Salam Ta'aruf

Allah telah membuktikan firmannya :
"Qul Hal Yastawilladzina Ya'lamuna wal Ladzina la Ya'lamuun"....
ayat tersebut merupakan anjuran kepada manusia agar supaya kita menjadikan ILMU sebagai sesuatu yang paling berharga dan tameng dalam hidupnya.
dengan Ilmu manusia bisa menggapai segala-galanya, dengan ilmu manusia bisa meraih apa yang dicita-citakannya, dengan ilmu manusia mampu menerobos angkasa, dan masih banyak lagi.
Allah menjamin dengan Jaminan yang Pasti, bahwanya terdapat perbedaan yang sangat besar antara orang yang berilmu dan tidak berilmu, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. begitu juga dalam menghadapi dan menyelesaikan sebuah permasalahan. orang berilmu menggunakan ilmu sebagai paradigma atau "pisau analisnya" melalui akal yang diberikanNya, sedangkan orang yang tidak berilmu mengambil cara pintas, dengan tanpa menganilasa sebab dan akibat yang akan ditimbulkannya.
Subhanallah, ternyata mahligai Ilmu dapat diraih dengan tafakkur, tadabbur, sehingga membawa manusia kepada kebahagian lahir dan batin yang menjadi idaman setiap manusia yang hidup di muka bumi ini.
Ingin bahagia lahir batin, dan dunia akhirat... dapatkan...carilah Ilmu....
Ingat.... Ilmu Allah sangat luas

Mempertegas Otonomi Pendidikan : Menuju Masyarakat Edukatif



Di era otonomi daerah dan pendidikan yang sekarang sedang gencar dilaksanakan oleh pemerintah pusat kini pemerintah daerah telah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurusi segala sesuatu tentang pendidikan di daerahnya masing-masing di seluruh Indonesia. Hal itu telah tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan penuh tersebut dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1; ''Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam kewenangan politik luar negeri, pertahanan keamanan, keadilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.''
Pada era otonomi tersebut kualitas pendidikan akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Ketika pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerah bersangkutan akan maju. Sebaliknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated, tidak akan pernah mendapat momentum yang baik untuk berkemabang (Suyanto; 2001).
Pemberian dan berlakunya otonomi pendidikan di daerah dalam pendangan Syaukani memiliki nilai strategis bagi daerah untuk berkompetisi dalam upaya membangun dan memajukan daerah-daerah di seluruh Nusantara, terutama yang berkaitan langsung dengan sumber daya manusia dan alamnya dalam mendobrak kebekuan dan stagnasi yang dialami dan melingkupi masyarakat selama ini. Begitu juga dengan adanya desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah baik tingkat kabupaten atau pun kotamadya dapat memulai peranannya sebagai basis pengelolaan pendidikan dasar. Di tingkat propinsi dan kabupaten akan diadakan lembaga nonstructural yang melibatkan masyarakat luas untuk memberikan pertimbangan pendidikan dan kebudayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerahnya (Kompas; 1999).
Di samping itu, dalam era otonomi sekarang ini peran masyarakat yang sebelumnya termarjinalkan, kini sydah saatnya dikikis habis dan diberikan kepercayaan dalam mengatur untuk bisa berperan dalam pemberdayaan dan pengelolaan pendidikan. Tidak hanya sekedar sebagai penyumbang atau dana penambah bagi sekolah yang terlembagakan dalam BP3. Dengan kata lain ketidakseimbangan dan ketimpangan antara hak dan kewajiban anggota BP3 (yang terdiri dari masyarakat yang merupakan kumpulan para wali/ orang tua siswa (peserta didik) dalam manejemen sekolah harus ditiadakan. Karena hal itu telah menjadikan lembaga yang seharusnya mewadahi partisipasi masyarakat-dalam hal ini para orang tua/ wali peserta didik-menjadi lembaga yang tidak ada fungsinya (disfunction). Maka ketika otonomisasi digalakkan adalah sudah saatnya masyarakat (orang tua) diikutsertakan dalam pengambilan keputusan di sekolah dalam berbagai hal. Tapi, tidak hanya sekedar sebagai formalitas belaka, yang artinya, orang tua ketika diikutsertakan dalam musyawarah dengan pihak sekolah tidak hanya sebagai objek atau hanya sebagai pendengar saja (only learner). Melainkan harys benar-benar di libatkan secara langsung.
