Salam Ta'aruf

Allah telah membuktikan firmannya :
"Qul Hal Yastawilladzina Ya'lamuna wal Ladzina la Ya'lamuun"....
ayat tersebut merupakan anjuran kepada manusia agar supaya kita menjadikan ILMU sebagai sesuatu yang paling berharga dan tameng dalam hidupnya.
dengan Ilmu manusia bisa menggapai segala-galanya, dengan ilmu manusia bisa meraih apa yang dicita-citakannya, dengan ilmu manusia mampu menerobos angkasa, dan masih banyak lagi.
Allah menjamin dengan Jaminan yang Pasti, bahwanya terdapat perbedaan yang sangat besar antara orang yang berilmu dan tidak berilmu, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. begitu juga dalam menghadapi dan menyelesaikan sebuah permasalahan. orang berilmu menggunakan ilmu sebagai paradigma atau "pisau analisnya" melalui akal yang diberikanNya, sedangkan orang yang tidak berilmu mengambil cara pintas, dengan tanpa menganilasa sebab dan akibat yang akan ditimbulkannya.
Subhanallah, ternyata mahligai Ilmu dapat diraih dengan tafakkur, tadabbur, sehingga membawa manusia kepada kebahagian lahir dan batin yang menjadi idaman setiap manusia yang hidup di muka bumi ini.
Ingin bahagia lahir batin, dan dunia akhirat... dapatkan...carilah Ilmu....
Ingat.... Ilmu Allah sangat luas

Perkawinan dalam Bingkai Islam



A.      Latar Belakang
            Membangun keluarga tidak sama dengan membangun gedung yang secara sederhana dapat dan mampu dibangun asalkan tersedianya material dan pelaksana pembangunan gedung. Artinya membangun gedung lebih mudah, dibandingkan membangun keluarga yang harmoni. Membangun rumah tangga perlu banyak bahan dan kematangan kepribadiaan dari suami maupun istri. Kebutuhan itu seperti semangat dalam hidup bersama, kedewasaan, keuletan, keberanian, kesadaran dan pengertian yang kontinyu dan tidak saling mencari kesalahan dari pasangannya.
            Pada era moderen saat ini pernikahan menjadi hal yang sangat di takuti oleh banyak pemuda dan pemudi yang sudah saatnya menikah. Menurut pendapat Prof. Sarwono Prawirohardjo yang dikemukakan di hadapan sidang majelis Pertimbangan kesehatan dan Syara’  tahun 1955. Dalam kesempatan itu, antara lain, dinyatakan bahwa umur yang sebaiknya bagi perkawinanan meliputi satu masa yang terdiri atas beberapa tahun, dalam masa itu dipenuhi syarat-syarat optimum untuk kehamilan dan persalinan pertama. Umur yang sesuai dengan keadaan di negara kita kurang lebih 18 tahun.[1]
            Dalam ilmu kedokteran umur 18 tahun tersebut sudah mencapai kematangan biologis bagi gadis, jika diperhuitungkan dengan fakta-fakta lainnya, perkawinan lebih baik di lakukan dalam usia antara 20-25 tahun.
            Bagi pemuda muslim Rasul sebagai standar contoh yang di perhitungkan oleh Allah, bila kita memang mempercayai kehendak Allah merencanakan pernikahan Nabi pada umur 25 tahun itu benar sesuai dengan perkembangan biologis dan psikis manusia setelah Nabi akhir zaman. Manusia yang memiliki keterbatasan usia dan daya kekuatan bertahan hidup pada zaman akhir ini tentu hamper menyerupai umur Nabinya yakni kurang lebih 63 tahun               Dengan perkembangan kebutuhan dan gaya hidup manusia modern seperti sekarang ini. Banyak  laki-laki dan wanita memilih hidup membujang, misalnya dengan alasan khawatir kehilangan kebebasan dalam hidup sehari-hari, tidak sanggup memikul tanggung jawab berumah tangga, kecewa dalam percintaan, terlalu memilih-milih orang yang akan jadi pasangannya, memilih jodoh yang digambarkan dalam alam angan-angannya yang hanya akan ditemui dalm buku roman atu hikayat 1001 malam.
            Selain yang disebut diatas, ada pula sebagian kaum wanita yang hanya mau mengikuti jalan pikirannya sendiri dan selalu bimbang memasuki pintu perkawinan sampai keadaan telah menjadi sedikit kasip baginya. Bahkan, ada pula diantara sebab keengganan kawin itu karena jenis penyakit yang disebabkan homo seks.
            Islam memandang pernikahan sebagai sarana menggapai separuh kesempurnaan beragama. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw: “apabila seorang  hamba telah berkeluarga, berarti dia telah menyempurnakan separuh (dari pengalaman ajaran) agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah tehadap separuhnya yang lain” (HR. Thabrani)
            Maka Islam dari pijakan hadis di atas bukan saja mensunnahkan nikah malah memotifasi dan menganjurkan pernikahan bagi yang sudah memenuhi persyaratan untuk menikah. Hal iatu untuk memberikan jalan manusia memperoleh kebahagiaan hidupnya.
            Pernikahan adalah lembaga yang syah untuk membangun sebuah keluarga yang diterima oleh agama dan masyarakat, untuk menyempurnakan agama seseorang. Sehinga tatanan kehidupan berumah tangga yang legal merupakan sunahtullah dan tidak benar seseorang menjahui pernikahan bila sudah saatnya dilaksanakan. Hal ini demi kebahagiaan manusia itu sendiri.

