Salam Ta'aruf

Allah telah membuktikan firmannya :
"Qul Hal Yastawilladzina Ya'lamuna wal Ladzina la Ya'lamuun"....
ayat tersebut merupakan anjuran kepada manusia agar supaya kita menjadikan ILMU sebagai sesuatu yang paling berharga dan tameng dalam hidupnya.
dengan Ilmu manusia bisa menggapai segala-galanya, dengan ilmu manusia bisa meraih apa yang dicita-citakannya, dengan ilmu manusia mampu menerobos angkasa, dan masih banyak lagi.
Allah menjamin dengan Jaminan yang Pasti, bahwanya terdapat perbedaan yang sangat besar antara orang yang berilmu dan tidak berilmu, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. begitu juga dalam menghadapi dan menyelesaikan sebuah permasalahan. orang berilmu menggunakan ilmu sebagai paradigma atau "pisau analisnya" melalui akal yang diberikanNya, sedangkan orang yang tidak berilmu mengambil cara pintas, dengan tanpa menganilasa sebab dan akibat yang akan ditimbulkannya.
Subhanallah, ternyata mahligai Ilmu dapat diraih dengan tafakkur, tadabbur, sehingga membawa manusia kepada kebahagian lahir dan batin yang menjadi idaman setiap manusia yang hidup di muka bumi ini.
Ingin bahagia lahir batin, dan dunia akhirat... dapatkan...carilah Ilmu....
Ingat.... Ilmu Allah sangat luas

Isroiliyat dalam Sejarah Ilmu Hadist


A. Pendahuluan

            Al Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, yang didalamnya berisi hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan taat cara menusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial sehingga memperoleh kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat.
            Dalam Al Qur’an tersebut ada yang dikemukakan secara terperinci misalnya yang berhubungan dengan perkawinan, hukum warisan, dan lain sebagainya serta ada pula yang bersifat global (mujmal), ada yang diperinci oleh hadits-hadits nabi Muhammad SAW, disamping itu Islam juga membuka pintu ijtihad dalam hal yang tidak diterangkan Al Qur’an atau hadits secara jelas (Qath’i).[1]
Pada masa Rasulullah kebutuhan akan adanya tafsir belum begitu terasa, sebab apabila sahabat tidak atau belum memahami suatu ayat Al Qur’an maka Rasulullah SAW memberikan jawaban tentang hal tersebut. Namun ketika Rasulullah wafat, Islam sudah menyebar ke berbagai daerah dan keluar dari Jazirah arab serta tradisi lain yang yang sudah lebih dulu ada, maka hal tersebut kemudian menimbulkan persoalan baru dan persoalan baru itu baru bisa terpecahkan apabila Al Qur’an ditafsirkan sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu. Kemudian tiap-tiap generasi mewarisi kebudayaan dari generasi sebelumnya.
Kebutuhan suatu generasi berlainan anatara yang satu dengan yang lain. Begitu juga halnya dengan tafsir Al Qur’an dan ilmu tafsir serta ilmu hadits yang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan manusia dalam satu generasi. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan kitab-kitab tafsir dan Ilmu tafsir yang dibagi dalam tiga periode yakni[2]:
1.      Periode Mutaqaddimin
Pada periode ini penafsiran Al Qur’an bersumber pada :
a.       Perkataan, perbuatan, taqrir dan jawaban Rasulullah SAW terhadap soal-soal yang dikemukakan para sahabat apabila mereka kurang atau tidak dapat memahami maksud suatu ayat Al Qur’an. Tafsir semacam ini disebut “Tafsir Manquul”.
b.      Ijtihad
c.       Cerita-cerita Isra’iliyyat.