Begitu pula sebaliknya. Pihak sekolah dan BP3 yang biasanya sudah terlebih dahulu merencanakan dan menganggarkan SPP (misalnya) untuk siswa tidak melibatkan para orang tua/ wali siswa. Orang tua/ wali siswa (peserta didik) hanya dijadikan pihak kedua (the second man) dalam masalah tersebut. Yang pada gilirannya musyawarah tersebut hanya menjadi ''guyonan belaka'' atau sekedar formalisme.
Nah, di era otonomi ini hal itu sudah saatnya dirubah dan dibuang jauh-jauh dari paradigma berpikir kritis untuk membangun sebuah masyarakat yang berpendidikan, humanis, demokratis dan berperadaban. Agar masyarakkat yang selama ini termarjinalkan dalam lubang berpikir ortodoks tidak lagi ada dalam bangunan dan tatanan masyarakat yang dinamis dan progresif. Dan dapat bersama-sama membangun pendidikan yang maju dan qualified dalam percaturan internasional. Sehingga nantinya dapat terwujud masyarakat edukatif, pembelajar-bahasa Andreas Hafera-dan demokratis yang dapat turut serta menciptakan ''Masyarakat Madani'' sebagaimana yang kerap muncul dalam wacana kekinian dalam upaya membangun bangsa.
Bila yang terjadi demikian, maka masyarakat juga akan merasa bangga dengan dirinya sendiri dan pada gilirannya akan respek terhadap kemajuan dan perkembangan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan sendiri. Karena masyarakat telah diberikan penghargaan yang tiada tara sebagai makhluk sosial dan sebagai hamba Tuhan. Sehingga pendidikan masyarakat yang mencakup seluruh komponen masyarakat dan sekolah itu sendiri (baik orang tua/ wali siswa/ peserta didik, peserta didik sendiri, sekolah dan juga pemerintah) dapat berjalan sinergis, beriringan dan selaras.
Akan tetapi, hal itu tentu saja tidak begitu mudah untuk dilakukan. Karena berbagai elemen dan perangkat untuk menunjang itu semua haruslah dapat dengan tegas bahwa semua itu diimplementasikan hanya untuk mempertegas bahwa otonomisasi pendidikan sudah benar-benar dijalankan tanpa tedeng aling-aling. Dan berbagai upaya ke arah itu pun sudah sedang dan mesti digalakkan. Agar dapat mencapai hasil yang maksimal dan dapat memenuhi target yang telah ditentukan. Oleh karena itu, dalam dan untuk mempertegas otonomisasi pendidikan itu semua tidak hanya membutuhkan perangkat bantuan yang berupa materil. Melainkan, dukungan moril dan kotribusi pemikiran dan ide-ide segar sangat dibutuhkan.
Tetapi, itu semua tidak hanya cukup diberikan oleh segelintir masyarakat saja. Justru, dukungan seluruh komponen masyarakat kita pun juga amat menentukan proses keberlangsungan itu semua. Maka tidak heran bila Suyanto menyatakan Otonomi Pendidkan harus perlu mendapat dukungan DPRD. Karena, DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut.
Hal itu selaras dan menemukan relevansinya sebagaimana pasal 14 UU. No. 22/ 1999; di setiap daerah otonomi memiliki sistem pemerintahan yang terdiri dari DPRD sebagai badan legislatif daerah, Pemerintah daerah (Pemda) sebagai badan eksekutif daerah. Kemudian, insititusi itu harus bekerja sama secara seimbang agar daerah otonom dapat berfungsi secara efektif dan demokratik bagi semua warga masyarakat.
Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun paradigma dan visi pendidikan di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, badan legistlatif daerah ini harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Dan memiliki kesetaraan dalam kinerja legislasinya. Juga, bagi kepala daerah dalam membangun pendidikan di daerahnya masing-masing.