B.       Pengertian perkawinan
            Perkawinan adalah suatu perjanjian pertalian antara dua manusia (laki-laki perempuan) yang berisi yang berisi persetujuan hubungan dengan maksud secara bersama-sama menyelenggarakan kehidupan yang lebih akrab menurut syarat-syarat dan hokum susila yang dibenarkan Tuhan Pencipta Alam.[2]
            Dalam pandangan orang yang memeluk agama, titik berat pengesahan hubungan itu diukur dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan sebagai syarat yang mutlak. Sedangkan bagi orang yang tidak menitik beratkan pengesahan itu pada hukum Illahi, perkawinan atau pernikahan merupakan kontrak sosial seperti juga perdagangan, yang sering kita lihat di pasar atau transaksi jual beli jasa dengan waktu yang telah sesetujui baik itu waktu sehidup semati atau waktu yang telah sesebut dalam perjanjian.

C.       Tujuan Pernikahan
a. Menentramkan jiwa
Sebagaian orang merasa khawatir bahwa kebahagiaan sebagai orang muda akan segera  terrenggut begitu pernikahan menaungi kehidupan mereka. Mereka khawatir kehilanhan kebebasanya. Karena salah mengartikan hakekat pernikahan itu sendiri bagi manusia, mereka hanya melihat beberapa contoh yang sedikit dan dijadikan pedoman hidupnya.
Al Quran menegaskan dalam surat Ar Rum, 30-31.





Dalam ayat diatas Allah telah menegaskan setegas-tegasnya, bahwa pernikahan bukan disyariatkan untuk membunuh kebebasan manusia seperti yang dikhawatirkan para pemuda-pemudi atau siapa saja yang menjahui pernikahan. Kita sebagai hamba yang beriman seharusnya belajar dan memahami bahwa tidak mungkin Allah membuat peraturan untuk keresahan hamba. Namun sebaliknya hukum-Nya dilahirkan sepenuhnya untuk kebahagiaan manusia itu sendiri.
            Fuad Nashori, menegaskan bahwa” Berbagai kisah nyata manusia dan bukti penelitian menunjukkan , pernikahan menghadirkan kebahagiaan bagi orang-orang yang menjalaninya. Dalam pernikahan akan ditemukan perhatian dan pengorbanan yang tulus dari pasangannya.[3]
b.      Menjaga kehormatan dan kemuliaan seseorang
            Pada saat sekarang ini tantangan menjaga kehormatan dengan menjaga penyimpangan seks terhadap orang lain yang tidak syah menurut agama dan norma masyarakat semakin gencar dan berbahaya. Pertama, stimulasi seksual pada saat ini begitu mudah untuk diperoleh seperti kencan dengan penjaja seks komersial, gambar-gambar porno, chating di internet mencari pasangan maya, atau alat-alat imajenasi seks yang mulai ramai dipasarkan di toko dan pasaran.
Kedua, norma modern yang memandang seks di luar nikah sebagai sesuatu yang biasa dan bahkan mengandung prestise. Dalam tradisi manusia modern, masalah seks mengalami pergeseran. Dari yang awalnya seks diluar nikah merupakan ketabuhan untuk dibicarakn dan rahasia suci dan sakral menjadi sebuah prestise tersendiri bila berselingkuh dengan orang yang tidak syah untuk diajak kencan. Boleh dibilang nilai menjaga kehormatan dan kemuliaan sedang tergeser di dalam masyarakat.
            Salah satu cara untuk meminimalisir tantangan pergeseran pola pikir masyarakat Nabi memberi motifasi umatnya untuk menikah dalam sabdanya:







Rasulullah Saw. Bersabda: Tiga golongan yang berhak ditolong Allah: Pejuang di jalan Allah, Mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang yang menikah karena hendak menjauhkan diri dari yang haram (HR Turmudzi dari Abu Hurairah)
            Beliau juga dalam hadis lainnya Rasulullah meberikan solusi agar para laki-laki berhati-hati terhadap perempuan agar tidak terjadi perzinahan. Dan bila memiliki hasrat seksual maka mereka dianjurkan menyalurkan hasrat seksualnya hanya pada istrinya. Seperti sabda beliau yang artinya:







“Sesungguhnya perempuan itu menghadap dengan rupa setan dan membelakangi dengan rupa setan pula. Jika seorang diantaramu tertarik kepada seorang perempuan, hendaklah ia datangi istrinya, agar nafsunya dapat tersalurkan HR Muslim, Abu Dawud, dan Turmidzi.
Mengingat bahwa hubungan seks di luar nikah begitu besar, maka menyegerakan diri untuk menikah adalah cara yang paling direkomendasikan untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan diri.
c.       Menyempurnakan Hidup Manusia
Segala aspek kehidupan manusia bersangkutan dengan agama. Bila seluruh dimensi agamanya baik, maka baiklah seluruh dimensi kehidupan manusia. Ada pula ungkapan dari Ismail Al Faruqi. Al Faruqi mendefinisikan agama sebagai masalah kehidupan itu sendiri.
            Pengertian dari pendefinisian Al Faruqi tentang agama adalah apabila ingin menyempurnakan hidup di manapun dan kapanpun manusia yang bersangkutan berada maka terlebih dahulu memperbaiki agamanya karena menurut pendapat tersebut agama adalah cermin kebaikan dan kesempurnaan manusia.
            Untuk kesempurnaan beragama manusia harus menikah yang menjadi keharusan alamiah dan agama agar terhindar dari perbuatan yang mengurangi kesempurnaan manusia dari sisi akhlak dan fitrah manusia yang ingin meneruskan keturunan dan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikisnya. Tanpa melakukan pernikahan, maka separuh dari kehidupannya hilang, bebagaimana sabda Rasulullah yang artinya:






” Barang siapa diberi rizki oleh Allah seorang istri yang shalihah, sesungguhnya telah ditolong separuh agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah pada separuh lainnya”
d.      Meneruskan keturunan
                        Pernikahan bertujuan meneruskan keberlangsungan keturunan manusia. Dengan ayah dan ibu yang jelas, dan dengan pengasuhan yang baik dari mereka, anak-anak bertumbuh kembang menjadi manusia. Dengan demikian, eksistensi manusia akan terus berlanjut dengan berfungsinya keluarga. Al Quran menegaskan bahwa untuk meneruskan keturunan manusia diharuskan bertqwa. Taqwa memiliki konsekwensi manusia harus mengikuti undang undang dan peraturan Allah dan menjalankan dengan sebaik-baiknya termasuk dalam meneruskan keturunan harus bertaqwa dengan jalan melalui pernikahan yang sesuai dengan atura-Nya. Seperti yang dijelaskan dalam surat An Nisa’ ayat 1