2.      Periode Muta’akhirin (abad 4 – abad 12 H)[3]
Pada periode ini  kekuasaan Islam semakin meluas, ilmu pengetahuan kaum muslimin berkembang dengan pesat karena mereka banyak belajardari kebudayaan-kebudayaan daerah yang telah masuk wilayah Islam, misalnya logika, falsafah, eksakta, kedokteran, dll. Hal inilah kemudian yang menjadi pemicu lahirnya ilmu bahasa. Perubahan semacam ini pada akhirnya menimbulkan perubahan dalam penyusunan kitab-kitab tafsir. Pada periode ini lahirlah kitab-kitab tafsir yang mengutamakan beberapa segi, misalnya:
a.       Tafsir yang meninjau dan menafsirkan Al Qur’an dari segi gaya bahasa dan keinadahan bahasa, misalnya Az Zamakhsyari dalam tafsirnya Al Kasysyaf.
b.      Tafsir yang meninjau dan menafsirkan Al Qur’an dari segi tata bahasa, kadang mereka menggunakan syair-syair arab untuk memperkuat pendapat mereka. Kitab tafsir ini misalnya: Kitab karya Az Zajjaj, Kitab Al Basiith karya Al Waahadi, dll.
3.      Tafsir Periode Baru (Akhir Abad ke 19 M)
Tafsir pada periode ini sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi pada daerah-daerah Islam, misalnya saja semangat modernisasi dari pembaharuan yang berkembang sebagai akibat dari serangan-serangan barat pada dunia Islam. Kitab tafsir yang muncul pada masa ini misalnya Tafsir Al Manar karya Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Jawahir karya Tanthawi Jauhari dll.
Uraian diatas merupakan gambaran secara singkat tentang perkembangan tafsir Al Qur’an, akan tetapi penulis akan lebih menfokuskan pada salah satu sumber tafsir Al Qur’an diatas yakni masalah Israiliyyat. Dalam makalah ini akan dibahas tentang definisi Israiliyyat, Cara merembesnya Israiliyyat kedalam tafsir dan hadits, berbagai pendapat tentang Israiliyyat baik yang menerima, menolak maupun yang memadukan keduanya serta analisis kritisnya.
B. Definisi Israiliyyat.
Kata Israiliyyat adalah bentuk jamak dari kata Israiliah. Israiliah merupakan cerita yang dikisahkan dari sumber Isra’ili. Israiliah dinisbahkan kepada Isra’il, yaitu Ya’qub dan Ishaq bin Ibrahim, yang mempunyai keturunan dua belas. Yang dinyatakan sebagai yahudi adalah juga bani Israil[4].  Sebagaimana yang terdapat dalam  misalnya QS. An Naml: 76, QS. Al Isra: 4 dan QS. AL Maidah ayat 78.
لعن الذين كفروا من بني اسرائيل علي لسان داود و عيسى ابن مريم ذلك بما عصوا و كا نوا يعتدون (المائدة:   )
Artinya: “Telah dilaknati orang-orang kafir dari bani israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas”(QS. Al Maidah 78).
            Musa’id Muslim Ali Ja’far mendefinisikan Israiliyyat sebagai pengetahuan ahli kitab yang terkait dengan cerita dalam Al Qur’an dan Al Hadits[5].   Sedangkan Manna’ Qattan mendefinisikan Israiliyyat[6] sebagai berita-berita yang diceritakan ahli kitab yang masuk Islam
Perkataan Israiliyyat walaupun pada mulanya menunjukkan kisah-kisah yang diriwayatkan dari sumber Yahudi, akan tetapi dipergunakan juga oleh ulama’ tafsir dan hadits dengan membenarkan sebagian cerita-cerita yahudi, bahkan lebih luas daripada itu. Israiliyyat dalam istilah tafsir menunjukkan pada semua cerita lama dan baru yang masuk kedalam tafsir dan hadits yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani atau selain dari keduanya yang menjadi musuh-musuh Islam yang sengaja akan merusak kaum muslimin. Dasar yang digunakan oleh para ulama’ adalah QS. Al Maidah ayat 82.[7]
لتجدن اشد الناس عداوة للذين امنوا اليهود والذين اشركو..............(الما ئدة :       )
Artinya : “ Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang peling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik”.