Lebih dari itu, Dewan Daerah atau Dewan Kota perlu ikut memberikan warna keputusan politik di bidang pendidikan daerah. Kepala Pemerintah daerah/ kota harus diberikan masukan secara sistematis dan berkelanjutan dalam membangun pendidikan daerah (ibid). Karena bila tidak, maju dan mundurnya pendidikan di era otonomi daerah adalah tergantung dari dan kebijakan politik yang diambil di bidang pendidikan yang dihasilkan Dewan Daerah atau Dewan Kota yang melembaga ke dalam DPRD.
Bahkan dikatakan Eko Budiharjo, berkaitan dengan diimplementasikannya otonomi pendidikan, sudah barang tentu peran dari lembaga pendidikan sebagai pusat pengetahuan (central of science), ilmu teknologi, dan budaya menjadi lebih penting dan sangat strategis. Dan hal itu dilakukan adalah dalam rangka pemberdayaan daerah, untuk mempertegas otonomi yang sedang berjalan. Disebabkan kebanyakan pemerintah daerah tingkat satu (propinsi) apalagi tingkat dua (kabupaten dan kotamadya) tidak memiliki sumber daya manusia (sdm) yang cukup handal dan potensial untuk mengelola dan mengatur daerahnya secara optimal. Kerja sama yang lebih erat antara lembaga pendidikan di daerah dengan pemerintah daerahnya sangat diperlukan.
Lebih lanjut Eko Budiharjo menegaskan, tokoh-tokoh ilmuwan dan pakar dari kampus lebih didayagunakan sebagai braint trust atau think thank untuk pembangunan daerahnya, tidak hanya sekedar sebagai pemerhati, kritikus, atau penggecam kebijakan daerah. Sebaliiknya, lembaga pendidikan yang ada juga harus dapat membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya, dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah (problem solving) yang dihadapi oleh rakyat.
Selain itu, pemerintah daerah pusat tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah. Pemerintah pusat hanya diperbolehkan dan dipersilahkan untuk memberikan kebijakan-kebijakan dalam persoalan tersebut. Namun itu pun harus atas dasar persetujuan bersama pemerintah-pemerintah daerah. Atau dengan lain perkataan, keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan ini hanya mencakup dua aspek; mutu dan pemerataan. Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan, dan berupaya agar semua siswa dapat berprestasi setinggi dan sebaik mungkin. Agar semua sekolah dapat mencapai standar minimum mutu pendidikan, dengan keragaman prestasi antarsekolah dalam suatu lokasi sekecil mungkin. Pendeknya, pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Karena otonomi pengelolaan pendidikan berada di tingkat sekolah. Maka peran lembaga pemerintah adalah memberi pelayanan dan dukungan kepada sekolah. Agar proses pendidikan berjalan efektif dan efisien (Indra Djati Sidi; 2001). Sehingga, Masyarakat Berbasis Sekolah (MBS) yang kerap dibicarakan dapat menemukan konteks dan momentumnya, yang pada gilirannya dapat terwujudkan.
Desentralisasi dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi
ADA rasa optimistis dan gembira ketika mendengar pemerintah mencanangkan kurikulum baru, yang kemudian dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Namun, ketika teringat penerapan cara belajar siswa aktif (CBSA) di masa lalu, muncul kekhawatiran terhadap pelaksanaan kurikulum ini. Jangan-jangan, ujung-ujungnya seperti CBSA, atau dengan kata lain kurikulum baru ini menjadi CBSA jilid dua.
Mengapa CBSA tidak berhasil? Menurut penulis, pangkal dari kegagalan penerapan CBSA dalam sistem pendidikan kita adalah sentralisasi. Kita menyadari bahwa ketika rezim Orde Baru hampir seluruh aspek kehidupan dikontrol dari atas (pusat) melalui departemen-departemen, tak terkecuali bidang pendidikan.
