa) dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan Botschafter  (Tuhan) kepada manusia. dan
Lebih lanjut, Palmer (2003:15)  menambahkan bahwa;
Hermes diasosiasikan ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Bentuk kata yang beragam itu mengasumsikan adanya proses menggiring sesuatu dari yang sebelumnya tidak dapat ditangkap oleh intelegensia menjadi dipahami. Orang Yunani berhutang budi pada Hermes dengan penemuan bahasa dan tulisan—sebuah mediasi di mana pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikannya pada orang lain.

Sejalan dengan pendapat di atas Faiz (2005:4) berpendapat bahwa pengasosiasian hermeneutika dengan Hermes ini menunjukkan adanya tiga unsur yang pada akhirnya menjadi variable utama pada kegiatan manusia dalam memahami, yaitu:
1.      Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan atau teks yang dibawa oleh Hermes kepada manusia.
2.      Perantara atau penafsir pesan-pesan yang diturunkan oleh Tuhan kepada Manusia.
3.      Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai pada penerima.
Jadi, dengan menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari hermeneutika dan hermeneutis mengasumsikan proses membaca sesuatu untuk dipahami, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.
Sementara hermeneutika secara terminologi adalah upaya dalam menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingunagn bagi pendengar atau pembaca (Faiz, 2005:5).
Dalam tataran praktis Syahrur dkk. (2002:197-207) mengemukakan bahwa harus diakui hermeneutika memang menawarkan sesuatu yang sangat menarik dalam wacana penafsiran kitab suci, termasuk kepada Al-Qur’an di dalamnya. Pola penafsiran yang ditawarkannya di satu sisi mengungkap sisi metodologis yang manusiawi karena tidak hanya memperhatikan isi teks, tetapi juga mempertimbangkan keberadaan konteks yang melingkupi teks tersebut, baik konteks psikologis maupun konteks sosial. Di sisi lain, hermeneutik membuka jalan bagi upaya kontekstualisasi kitab suci sehingga dapat berdialog dan operasional-fungsional dalam berbagai ruang dan waktu yang berbeda, sebagaimna yang diidamkan dan dipegangi secara apologis oleh banyak kalangan umat beragama terhadap kitab sucinya masing-masing.
Sebagai sebuah tawaran metodologi bagi pengkajian kitab suci, keberadaan hermenetika pun tidak bisa dielakkan dari dunia kitab suci Al-Qur’an. Menjamurnya berbagai literatur ilmu tafsir kontemporer yang menawarkan hermeneutika sebagai variable metode pemahaman Al-Qur’an menunjukkan betapa daya tarik hermenutika memang luar biasa.  Dalam hal ini hermeneutika itu tidak sekedar ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ketingkat dunia, tapi ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari teori sampai praktis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.

