Salam Ta'aruf

Allah telah membuktikan firmannya :
"Qul Hal Yastawilladzina Ya'lamuna wal Ladzina la Ya'lamuun"....
ayat tersebut merupakan anjuran kepada manusia agar supaya kita menjadikan ILMU sebagai sesuatu yang paling berharga dan tameng dalam hidupnya.
dengan Ilmu manusia bisa menggapai segala-galanya, dengan ilmu manusia bisa meraih apa yang dicita-citakannya, dengan ilmu manusia mampu menerobos angkasa, dan masih banyak lagi.
Allah menjamin dengan Jaminan yang Pasti, bahwanya terdapat perbedaan yang sangat besar antara orang yang berilmu dan tidak berilmu, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. begitu juga dalam menghadapi dan menyelesaikan sebuah permasalahan. orang berilmu menggunakan ilmu sebagai paradigma atau "pisau analisnya" melalui akal yang diberikanNya, sedangkan orang yang tidak berilmu mengambil cara pintas, dengan tanpa menganilasa sebab dan akibat yang akan ditimbulkannya.
Subhanallah, ternyata mahligai Ilmu dapat diraih dengan tafakkur, tadabbur, sehingga membawa manusia kepada kebahagian lahir dan batin yang menjadi idaman setiap manusia yang hidup di muka bumi ini.
Ingin bahagia lahir batin, dan dunia akhirat... dapatkan...carilah Ilmu....
Ingat.... Ilmu Allah sangat luas

Budaya Organisasi di Lembaga Pendidikan

    BUDAYA ORGANISASI DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
    Oleh : H. Hasan Baharun, M. Pd
    I. Pendahuluan
    Adanya sebuah gagasan yang memandang bahwa organisasi sebagai suatu budaya – di mana suatu system dari makna yang dianut bersama di kalangan para anggotanya – merupakan fenomena yang relative baru. Pemahaman umum yang selama ini berkembang, bahwa organisasi didefinisikan sebagai suatu alat yang rasional untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan sekelompok orang. Di dalamnya ada tingkat jabatan, hubungan, wewenang dan seterusnya. Namun organisasi sebenarnya lebih dari itu. Organisasi juga mempunyai kepribadian, persis seperti individu; bisa tegar atau fleksibel, tidak ramah atau mendukung, inovatif dan konservatif.
                Para teoritisi organisasi akhir-akhir ini, telah mulai mengakui hal ini dengan menyadari pentingnya peran yang dimainkan budaya tersebut dalam kehidupan anggota-anggota organisasi. Meskipun demikian, menarik bahwa asal usul budaya sebagai suatu variable independent yang mempengaruhi sikap dan perilaku seorang aggota dapat dirunut baik sejak adanya ide pelembagaan. Bila suatu organisasi menjadi lembaga, organisasi itu memiliki kehidupannya sendiri, terlepas pendiriannya ataupun siapapun anggotanya. Perubahan status yang dialami UIN Malang misalnya, mulai dari IAIN di bawah Surabaya, STAIN, UIIS dan sekarang UIN Malang pasti ada tradisi-tradisi lama yang tetap dipertahankan[1].
                Pelembagaan bekerja untuk menghasilkan pemahaman bersama di kalangan anggota mengenai perilaku apa yang tepat dan bermakna. Jadi, bila sebuah organisasi meneruskan keabadian lembaganya, model perilaku yang dapat diterima menjadi sangat jelas dengan sendirinya bagi anggotanya. Ini sebenarnya hal yang sama yang dilakukan kultur organisasi. Dengan demikain, memahami apa yang dimaksud dengan budaya organisasi, bagaimana tipologinya, apa saja fungsinya dan bagaimana budaya organisasi diciptakan dan dipertahankan, akan meningkatkan kemampuan kita untuk menjelaskan dan meramal perilaku dari orang pada pekerjaan yang professional[2].    
    II. PEMBAHASAN
    A. Pengertian
    Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, budaya (culture) diartikan sebagai : pikiran, adat istiadat, sesuatu yang sudah berkembang, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah[3]. Dalam pemakaian sehari-hari, orang biasanya mensinonimkan pengertian budaya dengan tradisi (tradition). Dalam hal ini tradisi diartikan sebagai idea-idea umum, sikap dan kebiasaan dari masyarakat yang nampak dalam perilaku sehari-hari yang menjadi kebiasaan dari kelompok dalam masyarakat tertentu[4].