Depdikbud (kini Depdiknas) saat itu begitu mengikat terhadap segala proses pendidikan kita, baik secara administratif maupun institusional. Para praktisi pendidikan, terutama di sekolah, mempunyai pemahaman seakan-akan kalau kebijakan dari atas demikian dalam praktiknya harus mengikuti secara rigid dan tak bisa mengembangkan sesuai dengan kondisi sekolah dan lingkungannya. Misalnya, tidak sedikit para guru yang mengeluh karena sulit bergerak "menerjemahkan" kurikulum yang ada sesuai dengan perkembangan, bakat dan kompetensi siswa dengan alasan karena tersandung kebijakan kepala sekolah. Kepala sekolah memahami karena dari kantor wilayah (kanwil) demikian pula kanwil, memberi kebijakan karena dari pusat.
Jika dalam pelaksanaan kurikulum baru ini model-model dan kinerja para praktisi pendidikan tetap demikian, tidak menutup kemungkinan kurikulum baru tersebut akan terdengar bagus secara konseptual saja, tetapi implementasinya di lapangan akan bernasib sama seperti CBSA atau bahkan lebih parah. Oleh karena itu, agar tidak senasib dengan CBSA, dalam pelaksanaan kurikulum baru ini maka langkah yang paling penting untuk dilakukan adalah proses desentralisasi dalam sistem pendidikan kita.

***

DENGAN konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) dan otonomisasi pendidikan, proses desentralisasi ini sangatlah tepat untuk dilakukan. Langkah ini bisa dilaksanakan dengan berbagai upaya. Pertama, di era otonomi saat ini, pusat (Depdiknas) diharapkan dengan instensif melakukan sosialisasi ke bawah tentang kurikulum baru ini, baik secara konseptual maupun aplikatif-operasional, agar tidak terjadi misunderstanding dan misperception terhadap pelaksanaannya. Dengan begitu, daerah pada akhirnya bisa menerapkan dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi masing-masing tanpa merasa diawasi dan didikte dari atas.
Kedua, koordinasi antara pemerintah daerah (dinas) ke atas (Depdiknas) serta ke bawah (sekolah) harus secara aktif dan kooperatif dilakukan, tidak hanya menyangkut hubungan birokrasi juga menyangkut segala perkembangan maupun kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kurikulum. Dengan demikian akan didapat temuan-temuan baru sebagai bahan acuan dan kajian selanjutnya untuk mencapai tujuan yang optimal.
Ketiga, di sekolah, para guru bisa melakukan class action research terhadap perkembangan siswa. Hal ini dapat dilakukan dalam proses pembelajaran sehari-hari dengan memantau seluruh aktivitas dan perkembangan siswa, baik yang menyangkut kondisi psikologis, interaksi antarsiswa, materi maupun media pendidikan yang selama ini berjalan.
                Dari penelitian kecil-kecilan ini, para guru dapat mengklarifikasi segala perkembangan, persoalan dan kesulitan belajar siswa. Di sinilah mungkin pentingnya pendidikan life skills diterapkan serta bisa dijadikan bahan dan pedoman berikutnya, baik dengan mengambil langkah-langkah dan pendekatan sendiri ataupun didis-kusikan dengan guru yang lain untuk mengantarkan peserta didik menjadi pembelajar mandiri, tidak lagi banyak bergantung pada guru
Seiring dengan lahirnya reformasi dan diundangkannya Undang-Undang Otonomi Daerah No.22 tahun 1999 yang mengubah segala peraturan dari yang bersifat sentaralisi (top down) menjadi desentralisasi. Pusat telah memberikan kewenagan seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri demi membangun daerahnya masing-masing dengan mengakomodir dan mengoptimalkan segala sumberdaya yang ada di daerah tersebut.
Dengan berlakukanya undang-undang otonomi daerah tersebut, tentunya telah memberikan 'angin segar' bagi daerah, karena daerah diberi kekuasaan 'mutlak' untuk mengelola dan mengatur sendiri dalam segala aspek yang ada di daerah tersebut termasuk didalamnya aspek/bidang pendidikan.