b.      Realita Hermineutika Al-Qur’an: Antara Pro dan Kontra
Sebagaimana yang dikatakan (Faiz, 2005:29) bahwa salah satu implikasi logis yang harus diterima dari pendekatan hermeneutika secara umum adalah pola bernalar yang antroposentris. Itulah sebabnya nalar hermeneutika ini disebut sebentuk takwil, dan mungkin lebih tepat menyebut hermeneutika ini tidak saja dengan istilah ta’wil, tetapi takwil–antroposentris.
Takwil antroposenteris adalah pola nalar yang memberikan kebebesan manusia dalam mengeksplore ayat-ayat Al-Qur’an dengan potensi nalar rasionya. Kenyataan antroposentris yang sangat ditentang oleh banyak kalangan umat Islam, karena kehidupan ini tak lepas dari dimensi Ilahi, sehingga pusatnya adalah Tuhan dan bukan manusia. Karena Tuhan yang menjadi pusat pangkal kehidupan menurut kaum yang anti hermeneutika, maka setiap orang hanya berhak untuk tunduk dan patuh, termasuk diantaranya terhadap klaim sakralitas Al-Qur’an dalam berbagai aspeknya.
Pendekatan hermeneutika terhadap sebuah teks suci, termasuk Al-Qur’an, sering dipandang akan melenyapkan sakralitas teks yang dimaksud karena dengan pendekatan hermeneutika maka segala pemahaman dan pemaknaan yang semula juga dipandang sama sakralnya dengan teks itu sendiri, kini dianggap sekedar hasil karya manusia yang meruang-waktu serta tidak bersih dari kesalahan. 
Lebih lanjut Faiz (2005:30-31) menambahkan bahwa apabila dicermati, secara umum argumentasi kelompok yang anti hermeneutika tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Dari aspek perkembangan historisnya, hermeneutika berasal dari tradisi Kristen, Barat, dan juga tradisi Filsafat, sehingga tidak mustahil akan menggusung ideologi dan nilai-nilai Kristiani, Barat dan juga filsafat, yang tidak pasti sesuai dengan Islam.
Hermeneutika dalam perkembangannya yang semula berkutat dalam ranah teologis ternyata bergeser ke dalam kajian filsafat. Ketika makna hermenutika memasuki diskursus filsafat, tradisi intelektual barat telah siap dengan mekanisme pembaratannya. Nilai-nilai pandangan hidup Barat yang skuler dan anti agama dianggap memberikan makna baru terhadap hermeneutika. Oleh karena itu, ketika hermeneutika telah menjadi metode filsaafat, maka ia bukan lagi metode interpretasi kitab suci. Jika akan diterapkan untuk kajian kitab suci ia dicurigai akan merusak sendi-sendi agama, karena agama diposisikan di bawah filsafat. 
2.      Sebenarnya umat Islam telah memiliki metodologi sendiri dalam menginterpretasi Al-Qur’an, yaitu Ulumul Qur’an atau ilmu tafsir Al-Qur’an.
Argumen kedua ini pada intinya ingin menyatakan bahwa Ilmu tafsir yang sudah lama dimiliki umat Islam masih tetap relevan digunakan dalam studi Islam, sementara hermeneutika tidaklah sesuai untuk diterapkan ke dalam studi tafsir yang sudah berjalan mapan dalam Islam.
Sebuah artikel yang kiranya juga mengekspresikan pendirian ketidak-setujuan terhadap hermeneutika memberikan argumen sebagai berikut :
1.      Berdasarkan akar katanya, hermeneutika sering diasosiasikan dengan Hermes, yaitu Dewa Yunani yang bertugas menyampaikan pesan dari dunia dewa-dewa kepada manusia. Untuk melaksanakan tugasnya ini Hermes bertanggung jawab membuat penduduk bumi bisa memahami apa kemauan dewa, sehingga sangat mungkin Hermes ini memilih cara dan model ungkapan kata sendiri untuk disampaikan kepada manusia. Apabila dilihat dari titik ini, maka harus ditegaskan meskipun fungsinya sama, namun Muhammad tidaklah sama dengan Hermes.
2.      Dalam proses penafsiran, hermeneutika tidak mementingkan urutan prosedural, karena satu-satunya jalan untuk memberikan interpretasi yang benar dan jujur terhadap teks ialah penguasaan terhadap teks dan konteks historis yang melatari munculnya teks tersebut. Berbeda dengan tradisi Ulumul Qur’an yang sangat mementingkan dimensi otentitas dan prosedur periwayatan sebelum menafsirkan; misalnya ada hirarki langkah-langkah penafsiran; yang paling utama adalah ayat dengan ayat, lalu ayat dengan sunah (hadits Rasul); kemudian penafsiran sahabat, selanjutnya penafsiran tabi’in.
3.      Dalam lingkup kajian hermeneutika sebagaimana telah dijelaskan di muka berkisar pada tiga elemen pokok, yakni teks, interpreter dan audien atau apa yang diistilahkan dengan triadic structure. Itu berarti teori hermeneutika sangat simple dan umum, tidak memberikan penjelasan yang rinci untuk membimbing para mufassir menemukan sebuah penafsiran yang benar dan representatif.
4.      Dalam teori hermeneutika terkesan bahwa seorang hermeneut dapat menafsirkan semua teks tanpa kecuali selama dia dapat menguasai tiga unsur utama tersebut secara baik. Padahal dalam tradisi Ulumul Qur’an dinyatakan bahwa banyak ayat yang sifatnya tidak terjangkau oleh nalar manusia, termasuk yang paling jenius sekalipun, misalnya tentang alam gaib.
5.      Dalam teori hermeneutika seorang interpreter memahami lebih baik teks dibandingkan si penulis (pengarang) (Faiz, 2005:32-33).
     