C. Cara Merembesnya cerita Israiliyyat ke dalam Tafsir dan Hadits[8]
1. Adanya golongan Ahli Kitab yang berada di jazirah Arab
Sebenarnya cara merembesnya cerita-cerita Israiliyyat kedalam tafsir dan hadits didahului dengan masuknya kebudayaan Arab zaman jahiliyah. Masyarakat arab sebelum adanya Islam terdapat segolongan Ahli Kitab yakni kaum Yahudi yang pindah ke Jazirah Arab sejak dulu. Perpindahan besar-besaran terjadi pada tahun 70 M, mereka lari dari ancaman dan siksaan yang datang dari Titus. Mereka pindah ke Jazirah arab tentunya juga dengan membawa peradaban yang mereka warisi dari generasi pendahulu mereka yang kemudian mereka wariskan kepada generasi sesudah mereka. Mereka mempunyai tempat yang mereka jadikan sebagai pusat pengkajian warisan yang telah mereka terima yang disebut Midras dan tempat lain yang mereka pergunakan untuk beribadah dan menyiarkan agama mereka [9].
2. Kontak antara masyarakat Arab dengan Masyarakat luar
Bangsa Arab adalah bangsa yang suka berpindah-pindah, sehingga mereka bertemu dan berhubungan dengan masyarakat selain arab yang diantaranya adalah para Ahli Kitab yang sebagian besar adalah masyarakat Yahudi. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut sangat memungkinkan terjadinya perembesasan kebudayaan Yahudi kepada bangsa Arab yang masih memiliki kebudayaan yang dianggap rendah (Jahiliah).
3.      Adanya pertukaran ilmu Pengetahuan.
Pada zaman nabi antara masyarakat Yahudi, Nasrani dan Muslim hidup saling berdampingan dengan baik. Dari pertemuan yang intensif antara keduanya inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya pertukaran ilmu pengetahuan. Orang Yahudi sering bertanya kepada Nabi untuk menyelesaikan persoalan mereka selain itu mereka juga sering bertanya dengan tujuan untuk mempersempit ajaran Islam atau hanya untuk menguji kebenaran kenabian Muhammad.
4.      Diskusi antara kaum Muslimin dengan orang Yahudi.
Dari diskusi tersebut ada beberapa orang Yahudi yang masuk Islam, diantaranya adalah Abdullah bin Salam, Abdullah bin Surayya, Ka’ab al Ahbar dan lain sebagainya yang pada umumnya memiliki pengetahuan yang luas tentang kebudayaan Yahudi. Pada akhirnya ilmu Mujadalah dan diskusi terpengaruh juga oleh Israiliyyat ini.
Masuknya Israiliyyat kedalam Tafsir dan Hadits secara meluas karena perkembangan tafsir dan hadits terdiri dua periode yang berbeda yakni periode Periwayatan dan periode Pembukuan.

D. Periode Periwayatan Tafsir dan Hadits
Pada periode ini dimulai pada zaman Rasulullah. Rasulullah selama bergaul dengan para sahabat beliau seringkali memberikan penjelasan kepada mereka tentang urusan agama dan dunia yang dianggpa penting oleh mereka atau dianggap penting oleh nabi. Penjelasan nabi itu mencakup juga tafsir-tafsir ayat Al Qur’an yang masih bersifat Mujmal (global) dan Dzanni (Samar). Penjelasan yang diterima oleh para sahabat itu kemudian disampaikan kepada sahabat yang tidak hadir pada majlis, murid-muridnya, tabi’in dan  dari tabi’in ke tabi’it tabi’in dan seterusnya sehingga penjelasan tersebut bisa sampai dari satu generasi ke genarasi berikutnya.
Pada masa sahabat mereka sangat ketat dan berhati-hati dalam menerima riwayat hadits Rasulullah. Mereka hanya mau menerima periwayatan tersebut jika jelas ke-shahihan-nya baik melalui saksi maupun sumpah. Pada masa Tabi'in banyak hadits palsu. Awal timbulnya hadits palsu ini adalah pada tahun 41 H ketika terjadi fitnah diantara kaum muslimin yang pada akhirnya menimbulkan adanya kelompok Syi’ah, Khawarij dan jumhur Ahlu Sunnah. Sebagaimana pendapat Al Dzahabiy bahwa pada periode ini banyak hadits palsu yang telah tersebar dikalangan umat Islam yang dapat membingungkan dan banyaknya cerita-cerita palsu yang masuk kedalam tafsir dan hadits. Sebagai akibat semakin berkembangnya hadits-hadits palsu tersebut maka para tabi’in membuat kaidah-kaidah tentang periwayatan hadits[10]. Pada periode Tabi’it Tabi’in mereka umumnya meremehkan masalah riwayat dan orang yang meriwayatkan , misalnya jika mereka meriwayatkan suatu hadits, mereka membuang sanadnya.