                Budaya organisasi mengacu pada sekumpulan keyakinan bersama, sikap dan tata hubungan serta asumsi-asumsi yang secara eksplisit atau implicit diterima dan digunakan oleh keseluruhan anggota organisasi untuk menghadapi lingkungan luar dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi. Dalam hal ini, budaya organisasi mempunyai pengaruh penting terhadap motivasi[5].
                Tampaknya ada suatu kesepakatan yang luas, bahwa budaya organisasi yang sebagian menyebut juga tradisi organisasi mengacu ke suatu system makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi yang lain. System makna bersama ini, jika diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai bahkan dicita-citakan oleh organisasi itu. Riset terbaru mengemukakan tujuh karakteristik primer berikut yang mencerminan hakikat budaya suatu organisasi.
    1.      Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana para anggota (civitas) didorong untuk inovatif dan mengambil resiko
    2.      Perhatian ke rincian. Sejauh mana para anggota (civitas) diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis dan perhatian kepada rincian dalam kerjanya.
    3.      Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen menfokuskan pada hasil, bukannya pada tekhnik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.
    4.      Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.
    5.      Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja di organisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu-individu.
    6.      Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetetif dan bukannya santai-santai.
    7.      Kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan diperhatikannya status quo  kontras dari pertumbuhan[6].
    Tiap karakteristik ini berlangsung pada kontinum dari rendah ke tinggi. Maka, dengan menilai organisasi itu bedasarkan tujuah karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi itu sendiri. Gambaran ini menjadi dasar untuk pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan perilaku apa yang seharusnya dilakukan oleh para anggotanya[7].
    Budaya organisasi (organizational culture) jika diaplikasikan pada lingkungan menajemen organisasi, lahirlah konsep budaya manajemen (BM). Lebih spesifik lagi, jika BO diaplikasikan pada lingkungan manajemen organisasi sekolah, maka lahirlah konsep budaya manajemen (BM) sekolah.
    B. Tipologi Budaya
    Jefferey Sonnenfeld dari universitas Emory, telah mengembangkan suatu bagan label yang dapat membantu kita melihat perbedaan antara budaya-budaya dengan organisasi dan manfaatnya mempelajari tingkah laku orang-orang pada budaya itu secara tepat. Dari telaah organisasinya, ia telah mengenali empat tipe budaya berdasarkan bentuknya, yaitu akademi, kelab, tim bisbol dan benteng.
    1.      Akademi, bentuk organisasi sebagai suatu tempat untuk proses yang ajeg (steady) yang ingin menguasai benar-benar tiap pekerjaan yang baru diterimanya. Organisasi ini memberikan anggotanya banyak pelatihan istemewa, memadukan dengan seksama dalam tim kerja, mengemudikan mereka melewati ribuan pekerjaan terkhusus di dalam suatu fungsi tertentu. budaya ini dikembangkan terutama pada organisasi-organisasi professional seperti IBM.
    2.      Kelab, bentuk organisasi yang menaruh bingkai tinggi pada kecocokan dalam system, kesetiaan dan pada komitmen. Senioritas merupakan kunci dari kelab-kelab. Usia dan pengalaman diperhitungkan. Perbedaannya dengan akademi, kelab menumbuhkan manajer sebagai generalis. LPI lebih banyak mengembangkan tipe kelab ini.
    3.      Tim bisbol, organisasi ini berorientasi pada terjalinnya kerja sama bagi para pengambil resiko dan innovator. Tim bisbol mencari orang-orang yang berbakat dari segala usia dan pengalaman, kemudian menempatkan mereka pada posisi yang dibutuhkan, karena mereka menawarkan insentif substansial yang snagat besar bagi mereka yang sangat berprestasi, loncatan pekerjaan di antara organisasi-organisasi ini merupakan makanan biasa. Organisasi yang cocok dengan gambaran tujuan stabil ini biasa didapat dalam bidang akuntansi, hukum, penarikan investasi dan konsultasi. Inilah yang menjadi pembangkit motivasi dalam LPI, misalnya melalui pengiriman studi ke luar negeri bagi mahasiswa atau dosen yang berprestasi, menaikkan jabatan bagi civitas yang berprestasi dan sebagainya.