“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Robbmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan daripadanya Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…”
                        Tanpa adanya keluarga terbukti perkembangan hidup manusia menghadapi beragam masalah. Anak-anak yang dilahirkan di luar pernikahan, anak-anak yang dilahirkan tanpa mengetahui siapa ibu dan bapaknya, menghadapi berbagai persoalan sosial-psikologis dalam kehidupannya.
e.       Pembentukan dan penanaman nilai
            Orang komunis pernah merencanakan untuk mengganti keluarga dengan komune. Mereka menggambarkan kondisi ideal bagi keberlangsungan kehidupan manusia sebagai keadaan dimana orang-orang hidup di dalam asrama dan menganggap keturunan anak-anak mereka sebagai anak negara. Meskipun telah banyak komune yang didirikan, namun kaum komunis dengan segera menyadari bahwa metode kolektif pengorganisasian manusia tidak pelak lagi akan menemui kegagalan, dan keluarga tradisional, keluarga adalah penerus nilai-nilai bagi generasi berikutnya.[4]
            Allah saw mengingatkan pada orang-orang yang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari kesulitan hidup di dunia maupun di akhirat.






“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” QS At Tahrim ayat 6.
            Pembagian tugas yang jelas antar suami dan istri anak akan membuat proses penanaman nilai ini berlangsung mulus. Pembinaan yang dilakukan keluarga terus menerus dan merangkum seluruh aspek.

D.      Istitha’ah (mampu untuk menikah)
            Secara sederhana, istitha’ah adalah kemampuan untuk menjamin rizki bagi istri dan anak-anaknya. Ash Shan’ani memaparkan bahwa pengertian istitha’ah mencakup dua hal. Pertama, mampu melakukan hubungan suami istri secara normal, tidak impoten, sebab salah satu tujuan menikah adalah meneruskan sejarah manusia dengan melahirkan keturunan. Kedua, mampu memberi nafkah, keperluan hidup, serta menghidupi keluarga.
            Makna mampu memberikan nafkah adalah dapat melakukan usaha untuk memperoleh maisyah secara halal dengan keringat sendiri. Kemampuan menafkahi ini tidak menssyaratkan adanya pekerjaan tetap. Yang paling penting adalah kemampuan dan kesanggupan untuk mengupayakan nafkah yang halal.[5]

E.   Hukum-hukum pernikahan
Hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kemudian bisa berkembang menjadi sunnah, wajib, makruh, atau bahkan haram. Secara prinsip, menikah dihukumi sunnah, sesuai dengan beberapa petunjuk Nabi yang sampai kepada kita.
            Pertama, nikah akan berubah hukumnya dari sunnah menjadi wajib apabila dorongan shahwat kita begitu besar sehingga dikhawatirkan akan menjatuhkan kita pada maksiat. Dorongan itu begitu besar sehingga dapat menyebabkan kita tidak sanggup lagi menghindari perbuatan-perbuatan maksiat, terlebih lagi terjerumus dalam perzinahan.
            Adil Abdul Mun’im Abu Abbas menerangkan bahwa nikah wajib bagi setiap orang yang mampu, baik secara sseksual maupun ekonomi, juga orang yang takut terjerumus kepada hal-hal yang di haramkan Allah. Orang yang memiliki kemampuan membayar mahar dan seluruh kewajiban nafkah perkawinan, memiliki badan sehat, percaya bahwa dirinya bisa memperlakukan istrinya dengan baik, dan percaya bahwa jika tidak menikah pasti ia akan terperosok kedalam perbuatan maksiat, wajib baginya menikah.
            Kedua,menikah akan berkedudukan sunnah bagi seseorang apabila ia memiliki gejolak shahwat dan pernikahan akan membuatnya lebih terjaga. Dal hal ini, dorongan shahwat tidak sampai menyebabkan ia terjatuh pada keadaan kehilangan kendali diri, tetapi dorongan itu dapat mendorongnya untuk tertarik terhadap maksiat-maksiat kecil.[6]
            Ketiga, orang yang tidak mempunyai nafsu birahi. Dalam hal ini, ada dua pendapat, yakni yang menyatakan bahwa tetap dihukumi sunnah karena pada dasarnya nikah termasuk perbuatan sunnah
            Keempat, makruh tetap pada permasalahan nomer tiga tetapi dihukumi  bahwa dalam kondisi seperti ini makruh.
             Kelima, pendapat yang terakhir berasumsi bahwa pearnikahan seperti ini dapat mengakibatkan keburukan.
Jika keburukan yang timbul setelah menikah bersifat pasti dan dapat menimbulkan bahaya baginya. Termasuk diantara pearkara-pearkara yang dapat menyebabkan haramnya pernikahan adalah ketidak mampuan melakukan hubunnagn seksual yang bersifat tetap, misalnya karena laki-laki yang hendak menikah memiliki cacat pada alat kelaminnya sehingga tidak dapat menjalankan fungsi seksual. Impotensi juga bisa menjadi penyebab haramnya pernikahan jika impotensi itu tidak dapat diatasi.[7]