Pada periode ini cerita Israiliyyat merembes kedalam tafsir dan hadits atau dalam waktu yang sama secara berbarengan. Hal ini terjadi karena antara tafsir dan hadits menjadi satu kesatuan. Dalam Al Qur’an diceritakan tentang kisah-kisah terdahulu yang menurut pendapat mereka adalah tentang nasihat dan ibrah, serta masih bersifat global maka mereka ingin memperoleh perincian dari Ahli Kitab yang telah masuk Islam. Pada masa tabi’in penukilan dari Ahli Kitab semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya diantara golongan Ahli Kitab yang masuk Islam serta ditunjang pula oleh rasa keingintahuan kaum muslimin tentang sesuatu yang luar biasa dalam Al Qur’an. Hal ini menyebabkan banyak kitab tafsir yang dimasuki cerita Israiliyyat misalnya kitab Tafsir yang dinisbahkan pada Qatadah dan Mujahid. Pada masa tabi’it Tabi’in tumbuh kecintaan yang luar biasa terhadap cerita Israiliyyat dan diambilnya secara ceroboh, sehingga setiap cerita tersebut tidak ada yang ditolak, mereka tidak lagi mengembalikan cerita itu kepada Al Qur’an walaupun tidak dimengerti akal dan hal ini berlangsung terus sampai pada periode pembukuan[11].

E. Periode Pembukuan Tafsir dan Hadits
Periode ini mulai pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijriyah. Awal dari pembukuan tafsir dan hadits adalah yakni ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada semua Ulama’ untuk mengumpulkan hadits-hadits Rasul yang menurut anggapan mereka shahih, termasuk segala yang berpengaruh terhadap tafsir dan segala keterangan dari para sahabat dan tabi’in.
Pada periode ini, Hadits dibukukan terpisah dengan tafsir dengan bantuan ilmu lain yang bermacam-macam. Secara umum tafsir pada masa ini bersih dari cerita-cerita Israiliyyat, kecuali sedikit saja, itupun tidak bertentangan dengan nash Syar’i. Pada masa pembukuan hadits ini banyak sekali cerita-ceriat Israiliyyat yang para mufassir mereka bukukan. Alasan mufassir yang melakukan hal ini adalah jika cerita itu ditulis sekaligus dengan sanadnya maka seoarng mufassir telah keluar dari tanggungjawabnya. Mufassir yang berpendapat dengan hal tersebut adalah ibn Jarir Ath Thabari dan Ibn Ishaq Tsa’labi.
Sementara itu Ibnu Khaldun dalam kitan Muqaddimahnya yang dikutip oleh Al Dzahabiy membagi latar belakang yang menyebabkan cerita Israiliyyat berkembang dalam dunia Islam kedalam dua hal :
a.       Latar belakang kemasyarakatan (Sosiologis) seperti menonjolnya aspek ummi dan badwi pada masyarakat Arab, keingintahuan mereka tentang asal kejadian makhluk pertama, sebab timbulnya alam semesta dan rahasia-rahasia alamyang kemudian berbagai persoalan tersebut ditanyakan oleh Orang Arab kepada Ahli Kitab.
b.      Latar belakang agama, yaitu kecenderungan untuk menerima riwayat secara ceroboh tanpa penelitian keshahihannya. Akhirnya nukilan-nukilan seperti itu tidak dikembalikan kepada hukum-hukum yang diyakini kesahihanya sehingga ia wajib diamalkanya.

Alasan diterima dan disukainya cerita Israiliyyat nya oleh orang awam menurut Al Dzahabiy adalah:
a.       Sesungguhnya musuh-musuh Islam, diantaranya adalah orang yahudi, sangat takut akan kekuatan Islam dan pemeluknya sehingga mereka berusaha untuk menghancurkan umat Islam.
b.      Banyak orang ahli bercerita yang meragukan sebagian ulama’ muslimin, sebagaimana telah meragukan kepada sebagian pemegang kekuasaan diantara mereka.
c.       Sesungguhnya para tukang cerita itu didalam menyebarkan ceritanya berlindung pada kedustaan, lalu disebarluaskannya kepada masyarakat. Mereka menisbahkan sebagian yang mereka riwayatkan itu kepada sebagian dari para muhaddits yang terkenal dan juga guru-gurunya.