    4.      Benteng, sementara tim bisbol menghargai keinsentifan, benteng sibuk dengan upaya bertahan hidup (survival). Banyak yang dulunya akademi, kelab atau tim bisbol, tetapi terperosok ke dalam masa-masa sulit dan sekarang berupaya mengembalikan nasibnya yang merosot. Benteng tidak banyak menawarkan keamanan pekerjaan, namun organisasi semacam ini menjadi tempat yang mengasyikkan bagi mereka yang pro status quo[8].
                Sonnenfeld menemukan bahwa banyak organisasi tidak dapat dikatagorikan dalam salah satu dari katagori di atas karena bisanya satu organisasi memiliki paduan budaya dan tidak diskrit. Biasanya organisasi seperti ini berada dalam masa transisi, seperti yang sedang dialami UIN Malang.
                Selanjutnya, berdasarkan sifatnya, budaya organisasi dapat dibedakan sebagai berikut :
    1.      Budaya kuat. Dalam suatu budaya kuat, nilai inti organisasi itu dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas. Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai dan makin besar komitmen mereka pada nilai-nilai itu, makin kuat budaya tersebut. Konsisten dengan definisi ini, suatu budaya kuat akan mempunyai pengaruh yang besar pula pada perilaku anggota-anggotanya karena tingginya tingkat kebersamaan (sharedness) dan intensitas menciptakan suatu iklim internal dari kendali perilaku yang tinggi.
    2.      Budaya lemah. Kebalikan budaya kuat, dalam budaya lemah, tingkat konsitensi anggotanya tidak lagi kuat dan jangkauan budaya yang telah disepakati tidak lagi luas mencakup seluruh anggota-anggotanya. Dalam kondisi ini mudah diramalkan (predictability), bahwa tujuan yang hendak dicapai melalui traisi yang telah disepakati akan sulit terwujud[9].   
    C. Budaya Organisasi
    Jika ada program pemerintah yang mengalami hambatan biasanya yang dijadian kambing hitam adalah budaya. Dikatakan nilai-nilai yang menjadi muatan program belum membudaya. Atau budaya masyarakat yang ada dianggap sulit berubah. Jika ada nilai baru yang penerapannya memerlukan perubahan dan perubahan itu oleh penguasa dianggap dapat merugikan kepentingannya, maka yang dijadikan dasar penolakan terhadap nilai itu adalah budaya, dan lain sebagainya[10]. Demikain halnya, dalam suatu lembaga pendidikan, banyak program yang kurang terlaksana dengan baik karena belum adanya budaya yang kondusif. Cita-cita lembaga pendidikan untuk mewujudkan civitasnya sebagai masyarakat pembaca (learning society) kurang berhasil karena belum adanya budaya gemar membaca di kalangan civitasnya.
    Riset mengenai budaya organisasi telah berupaya mengukur bagaimana anggota (civitas) memandang organisasinya, "apakah organisasi itu mendorong terwujudnya kerja tim ? apakah organisasi ini menimbulkan komitmen ? apakah organisasi ini melimpahkan prakarsa ? dan sebagainya".
                Setidaknya, riset yang dilakukan oleh Stephen dapat menjelaskan berbagai persoalan di atas. Menurutnya, budaya organisasi memiliki beberapa fungsi sebagai berikut :
    1.        Budaya mempunyai suatu peran menempatkan tapal batas; artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan jangkauannya.
    2.        Budaya membawa satu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
    3.        Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada suatu yang lebih luas dari pada kepentingan-kepentingan dari individual seseorang.
    4.        Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem social. Budaya merupakan perekat social yang membantu mempersatuakan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para anggota.
    5.        Akhirnya budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memadu dan membentuk sikap serta perilaku anggaotanya[11].
    Namun kita tidak boleh mengabaikan aspek budaya yang secara potensial bersifat dwifungsional, dalam artian disamping memiliki fungsi positif, kadang suatu budaya yang telah mengakar kuat menimbulkan efek yang negative antara lain :
    1.      Penghalang terhadap suatu perubahan
    Budaya terasa sebagai suatu beban, bilamana nilai-nilai yang ada tidak lagi cocok dengan nilai-nilai yang akan meningkatkan keefektifan suatu organisasi itu. Ini paling mungkin terjadi bila lingkungan organisasi kita dinamis, bila bangunan itu mengalami perubahan yang cepat, budaya yang telah berakar dari organisasi itu mungkin tidak lagi tepat.