F.        Pengikat-pengikat perkawinan
            Ikatan perkawinan itu harus kuat. Jika kuat ikatannya maka kemungkinan badai yang menerjang perkawinan sebesar apapun takkan mampu menggoyangkan dan melepaskan perkawinan manusia. Diantar pengikat perkawinan yang ada diantaranya:
a.       Mawaddah
Mengacu pada al Quraan surat Ar Rum, yat 21, maka pengikat perkawinan itu adalah mawaddah yang berarti kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak yang buruk.[8]
Adapun Quraish Shihab mengartikan mawaddah dengan cinta plus. Orang yang dalam hatinya terdapat mawaddah tidak akan memutuskan hubungan, seperti apa yang biasa terjadi pada yang bercinta. Ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan.
Menurut Ibrahim al Baqa’I ,mawaddah adalah cinta yang pengaruhnya terlihat pada perlakuan, seperti tampaknya kepatuhan akibat rasa kagum dan hormat pada seseorang.[9]
b.      Rahmah
Sebagai mana mawaddah kata rahmah yang selalu dihubungkan dengan perkawinan, juga terambil dari ayat 21 surat ar Rum. Maknanya, seperti dikatakan Prof. Dr. Quraish Shihab, Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidak berdayaan. Karena itu, di dalam kehidupan keluarga, baik suami atau istri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya. Rahmah menghasilkan kesabaran, murah hati, tidak cemburu buta, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak menjadi pemarah apalagi pendendam.
c.       Cinta
Kata cinta sangat akrab bagi orang yang melangsungkan pernikahan. Tidaka ada yang meragukan hal itu. Bahkan ada manusia yang demikian memuja-muja cinta. Cinta datangnya dari kebersihan hati. Dan terdapat pantun popular yang menyebutkan:
“Dari mana datangnya lintah
dari sawah turun kekali
darimana datangnya cinta
dari mata turun kehati”
Demikian juga menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah, yang mengatakan sebagai berikut: “Mata adalah pintu hati, yang berarti mata hati dan penyibak rahasia-rahasianya. Dalam hal ini, mata lebih mampu menyampaikan daari pada lidah. Maka sering kali kita temui bahwa pernikahan terjadi goncangan yang sangat hebat akibat suami istri saling berjauhan, secara fisik meski pada saat ini masih bisah diganti dengan telepon. Cinta menjadi pengikat yang kuat bagi pernikahan hal ini karena cinta yang didasari dengan sungguh sungguh bukan imitasi yang penuh dengan pemenuhan dari kepentingan salah satu pihak saja.
d.      Amanah
Amanah adalah salah satu pengikat perkawinan. Ini sangat penting diperhatikan. Bahwa istri adalah amanah bagi suami dan suami adalah amanah bagi istri yang kelak akan dipertanggung jawabkan pada Allah. Dengan dasar amanah yang sumbernya dari Allah maka masing masing memiliki tanggung jawab yang sama, saling menjaga memelihara dan menyelamatkan.
Masing masing menjadi pemimpin dalam tugas yang berbeda-beda. Urusan suami menjadi tanggung jawab suami, berarti suami memegang amanah untuk menjaga keamanan, kebutuhan keluarga, dan hubungan yang menjadi tugas suami adalah amanah seperti mendidik istri dalam urusan agama. Istri menjadi penanggung jawab atas tugas-tugas istri dalam rumah tangga. Kewajiban dari keduanya sama memiliki konsekwensi karena merupakan amanah yang diberikan Allah. Istri amanah bagi suami begitu pula suami amanah bagi istri.