            Bahaya cerita Israiliyyat terhadap Aqidah kaum muslimin dan terhadap kesucian ajaran Islam[12].
Jika ayat Alqur’an ditafsiri oleh para mufassirin dengan menggunakan cerita-certita Israiliyyat yang kemudian dinisbahkan pada nabi dan para Sahabat, maka hal ini akan berbahaya bagi aqidah Islam, misalnya:
a.       Cerita tersebut akan merusak akidah kaum muslimin karena mengandung unsur penyerupaan dan pengkongkritan ( Tasybih dan Tajsim) pada Allah SWT dan mensifati Allah dengan sifat yang tidak sesuai dengan keagungan dan kesempurnannya. Serta cerita itu juga mengandung unsure peniadaan Ishmah (terpeliharanya) Nabi dan Rosul dari dosa. Misalnya cerita tentang Penghancuran kaum Nabi Luth, menurut cerita Israiliyyat yang menjadi tamu pada nabi luth sebelum ummatnya dihancurkan adalah Allah dan dua malaikat dalam bentuk tiga orang laki-laki, padahal yang datang itu adalah malaikat utusan Allah sebagiamana yang termaktub dalam Al Qur’an QS. Hud ayat 69 – 70 .
b.      Cerita Israiliyyat memberikan gambaran seolah-olah Islam itu agama yang penuh dengan khurafat dan kebohongan yang tidak ada sumbernya.
c.       Sesungguhnya dengan cerita Israiliyyat itu hampir saja hilang kepercayaan terhadap sebagian ulama’ salaf, baik dari kalangan para sahabat maupun para tabi’in. Hal ini disebabkan karena tidak sedikit dari cerita Israiliyyat  yang munkar disandarkan kepada segolongan Ulama’ Salaf yang saleh dan yang telah dikenal keimanan dan keadilannya. Ulama’-ulama’ tersebut diantaranya Abu Hurairah, Abdullah bin Salam, Ka’ab Al Akhbar dan Wahab bin Munabih.
d.      Israiliyyat dapat memalingkan manusia dari maksud dan tujuan Al Qur’an .

F. PEMBAGIAN CERITA ISRAILIYAT
1.      Sudut Pandang Kualitas Sanad, maka cerita Israiliyyat dibagi menjadi menjadi dua yakni shahih dan dlaif (termasuk dlaif yang maudlu’)[13].
a.       Cerita Israiliyyat Shahih. Contohnya cerita jenis ini adalah apa yang dikemukakan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya dari Ibnu Jarir yang berkaitan dengan QS. Al A’raf : 157.
Dalam menafsirkan ayat tersebut Ibnu katsir mengutip cerita Israiliyyat yakni dari Mustani, dari Usman bin Umardari Fulaih dari Hilal bin Ali dari Atha bin Yasir, ia berkata: “aku telah bertemu dengan Abdullah bin Amr dan berkata kepadanya: Ceritakanlah olehmu kepadaku tentang sifat Rasul SAW yang diterangkan dalam kitab Taurat! Ia berkata: Ya, demi Allah, sesungguhnya sifat Rasulullah didalam Taurat sama dengan yang diterangkan di dalam Al Qur’an: “Wahai Nabi, sesungghnya kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, dan pemelihara orang-orang yang ummi, Engkau adalah Hamba-Ku dan Rasul-Ku, namamu yang dikagumi, engkau tidak kasar dan tidak pula keras”. Allah tidak akan mencabut nyawanya sebelum Islam Tegak lurus, yaitu dengan ucapan: Tiada Tuhan yang petut disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Allah. Dengannya pula Allah akan membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang tuli, membuka mata yang buta.