Upaya desentralisai atau otonomi sekolah sebenarnya telah lama diperjuangkan oleh masyarakat pendidikan. Pasalnya, sistem sentralisasi dirasa sudah tidak relevan untuk konteks Indonesia kekinian yang sekarang penduduknya lebih kompleks. Karena itu, otonomi pendidikan sudah sepantasnya diterapkan jika pendidikan di Indonesia ingin lebih maju dan setara--bahkan lebih dibanding--dengan negara yang maju dan dapat diterima oleh mereka.
Dengan adanya desentralisasi, sekolah dipacu untuk mengembangkan sekolahnya dengan lebih leluasa ke arah yang lebih baik. Di samping itu, desentralisasi merupakan tantangan baru bagi sekolah terutama yang telah terkena candu diwowoy oleh pemerintah, seperti sekolah-sekolah negeri yang baru. Pihak sekolah kini dituntut untuk membuat kurikulum yang cocok dengan keadaan sendiri dan dilaksanakan oleh sendiri, tidak lagi dipasok oleh pusat.
Memang desentralisai ini merupakan sala satuh dari 'swastanisasi' atau 'privatisasi', dimana pemerintah secara tidak langsung tidak terlibat dalam pendidikan. Bagi sekolah yang bonafid, hal ini mungkin tidak menimbulkan problem yang berarti, tetapi bagi sekolah-sekolah yang baru berdiri atau yang tidak mampu secara finansial ini merupakan momok yang mungkin akan mengakibatkan kebangkrutan.
                Untuk menjawab segala permasalahan atau salah satu solusi alternatif terutama bagi sekolah yang katakanlah belum mampu secara finansial salah satunya dengan menerapakan konsep School Basic Management (SBM) atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Konsep Awal SBM
Memang istilah School Basic Management hasil impor dari negara yang sudah maju, Amerika Serikat, atas usulan Bank Dunia. Namun, jika kita mencoba menelusuri kembali genesis dari SBM dan menyimak secara lebih cermat prinsip-prinsip manajemen dan organisasi yang diserahkan oleh komite pendidikan, maka sesungguhnya yang menjadi the core spirit dalam menangani dan mengelola pendidikan adalah otonomi sekolah.
Semangat dan daras dari otonomi sekolah tidak lain adalah untuk meningkatkan manajemen dan mutu sekolah serta membebaskan dari pengalokasian sumberdaya dari kepentingan yang bersifat administratif, kepentingan yang bersifat edukatif.
Sangat kita rasakan bersama-sama bahwasannya otonomi sekolah ini menjadi sebuah kebutuhan, kerangka politis makro ikut memperkuat kebutuhan tersebut. Soal sentralisasi dan desentralisasi sudah tidak lagi hanya menjadi wacana yang tiada arti atau hanya menjadi perdebatan. Perjalanan politik bangsa kita sudah sampai pada tataran menjadikan desentralisasi sebagai sebuah kebijakan yang mendesak untuk dilaksanakan secara terprogram secara mendasar dan visioner.
Desentralisasi menjadi fenomena global dalam rangka pemenuhan tuntunan demokrasi. Oleh karena itu, desentralisasi pendidikan diharapkan akan menjawab tuntutan kebutuhan pendidikan bangsa di masa depan, sesuai dengan situasi dan kondisi kebutuhan dan niali-nilai yang berkembang di daerah.
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa pelaksanaan otonomi sekolah harus diartikan sebagai respon yang bertanggungjawab atas laporan, analisis, dan rekomendasi Bank Dunia mengenai pendidikan Indonesia. Hambatan-hambatan institusional yang mewarnai pendidikan nasional kita memang harus dipecahkan dengan kebijakan desentralisasi, sebagai bunyi rekomendasi Bank Dunia itu dapat kita petik:
"Perlu diberikannya otonomi yang lebih besar kepada sekolah yang disertai manajemen sekolah yang bertangung jawab. Otonomi yang lebih besar harus diberikan kepada para sekolah dalam memanfaatkan sumberdaya dan pengembangan strategi-strategi berbasis sekolah dengan kondisi setempat. Namun demikian otonomi yang lebih besar ini harus diikuti oleh pemilihan Kepala Sekolah yang baik yang memiliki keterampilan dan karakteristik yang diperlukan untuk mengelola sekolah yang bernuansa otonom, pemberian pengahargaan terhadap kepala sekolah yang baik dan mengganti mereka yang kurang dalam pengembangan keterampilan manajemen kepala sekolah dan program training modular."