C.    Tafsir, Takwil dan Hermeneutika Al-Qur’an dalam Analisa Penulis

1.      Tafsir   dan Takwil
Dengan melihat betapa krusialnya posisi tafsir dan takwil dalam Islam, sehingga tafsir dan takwil dapat dijadikan barometer maju mundurya peradaban Islam. Karena dari sanalah akan diketahui sejauh mana tingkat intelektual umat Islam. Baik buruknya hasil penafsiran dan pentakwilan merupakan indikasai tingkat intelegensia umat Islam.
Dalam  realitasnya tafsir dan takwil telah mengantarkan umat Islam pada segala zaman yang telah dilalui, dari masa keemasan sampai masa yang penuh pancaroba seperti sekarang ini. Ketika masa keemasan Islam, para ahli selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai inspirasi utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Mereka dapat mengetahui kandungan isi Al-Qu’ran dengan perantara tafsir dan takwil. Dan umat Islam berada pada musim pancaroba seperti sekarang ini, karena umat Islam kehilangan jati diri karena meninggalkan tradisi positif umat Islam terdahulu yang dikenal sebagai umat yang telaten dan ulet dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Saat ini umat Islam sedang mengalami stagnasi pemikiran dan peradaban. Sebagian besar umat Islam terdoktrinasi oleh pandangan-pandangan konservatif dari hasil tafsiran dan takwilan yang konservatif dan tidak aplikatif. Seharusnya umat Islam sudah mulai terbangun dari tidur panjangnya seiring dengan kemajuan zaman yang dimotori oleh dominasi barat dan Eropa.
Al-Qur’an, apabila dieksplore sesuai dengan tantangan zaman tentu akan berbuah kemajuan, karena Al-Qur’an juga telah memberikan sinyalemen ke arah sana. Seperti dalam Al-Fath ayat 29 yang artinya “…tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman tadi kuat, lalu menjadi besarlah ia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya…(Al-fath:29) (Depag. RI, 1993:843).
Penggalan ayat di atas menggambarkan betapa masyarakat ideal itu terus-menerus berubah dan berkembang menuju kesempurnaannya. Kalau gambaran di atas dikaitkan dengan hakikat kemodernan yang antara lain bercirikan dinamika dan perubahan yng terus menerus serta dikaitkan dengan fungsi Kitab Suci, maka kita dapat berkesimpulan bahwa Al-Qur’an menganjurkan pembaruan.
 Sebagaimana pendapat Arkoun di dalam Shihab (1999:72) bahwa “Al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup untuk interpretasi tunggal”. 
Pandangan tersebut merupakan faktor utama yang merupakan salah satu faktor lahirnya tafsir dan takwil di samping tuntutan zaman melalui perantara permasalahan yang naik ke permukaan. Di samping itu juga karena rasa ingin tahu manusia dan keraguan manusia tentang kandungan ayat Al-Qur’an.

2.      Hermeneutika
Bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai sumber pengetahuan dan petunjuk. Agar fungsi strategis itu dapat teraplikasikan sesuai dengan tuntutan zaman, maka Al-Qur’an harus dipelajari dan diupayakan analisisnya. Untuk kebutuhan analisis dimaksud diperlukan adanya kerangka dasar yang relevan. Kerangka dasar tersebut terbentuk menjadi metodologi. Jadi, keberadaan sebuah metodologi dalam analisis ayat-ayat Al-Qur’an mutlak diperlukan.
Seiring dengan dinamika intelektual manusia beserta tantangan-tantangan yang dihadapi semakin kompleks, maka perkembangan metodologi analisis Al-Qur’an merupakan suatu keniscayaan. Sebuah metodologi boleh jadi akan dirasakan usang oleh si pemakainya, sehingga akan diusahakan mendapatkan yang baru. Proses pencarian ini akan akan bermuara pada perumusan metodologi baru dan akhirnya pembaruan pun tidak mungkin dihindari.
Dalam hal ini hermeneutika merupakan metodologi baru yang sedang aktual dibicarakan oleh para ahli. Di dalam realitasnya kehadiran hermeneutika telah memunculkan pro dan konra yang begitu sengit di tengah umat Islam.
Kehadiran hermeneutika dalam jagad Ulumul Qur’an pada hakikatnya adalah sebuah tawaran baru yang berasal dari para ilmuan metodologi kontemporer dari berbagai displin ilmiah. Sebagai sebuah tawaran baru, tidak serta merta hermeneutika ini harus diadopsi atau ditolak mentah-mentah. Pemahaman yang serius, upaya trial and error, dan evaluasi  yang berkesinambungan kiranya perlu dilakukan sebelum kemudian diputuskan apakah hermeneutika akan menggantikan Ulumul Qur’an ataukah ditolak seratus persen, atau sekedar menambah variable metodologi dalam Ulumul Qur’an yang selama ini telah established.
Baik para ahli yang pro-hermeneutika maupun yang anti-hermeneutika memilki hak untuk memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini, meskipun tentunya ketika perjuangan tersebut memasuki ruang publik, ada aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi, agar tidak terjadi hegemoni, diskriminasi maupun prilaku-prilaku tidak adil lainnya yang dilakukan oleh salah satu pihak. Karena diskusi hermeneutika pada hakikatnya merupakan wacana ilmiah-filosofis, penerimaan dan penolakan terhadap hermeneutika seharusnya didasarkan kepada argumen-argumen yang ilmiah dan bukannya kepada apologi-apologi serta asumsi-asumsi yang tidak perlu, seperti kecurigaan dan ketakukan tanpa dasar terhadap yang lain, maupun sentimentalisme emosional untuk memihak atau menjatuhkan pandangan tertentu.