Ibnu Katsir mengaitkan riwayat tersebut dangan pernyataan Imam Bukhori dalam kitab Shahih-nya yang diterima dari Sinan Muhammad bin Sinan, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali, ia menceritakan sanadnya, seperti yang telah disebutkan, tetapi ia menambahkan dengan perkataan: “ Dan bagi sahabat-sahabatnya di pasar-pasar, ia tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan, tetapi memaafkan dan mengampuni”. [14]
b.      Cerita Israiliyyat yang Dlaif, Contohnya adalah Cerita yang dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya untuk menafsirkan surat Qaf ayat 1 yang bersumber dari atsar yang diriwayatkan oleh Abu Muhammad bin Abdurrahman dari abu Hatim Arrazi, dari ayahnya dan Muhammad bin Ismail Al Makhzumi, dari Laits bin Abu Sulaim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang berbunyi :
“Allah SWT telah menciptakan dibawah bumi ini laut yang melingkupinya, didasar laut ia menciptakan sebuah gunung yang disebut gunung Qaf. Langit dunia ditegakkan diatasnya. Dibawah gunung tersebut Allah menciptakan bumi seperti bumi ini, yang jumlahnya tujuh lapis. Kemudian Ia menciptakan sebuah gunung lagi yang juga bernama gunung Qaf. Langit jenis kedua diciptakan diatasnya. Sehingga jumlah semuanya: tujuh lapis bumi, tujuh lautan, tujuh gunung dan tujuh lapis langit”.  Keterangan ini oleh Ibnu Katsir dikaitkan dengan QS. Luqman ayat 27 :
و ا لبحر  يمد من بعد ه سبعة ا بحر...(لقما ن :   )
“…Dan Laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudahnya…”
Ibnu Katsir memberikan penjelasan bahwa atsar tersebut adalah gharib dan sanadnya terputus (Inqitha’).[15]
2.      Sudut Pandang kesesuaiannya dengan syari’at Islam, dibagi menjadi tiga, yakni:
a.       Sesuai dengan syari’at Islam, contohnya apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan muslim dari Yahya bin Bukhair, dari laits, dari khalid, dari Said bin Abu Hilal, dari Zaid bin Aslam, dari Atha bin Yasir dari Abu Said Al Khudri, tentang Kekuasaan Allah pada hari Kiamat diumpamakan seperti seorang musafir yang menggenggam roti.[16] Cerita yang menjelaskan tentang sifat-sifat nabi yang tidak kasar, keras, pemurah dan pengampun.[17]
b.      Bertentangan dengan syari’at Islam, misalnya cerita yang disampaikan oleh Ibnu Jarir, dari Basyir, dari Yazid, dari Said, dari Qatadah yang berkaitan dengan kisah Nabi Sulaiman a.s. Dalam cerita itu digambarkan tentang perbuatan yang tidak layak dilakukan oleh seorang Nabi misalnya minum arak.[18]
c.       Didiamkan oleh syari’at Islam (Maskut ‘Anhu), yakni tidak terdapat dalam syari’at Islam, misalnya Israiliyyat yang disampaikan oleh Ibnu Abbas, dari Kaab Al Akhbar dan Qatadah, dari Wahab bin Munabbih tentang orang yang pertama kali membangun Ka’bah, yaitu Nabi Syits a.s. [19] Contoh lain adalah cerita tentang seorang keponakan yang membunuh pamannya sendiri agar ia dapat mengawini putrinya, mendapatkan hartanya serta memakan diyatnya. Cerita ini terjadi pada masa nabi Musa a.s. [20]
3.      Sudut pandang materi
Dalam susut pandang ini cerita Israiliyyat dibagi menjadi 3 yaitu:
a.       Israiliyyat yang berhubungan dengan aqidah, contohnya Israiliyyat yang menjelaskan tentang QS. Az Zumar : 67
وما قد روا الله حق قد ره......(الز مر:    )
“Dan mereka tidak menggungkan Allah, dengan pengagungan yang sebagaimana mestinya ….”.