Sebagai tambahan bahwa konsep dasar dari MBS adalah akan memeperlihatkan hal-hal sebagai berikut:
1.     Pembuatan keputusan-keputusan pendidikan yang bersifat kolegial.
2.     Dalam beberapa hal cara ini akan menggantikan cara pengambilan keputusan yang berwatak hirarkis dan semata-mata berdasar kedudukan atau posisi.
3.     Prinsip team digunakan dalam mengelola dan menjalankan kegiatan-kegiatan sekolah guna melengkapi bahkan bisa menggantikan prinsip line staf.
4.     Perencanaan yang komprehensif merupakan kendaraan untuk memperbaiki program-program yang berpusat ke sekolah dan untuk menetapkan prioritas. Perencanaan itu juga penting guna mengarahkan perubahan perubahan proses dan struktur yang harus dilakukan oleh sekolah.
5.     Semangat diperlukan adanya pengambilan keputusan-keputusan yang berlandaskan data (data based)
Respon Pengembangan Madrasah
Manakala kita berlaku positif dan proaktif terhadap gagasan dan kebijakan SBM maka menurut hemat saya, madrasah tidak terlalu memiliki kendala guna melaksanakan MBS. Karena sesungguhnya tradisi bersewadaya (paheuyeuk heuyek leungeun) telah tersimpan lebih dulu dalam khazanah dan tradisi budaya madrasah. Mungkin persoalan-persoalan yang bersifat teknis akan lebih menonjol dan lebih dirasakan oleh madrasah, baik oleh Kepala Sekolah maupun personil-personil madrasah tersebut.
Maka ada empat aspek yang harus dipahami dalam SBM jika madrasah ingin dikembangakan dengan model tersebut:
1.     Kepala sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan madrasah dimbanding dengan sistem sebelumnya.
a. Kepala sekolah memiliki kekuasaan riil dalam pengambilan keputusan.
b. Pengambilan keputusan harus bersifat demokratis. 
c. Membentuk tim-tim untuk tugas-tugas tertentu pada level madrasah.
d. Memiliki implementasi reformasi kurikulum dengan segala implikasinya.
e. Menjalin kerjasama dengan organisasi luar madrasah.
2.     Seluruh staf memiliki pengetahuan untuk meningkatkan prestasi madrasah.
a. Memahami dan dapat melaksanakan berbagai teknik.
b. Pengembangan berbagai pelatihan.
3.     Terdapat informasi yang jelas berkaitan dengan program madrasah.
a. Memiliki visi dan misi.
b. Pertukaran informasi.
c. Monitoring evaluasi dan akuntabilitas.
d. Pengembangan madrasah.
e. Data kemampuan guru.
f. Data pandangan dan kepuasan siswa dan orang tua siswa.
SBM bisa berhasil dilaksanakan dalam pengembangan madrasah bila memperhatikan hal-hal sebagai berikut--ungkin bisa menolong usaha-usaha kita bersama:
1.     Senantiasa mencari dan melibatkan orang tua siswa dan masyarakat.
2.     Mengubah schedule Madrasah sehingga memungkinkan guru berinteraksi akademik di antara sesama madrasah
3.     Kepala Madrasah lebih memfungsikan diri sebagai fasilitator dan manajer serta mendelegasikan kebijakan dalam proses belajar mengajar kepada guru.
4.     Madrasah memberikan tekanan pada pengembangan kemampuan profesional guru dan kapasistas organisasi madrasah

SEKOLAH BERWENANG TENTUKAN PSB

Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta seharusnya tidak secara sepihak menentukan model general test sebagai perangkat seleksi penerimaan siswa baru pada sekolah lanjutan tingkat pertama.