D.    Penutup

Dari keseluruhan wacana di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan di antaranya:
1.      Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin pesat, secara simultan telah bermunculan permasalahan-permasalahan kehidupan yang membutuhkan penyelesaian yang terpadu, cepat dan tepat. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut Tuhan menurunkan Al-Qur’an yang akan menjadi petunjuk hidup manusia. Namun, ternyata Al-Qur’an ketika di dalam tataran praktis tidak siap pakai, karena banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum. Oleh karena itu, membutuhkan analisa dan pemahaman lebih mendalam terhadap ayat-ayat Al-Qur’an  agar kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan metode analisis yang valid dan tepat. Dalah hal ini tafsir, takwil dan hermeneutika merupakan metode-metode dalam menyingkap tabir kandungan ayat-ayat Al-Qur’an.
2.      Antara tafsir, takwil dan hermeneutika merupakan suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami, memikirkan dan mengeluarkan hukum yang terkandung  dalam Al-Qur’an agar dapat diaplikasikan sebagai dasar utama penetapan hukum. Atas dasar inilah maka diakui bahwa peranan tafsir, takwil dan hermeneutika sangat besar dalam menjelaskan makna kandungan Al-Qur’an yang sebagian besar masih global dan mempunyai makna yang samar, sehinggga muncul kesulitan untuk memahami dan menerapkannya dalam kehidupan.
3.      Perkembangan kehidupan manusia yang semakin modern, yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan penemuan-penemuan keilmuan yang super canggih dan mutakhir, ternyata tidak berimbas pada semakin mudahnya kehidupan manusia. Namun telah melahirkan permasalahan yang begitu sulit kompleks dan rumit. Selama ini menurut para ilmuan peranan tafsir dalam menyingkap rahasia dalam teks Al-Qur’an hasilnya seringkali tidak aplikatif dengan tuntutan zaman yang semakin modern. Oleh karena itu, dibutuhkan metode baru yang dapat mengatasi dan memenuhi tuntutan zaman. Dalam hal ini hermeneutika merupakan salah satu metode modern yang secara refresentatif  dapat memenuhi tuntuntan zaman. Hal ini terlepas pro dan kontra yang selama muncul dipermukaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Hasan Al-Aridl. 1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Depag RI. 1993. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Kathoda

Fahruddin Faiz. 2005. Hermeneutika Al-Qur’an, Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: Elqas Press

Ilham B. Saenong. 2002. Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi. Jakarta: Teraju

Islamia, 2004. Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam. No. I. Jakarta: Khairul Bayan

Jurnal Al-Jami’ah; Jurnal of Islamic Studies. 2000. Kajian Ilmu Kalam di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma Keislaman pada Era Milenium Ketiga. Surabaya: IAIN Sunan Kalijaga

Jurnal Ulumul Qur’an. 1994. Studi Islam di Timur  dan Barat Pengalaman Selintas. No. 3. Vol. V. Jakarta

M. Alfatih Suryadilaga, dkk. 2005. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras
M. Quraish Shihab. 1999. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan
Muhammad Syahrur, dkk. 2002. Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya

_______, 1992. Al-Kitab wal Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah. Damaskus: Ahali li al-Nasyir wa at Tauzi

Nasr Abu Zayd, 1994. Mafhum al-Nash, Dirasah fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-‘Araby

Richard E. Palmer. 2003. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Said Agil Husin Al-Munawar. 2002. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra

Yusuf Qardhawi. 1997. Al-Qur’an dan As-Sunnah, Referensi Tertinggi Ummat Islam (Terjemahan). Jakarta: Robbani Press



           


Dengan melihat wacana di atas, tafsir merupakan kegiatan ilmiah yang berfungsi memahami dan menjelaskan Al-Qur’an, ilmu-ilmu pengetahuan yang dipergunakan dalam kegiatan tersebu dan ilmu pengetahuan yang merupakan hasil kegiatan ilmiah tersebut.
Keberatan pertama ini melihat perkembangan hermeneutika berawal dari Tradisi Bibel, dan kemunculan hermeneutika ini berawal dari trauma umat Kristen saat itu terhadap otoritas gereja dan problematika teks Bibel sendiri. Sebagai satu teks, Bibel dianggap memiliki banyak aithor.
Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya teori yang ditemukan seputar penulisan Bibel, maka dari itu metode hermeneutika sangat menekankan pada aspek historisitas dan kondisi penulis teks.

My Family

My Family
Kunjungan Dosen Native Speaker dari Sudan

My Duty

My Duty
Pelatihan Model Pembelajaran