Dari Syaiban, dari Mansyur, dari Mansyur, dari Ibrahim, dari Ubaidah, dari Abdillah berkata: Telah datang seorang ulama’ Yahudi kepada Rasulullah dan berkata bahwa Allah menciptakan langit, bumi dan semua isinya termasuk air dan binatang diatas jari-Nya mendengar cerita tersebut Nabi tertawa sehingga kelihatan gigi gerahamnya kemudian beliau membacakan QS. Az Zumar : 67. Dari cerita tesebut dapat diketahui bahwa Kekuasaan Allah sangat besar atas langit, bumi beserta isinya akan tetapi manusia kurang memberikan pengagungan kepada Allah sebagaimana mestinya.[21]
b.      Israiliyyat yang berhubungan dengan hukum, misalnya cerita bahwa dalam taurat juga terdapat hukum rajam sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an sebagaimana cerita yang disampaikan oleh Ibrahim bin Munzir , dari Abu Damrah, dari Musa bin Uqban, dari Nafi, dari Abdullah bin Umar.[22]
c.       Israiliyyat yang berhubungan dengan kisah-kisah, misalnya cerita yang dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya tentang perahu Nabi Nuh. Dalam Israiliyyat dikatakan bahwa kayu yang digunakan adalah kayu jati, ukuran perahunya adalah 50 siku, lebarnya 50 siku, bagian luar dan dalam perahu dipenuhi dengan kaca serta dilengkapi dengan alat yang tajam untuk membelah air.[23]

G. HUKUM MERIWAYATKAN CERITA ISRAILIYYAT
Ada tiga pendapat tentang hukum meriwayatkan cerita Israiliyyat, yaitu:[24]
1.      Dalil – dalil yang melarang
a.       Ayat-ayat yang melarang di dalam Al qur’an  menyatakan bahwa orang Yahudi dan Nasrani telah mengubah kitab-kitabnya, mengganti dan menyembunyikan sebagian besar isinya sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap segala apa yang dikemukakan mereka. Diantara ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang Ahli kitab adalah QS. Al Baqarah 75-104, 120, Asy Syura; 15, QS At Taubah: 32, dll
b.      Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Shahihnya dari Muhammad bin Basyir, dari Usman bin Umar, dari Ali bin Mubarak, dari Yahya bin Abu Katsir, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah 
لا تصد قو ا اهل الكتا ب و لا تكذ بوهم و قو لو ا امنا بالله و ما انز ل الينا

“ Janganlah kamu sekalian membenarkan ahli kitab, dan jangan pula mendustakannya dan nyatakan oleh kamu sekalian: kami semua beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami….”.
c.       Riwayat Imam Ahmad, Ibnu Syaibah dan Imam Ibn Bazzar dari Jabir bin Abdillah yang isinya tentang cerita Umar bin Khattab yang membaca surat yang ditulis oleh orang Yahudi di Hadapan Rasulullah kemudian beliau bersabda agar Umar tidak mempercayai apa yang disampaikan oleh orang Yahudi tersebut.
d.      Riwayat Imam Bukhori dari Yahya bin Bukhair, dari Laits, dariYunus, dari Ibnu Syihab, dari Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah, dari Abdillah bin Abbas yang berisi tentang larangan bertanya kepada ahli kitab.
e.       Hadits riwayat Harits bin Jahir dari Abdullah bin Mas’ud yang berisi bahwa Ahli Kitab suka berbohong dan menyesatkan.
2.      Dalil –dalil yang memperbolehkan
a.       Ayat-ayat Al Qur’an yang membolehkan bertanya kepada Ahli Kitab misalnya QS. Yunus : 94,
فاء ن كنت في شك مما انز لنا اليك فسئل االذين يقر ء و ن الكتا ب من قبلك.....( يو نس :      )[25]
“ Maka Jika kamu Muhammad berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu…”
Selain ayat diatas ada beberapa ayat yang senada misalnya QS Ali Imran: 93, Ar Ra’d: 43, Al Ahqaf: 10,
b.      Riwayat Imam Bukhori dalam kitab Shahihnya dari Abu Ashim Ad Dahiq ibnu Muhallid, dari Auzai, dari hasan bin Athiyah, dari Abu Kabsyah As Saluli dari Abdullah bin Amr:
بلغو ا عني و لو ا ا ية و حد ثو ا عن بني ا سر ا ئيل و لا حر ج و من كذ ب علي متعمد ا فليتبؤا مقعد ه من النا ر
“ Sampaikanlah olehmu apa yang kalian dapat dari aku, walaupun satu ayat. Ceritakanlah tentang Bani Israil, dan tidak ada dosa didalamnya. Barangsiapa sengaja berbohong kepadaku, maka bersiaplah dirinya untuk mendapatkan tempat didalam neraka”.