    2.      Penghalang terhadap keanekaragaman
    Budaya yang kuat menyebabkan tekanan yang cukup besar pada para anggota untuk menyesuaikan diri (conform). Mereka membatasi rentang nilai dan tatanan yang dapat diterima. Padahal organisasi-organisasi memperlihatkan individu yang beraneka ragam, karena kekuatan alternative yang dibawa mereka ke tempat kerja. Oleh karena itu, budaya yang kuat dapat merupakan beban (liabilitas) bila budaya itu dengan efektif menyingkirkan berbagai kekuatan unik tersebut.
    3.      Penghalang terhadap afiliasi
    Budaya yang kuat akan menjadi karakteristik suatu organisasi. Bila tidak terdapat kecocokan (kompatibilitas) antar organisasi suatu dengan yang lainnya, maka biasanya sualit untuk mengadakan kerja sama[12].
    D. Membentuk dan Mempertahankan Budaya
    Budaya suatu organisasi tidak muncul begitu saja dari suatu kehampaan. Budaya terbentuk melalui tahap-tahap sosialisasi secara sistematis sebagai berikut :
    1.      Tahap kedatangan
    Kurun waktu pembelajaran dalam proses sosialisasi yang terjadi sebelum seorang anggota (civitas) baru bergabung dengan organisasi itu. Mereka datang dengan serangkaian nilai, sikap dan perilaku yang telah dimiliki sebelumnya. Disinalah muncul heteroginitas budaya.
    2.      Tahap orientasi
    Tahap dalam proses sosialisasi dimana seorang anggota (civitas) baru menaksirkan seperti apa sebenarnya organisasi itu dan menghadapi kemungkinan bahwa harapan dan kenyataan dapat berbeda. Pada tahap ini, sering teradi konflik antara persepsi semula dengan realitas yang mereka temukan pada organisasi yang baru mereka masuki. Mereka dituntut untuk menyelesaikan berbagai problem tersebut selama masa orientasi berlangsung.
    3.      Tahap metamorfosis
    Tahap dalam proses sosialisasi  di mana seorang anggota (civitas) baru menyesuaikan diri pada norma dan nilai kelompok kerjanya. Mereka sudah bisa menghayati dan menerima norma-norma organisasi dan kelompok kerja mereka. Disinilah suatu organisasi akan menerima hasil dari proses sosialisasi yang berupa produktivitas, komitmen dan perputaran[13].
    Setelah suatu budaya terbentuk, para anggota dan segala praktik-praktik di dalam organisasi tersebut bertindak untuk mempertahankannya dengan memberikan kepada para anggotanya seperangkat pengalaman yang berisi penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Proses seleksi, criteria evaluasi kerja, praktek ganjaran keefektifan dan pengembang karier, dan prosedur promosi memastikan bahwa mereka yang dipekerjakan cocok dalam bidang itu, mengimbali mereka yang mendukungnya, dan menghukum (dan bahkan memecat) mereka yang menentangnya. Tiga kekuatan memainkan peranan sangat penting dalam mempertahankan suatu budaya : praktek seleksi sebagai pintu masuk para anggota baru, tindakan manajemen puncak sebagai pemegang kendali dalam mewujudkan budaya organisasi, dan metode sosialisasi sebagai sarana perwujudan komitmen para anggota, produktivitas kerja anggota dan perputaran kerja (komunitas)[14].
    E. Budaya UIN Malang : Studi Kasus
    Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam pemakaian sehari-hari, orang umumnya mensinonimkan pengertian budaya dengan tradisi. Keduanya mengacu pada system makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dengan organisasi-organisasi yang lain. System makna bersama ini, jika diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai bahkan dicita-citakan oleh organisasi itu.