Praktisi pendidikan Arief Rahman berpendapat, dalam proses otonomi pendidikan, seharusnya pengelola sekolah punya wewenang yang luas untuk menyelenggarakan pendidikan, termasuk dalam proses seleksi penerimaan siswa baru (PSB).
Pernyataan Arief tersebut dikaitan dengan kebijakan Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang akan memberlakukan general test kepada seluruh SLTP negeri di wilayah ini, pada PSB.
Arief menjelaskan, sesuai prinsip otonomi pendidikan, keterlibatan sekolah dalam PSB itu bisa dalam bentuk menyeleksi wawancara atau psikotes. Pendapat Arief ini sesuai dengan kebiasaan yang berlaku selama ini bahwa pembuatan soal ebtanas (sebelum diganti ujian akhir nasional/UAN-Red) sudah melibatkan pihak sekolah.
Dengan keterlibatan sekolah itu, diharapkan pihak sekolah juga menentukan jaminan dalam penjaringan dan kualifikasi calon siswa sesuai prasyarat yang diinginkannya. Bahkan, bagi sekolah yang dirasakan sudah mampu, menurut Arief, mereka hendaknya dilibatkan dalam pembuatan soal atau membuat rambu-rambunya.
Hal itu bisa dilakukan jika Dinas Pendidikan mempersiapkan jauh-jauh hari. Selain itu, keberadaan wadah dari Musyawarah Kepala Sekolah (MKS) yang sudah lama terbentuk itu diefektifkan untuk bidang-bidang akademik.
Dalam jumpa pers yang membahas ujian akhir nasional sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta Gito Purnomo mengemukakan PSB pada SLTP akan menggunakan pola general test dengan sistem rayonisasi, serta membatasi calon siswa memilih di satu sekolah saja.
Ketentuan yang diberlakukan Dinas Pendidikan DKI Jakarta ini sedikit berbeda dengan aturan yang ditentukan dari pusat bahwa proses PSB diserahkan sepenuhnya kepada sekolah.
Pernyataan Gito itu dipertegas pada kesempatan acara serah terima dan pendistribusian soal UAN untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dari percetakan Bumi Grafika kepada panitia rayon, kemarin.
"Kita akan menggunakan general test dan soalnya akan diambilkan seluruhnya dari pusat pengujian (Pusjian) Departemen Pendidikan Nasional."
Dia menjelaskan, pada masa transisi tahun ini pihaknya belum bisa menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah menyelenggarakan PSB karena belum ada jaminan proses itu berjalan secara fair. Diperkirakan untuk pengadaan general test dan membebaskan siswa dari beban biaya dibutuhkan biaya sekitar Rp1,6 miliar.
Lebih lanjut Arief Rachman mengomentari, sudah seharusnya orang punya toleransi pada kekurangan sekolah dan harus berani mengambil risiko gagal. "Kalau tidak, kita akan dikendalikan terus oleh secara terpusat," katanya.
Menurutnya, kebijakan yang masih membatasi sekolah untuk dilibatkan dalam proses seleksi PSB tersebut hendaknya dilaksanakan secara temporal ketika otonomi sekolah masih dalam masa transisi seperti sekarang ini.
Secara terpisah, Anggani Sudono dari Badan Pembina Akademik Yayasan Al Izhar, Pondok Labu, Jakarta Selatan, mengatakan seharusnya seleksi SLTP tidak memerlukan semacam general test. Alasannya, SLTP merupakan satu paket dari program wajib belajar dan sekolah tidak diperkenankan untuk pilih-pilih siswa.
Selain itu, menurut dia, yang seharusnya lebih menjadi perhatian Dinas Pendidikan DKI adalah memperbaiki fasilitas sekolah, termasuk pemberdayaan guru dan kepala sekolah. "Daripada dana yang ada untuk biaya PSB akan lebih baik untuk memperbaiki perpustakaan dan fasilitas pendidikan lainnya," katanya. (media)

My Family

My Family
Kunjungan Dosen Native Speaker dari Sudan

My Duty

My Duty
Pelatihan Model Pembelajaran