G.      Analisis
Dalam perkawinan di zaman moderen ini memberikan pandangan yang serius bagi para pemuda atau pemudi dan bahkan bagi orang yang ragu, takut untuk menjalankan sunnah Rasul. Mereka kebanyakan memiliki pandangan yang tidak sesungguhnya berdasarkan fakta-fakta keberhasilan pernikahan yang lebih banyak dari pada yang gagal dalam pernikahan. Mereka cenderung menyalahkan pernikahan bukan mencari tahu kenapa mereka yang gagal harus mengalami nasib buruk. Oleh karenanya pemikiran yang obyektif tentang pernikahan harus terus dicari dan dicari.
Memang benar pernikahan memiliki banyak konsekwensi yang harus di emban oleh suami dan istri apalagi zaman modern menuntut banyak materi dan kesiapan mental, pikiran dan pengamalan. Masalah karier kadang menjadi alasan serius mereka mendahulukan kebutuhan kesenangan dibanding upaya untuk menjalankan ajaran Nabi dan Allah yang jelas menerangkan dalam Al Quran.
Kekuatan pengaruh materi dan keduniaan banyak menjadi perhatian oleh masyarakat modern dibandingkan kebutuhan spiritual dan menjalankan perintah agama. Khususnya bagi agama Islam yang melarang meninggalkan perkawinan karena perkawinan merupakan kebutuhan dalam fitrah manusia hidup di dunia.
Berbeda dari pandangan agama lain seperti agama katolik, agama budha yang memandang bahwa orang suci harus meninggalkan pernikahan. Karena anggapan mereka pernikahan akan menambah kekotoran dalam hati manusia dan pernikahan adalah memalingkan manusia dari penciptanya.
Agama Islam tidak menganggap pernikahan hal yang buruk tetapi anjuran dan penyempurna terhadap keagamaan seseorang


DAFTAR PUSTAKA

Adhim, Fauzil 2002, Di Ambang Pernikahan, Jakarta, Gema Insani Press.
Amin, M. Rusli, Rumahku surgaku, Jakarta, Al Mawardi Prima.
Al Quran Terjemah, 1990, Departemen Agama RI
Fuad, Nashori, dan Rachmi Diana, 2002, Memasuki Sorga Pernikahan, Yokyakarta, Menara Kudus.
Marajo, Sutan, Nasaruddin , 2001, Problematika Seputar Keluarga daan Rumah Tangga, Bandung, Pustaka Hidayah.
Nashori, Fuad, 2002, Memasuki surga Pernikahan, yokyakarta, Menara Kudus.

















Tugas Akhir Aplikatif
Matakuliah
Studi Al Quran

Perkawinan Dalam Bingkai Islam

Dosen Pembina
Dr.Sa’ad Ibraim, MA

Oleh
Budy Pranoto





MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG
2006



[1] Sutan Marajo, Nasaruddin , 2001, Problematika Seputar Keluarga daan Rumah Tangga, Bandung, Pustaka Hidayah, hlm. 22-23
2 Sutan, Marajo, 2001, Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, Bandung, Pustaka Hidayah, hlm. 13.
3 Nashori, Fuad dan Rachmi Diana, 2002, Memasuki Sorga Pernikahan, Yokyakarta, Menara Kudus. Hlm.48
4 Fuad, Nashori, 2002, Memasuki surga Pernikahan, yokyakarta, Menara Kudus,hlm.54.

5 Fauzil adhim, 2002, Di Ambang Pernikahan, Jakarta, Gema Insani Press, hlm. 18.

[6] Maksiat kecil tidak boleh dipandang remeh meski terkategorikan tidak berat tetapi kalau dipandang siapa yang dilanggar peraturannya maka tiada lain hanyalah Allah. Bila yang dilihat adalah maksiat pada Allah maka manusia menentang aturan-Nya, itu berarti kesalahan manusia pada-Nya. Maksiat kecil atau besar keduanya melanggar aturan Allah maka keduanya akan menerima balasan darinya, sehingga tidak ada perbedaan antara maksiat kecil dan maksiat besat.
[7] Fauzil adhim, 2002, Di Ambang Pernikahan, Jakarta, Gema Insani Press, hlm. 20-21
[8] M. Rusli, Amin, Rumahku surgaku, Jakarta, Al Mawardi Prima, hlm.27
[9] Ibit, hlm. 27

My Family

My Family
Kunjungan Dosen Native Speaker dari Sudan

My Duty

My Duty
Pelatihan Model Pembelajaran