    Demikain halnya dalam lembaga pendidikan Islam, budaya yang dijalankan bahkan yang dicita-citakan berguna untuk menunjukkan suatu karakteristik dari lembaga tersebut. Kasus UIN Malang misalnya, budaya atau tradisi dipahami sebagai perilaku civitas akademika dalam melakukan perannya masing-masing yang didasari oleh adanya kesadaran yang tinggi atas peran yang disandang dan meraih cita-cita bersama. Kesadaran ini dibangun atas dasar pemahaman yang mendalam terhadap visi dan misi yang tercermin dalam pemikiran, sikap dan tindakan dalam menjalankan tugas sehari-hari. Oleh karena itu, kinetja civitas akademika merupakan cerminan dari tradisi UIN Malang[15].
    Sebagai gambaran, berbagai tradisi yang ingin dikembangkan oleh UIN Malang adalah sebagai berikut :
    1.      Performansi fisik UIN Malang
    Secara fisik, kampus UIN Malang sebagai lembaga pendidikan yang beridentitas dan bernafaskan Islam, harus menampilkan citra yang berwibawa, sejuk, rapi dan indah.
    2.      Kelembagaan
    a.       Memiliki tenaga akademik yang handal dalam pemikiran, penelitian dan berbagai aktivitas ilmiah.
    b.      Memiliki manajemen yang kokoh dan mampu menggerakkan seluruh potensi untuk mengembangkan kreativitas warga kampus.
    c.       Memiliki kemampuan antisipatif masa depan dan bersikap proaktif.
    3.      Dosen UIN Malang
    a.       Selalu menampakkan diri sebagai seorang mukmin dan muslim di manapun dan kapanpun ia berada.
    b.      Memiliki wawasan keilmuan yang luas serta profesionalisme yang tinggi.
    c.       Kreatif, dinamis dan inovatif dalam pengembangan keilmuan.
    d.      Bersikap dan berperilaku jujur, amanah dan berakhlak mulia dan dapat menjadi contoh bagi civitas-civitas akademik lainnya.
    e.       Berdisiplin tinggi dan selalu mematuhi kode etik profesi.
    4.      Mahasiswa UIN Malang
    a.       Memiliki performansi sebagai pemimpin umat.
    b.      Berdisiplin tinggi.
    c.       Haus dan cinta ilmu pengetahuan
    d.      Memiliki keberanian, kebebasan dan keterbukaan.
    e.       Kreatif, inovatif dan berpandangan jauh ke depan
    5.      Lulusan UIN Malang
    a.       Mandiri.
    b.      Siap berkompetisi dengan lulusan PT lain.
    c.       Berwawasan akademik global.
    d.      Mampu memimpin umat.
    e.       Bertanggung jawab dalam mengembangkan Agama Islam di tengah kehidupan bermasyarakat.
    Dari sekian budaya tradisi yang ingin dikembangkan UIN Malang, sangat jelas bahwa UIN Malang ingin memiliki karakteristik yang berbeda dengan perguruan tinggi lainnya. Budaya dalam hal ini adalah seperangkat nilai yang dipahami bersama dan dicita-citakan dalam rangka mewujudkan produktivitas (dalam hal ini out put dan out come) sesuai dengan yang diharapkan masyarakat.
    III. Kesimpulan
    Berdasarkan pembahasan di atas, ada beberpa hal yang perlu penulis simpulkan, antara lain :
    1.      Budaya organisasi mengacu ke suatu system makna yang dianut dan dicita-citakan oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi yang lain. Budaya dalam pemakaian sehari-hari sering disinonimkan dengan istilah tradisi.
    2.      Budaya organisasi berdasarkan bentuknya dibagi menjadi : akademi, kelab, tim bisbol dan benteng; bedasarkan sifatnya terdiri : budaya kuat dan budaya lemah; dan berdasarkan prosesnya, terdiri dari Budaya Sebagai In pu (BSI), Budaya Sebagai Proses (BSP) dan Budaya Sebagai Out put (BSO).
    3.      Budaya mempunyai fungsi positif : a) sebagai pembeda dengan organisasi lain, b) membawa identitas bagi anggota organisasi, c) mempermudah timbulnya komitmen bersama, d) meningkatkan kemantapan system dan perekat social, dan e) sebagai mekanisme pembuat makna dan kedali bagi para anggotanya.
    Selain itu, budaya yang kuat juga memiliki efek negative, yaitu : a) menghalangi terjadinya perubahan, b) menghalangi timbulnya keanekaragaman dan c) menghalangi proses afiliasi.
    4.      Terbentuknya budaya melalui proses sosisalisasi dilakukan melalui tiga tahap, secara sistematis yaitu : 1) tahap kedatangan, 2) tahap orientasi dan 3) tahap metamorfosis.
    5.      Dalam kasus UIN Malang, budaya ataau tradisi dipahami sebagai perilaku civitas akademika dalam melakukan perannya masing-masing yang didasari atas kesadaran akan peran untuk meraih cita-cita bersama. Budaya atau tradisi lembaga ini tercermin dalam kinerja segenap civitas akademika.

    REFERENSI
    Anthony-Darden-Bedford, Sistem Pengendalian Manajemen, Jilid 1, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1992.
    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : PT. Balai Pustaka, 1991.
    Gary Dessler, Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources Manajement 7e), Edisi bahasa Indonesia, Jilid 1, PT. Prenhallindo, Jakarta, 1997.
    Ibrahim Bafadal, Manajemen Perlengkapan Sekolah Teori dan Aplikasinya, Bumi Aksara, Jakarta, 2003.
    M. Zainuddin dkk (ed), Memadu Sains dan Agama Menuju Universitas Islam Masa Depan, Kerja sama UIN Malang dengan Bayumedia, 2004.
    Randall S. Schuler, Susan E. Jackson, Manajemen Sumber Daya Manusia Menghadapi Abad ke-21, Jilid 1, Erlangga, Jakarta, 1997.
    Soekarto Indrafachrudi, Bagaimana Mengakrabkan Sekolah dengan Orang Tua Murid dan Masyarakat, Malang, IKIP Malang, 1994.
    Stephen P. Robbins, Perilaku Organisasi Konsep Kontroversi Aplikasi, Jilid 2, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta, PT Prenhallindo, 1996.
    ________________, Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi, Edisi 5, Jakarta, Erlangga, 2002.
    Taliziduhuh Ndraha, Budaya Organisasi, Jakarta, Rineka Cipta, 1997.
    Universitas Islam Negeri Malang, Visi, Misi dan Tradisi UIN Malang, 2004.

    [1] Meskipun status lembaga terus mengalami perubahan, namun terdapat berbagai budaya yang terus dipelihara antara lain : jiwa kekeluargaan, pikiran khuznudzan dan keterbukaan (lihat Slamet Raharjo dalam Memadu Sains dan Agama Menuju Universitas Islam Masa Depan, Kerja sama UIN Malang dengan Bayumedia, 2004, hal : 269.
    [2] Stephen P. Robbins, Perilaku Organisasi Konsep Kontroversi Aplikasi, Jilid 2, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta, PT Prenhallindo, 1996, hal : 288-289.
    [3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : PT. Balai Pustaka, 1991, hal : 149.
    [4] Soekarto Indrafachrudi, Bagaimana Mengakrabkan Sekolah dengan Orang Tua Murid dan Masyarakat, Malang, IKIP Malang, 1994, hal : 20.
    [5] Anthony-Darden-Bedford, Sistem Pengendalian Manajemen, Jilid 1, Jakarta, Bina Rupa Aksara, 1992, hal : 67.
    [6] Stephen P. Robbins, Jilid 2, Op-cit, hal : 289.
    [7] Lihat dalam Taliziduhuh Ndraha, Budaya Organisasi, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hal : 04.
    [8] Stephen P. Robbins, jilid 2, Ibid, hal : 290-291.
    [9] Ibid
    [10] Ibid, hal : 42.
    [11] Stephen P. Robbins, Jilid 2, Op-cit, hal : 290-291.
    [12] Stephen P. Robbins, Jilid 2, Op-cit, hal : 295-296.
    [13] Stephen P. Robbins, Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi, Edisi 5, Jakarta, Erlangga, 2002, hal : 288-290.
    [14] Op-cit, hal : 296-297.
    [15] Universitas Islam Negeri Malang, Visi, Misi dan Tradisi UIN Malang, 2004, hal : 04.

My Family

My Family
Kunjungan Dosen Native Speaker dari Sudan

My Duty

My Duty
Pelatihan Model Pembelajaran