c.       Hadits riwayat Imam Ahmad dengan sanad Abdullah bin Mas’ud yang berisi bahwa Nabi pernah mendengarkan orang Yahudi yang membaca Kitab Taurat yang berisi tentang sifat-sifat Nabi dan Umatnya, kemudian nabi tidak mengingkarinya.
d.      Banyak diantara sahabat yang bertanya kepada Ahli Kitab yang telah masuk Islam tentang isi kitab mereka. Diantara sahabat-sahabat tersebut adalah Abu Hurairah, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Abdullah bin Amar, dll.[26]
3.      Menyelaraskan antara dalil-dalil yang melarang dan dalil-dalil yang memperbolehkan
Muhammad Husain Al Dzahabiy Al Israiliyyat fi Al Tafsir wa Al Hadits mencoba untuk memadukan dua pendapat yang berbeda tersebut yakni:
a.       Dalam Al Qur’an tidak terbatas pada masalah syariat saja, tetapi juga mencakup sejarah kehidupan yang berkaitan dengan umat dan agama terdahulu, untuk itu diperbolehkan bertanya kepada ahli kitab tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan mereka. 
b.      Dalam Al Qur’an banyak dikisahkan tentang Bani Israil dan umat-umat terdahulu lainnya, misalnya Kisah pembunuhan di zaman Bani Israil dalam QS. Al Baqarah: 67-73, kisah perintah Nabi Musa kepada kaumnya untuk memasuki daerah yang disucikan (Ardhul Muqaddasah) dalam QS Al Maidah: 20-26), Kisah Qabil dan Habil, dua putra Nabi Adam dalam QS Al Maidah 27-31, dll. Selain dalam Al Qur’an banyak hadits yang menjelaskan tentang Bani Israil misalnya cerita yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abu Hurairah tentang tiga orang Bani Israil yang menderita penyakit lepra, buta dan buta, kemudian Nabi bersabda bahwa ketiga orang tersebut sedang diuji oleh Allah, ada juga kisah tentang Juraij seorang ahli ibadah dari Bani Israil yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abu Hurairah.
c.       Boleh menerima cerita berita dari ahli kitab asalkan berita tersebut diyakini kebenarannya dengan tujuan untuk mengambil nasehat dan pelajaran.
d.      Dalam menerima cerita dari ahli kitab tidak boleh secara mutlak akan tetapi hendaknya diteliti dahulu, apakah cerita tersebut sesuai dengan Al Qur’an atau tidak. Karena ada hadits nabi yang berbunyi
و حد ثو ا عن بني ا سر ا ئيل و لا حر ج
“ Ceritakanlah oleh kamu sekalian dari Bani Isra’il, dan kamu sekalian tidak berdosa”. Maksudnya adalah yang boleh diceritakan adalah yang sudah diketahui kebenarannya. Jika cerita tersebut sesuai dengan syariat islam maka boleh diriwayatkan, jika bertentangan maka dilarang untuk meriwayatkannya, jika didiamkan oleh syariat maka kita harus mendiamkan pula
لا تصد قو ا اهل الكتا ب و لا تكذ بوهم
“ Janganlah kamu sekalian membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya”
e.       Untuk cerita yang didiamkan oleh syariat Islam, maka harus disandarkan kepada para sahabat, tabi’in dan seterusnya. Jika mereka banyak meriwayatkannya dengan benar maka hendaknya kita terima, jika mereka sedikit meriwayatkannya hendaknya menolaknya, jika mereka mereka membiarkan maka hendaknya dibiarkan.
f.       Banyak sahabat diantaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud yang mengembalikan persoalan kepada Ahli kitab yang telah masuk Islam.

H. ANALISIS
            Dalam kajian  Israiliyyat, memang banyak menimbulkan polemik dalam hal boleh tidaknya menggunakan cerita tersebut sebagai salah satu sumber dalam penafsiran Al Qur’an. Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat yang telah dipaparkan sebelumnya, terdapat beberapa dalil yang perlu diperhatikan diantaranya:
a.       Jika ditinjau dari asal mula cerita tersebut adalah dari Yahudi dan Nasrani maka dapat diketahui bahwa asal mula agama tersebut adalah sama dengan Islam yakni dari Allah SWT. Sebagai salah satu buktinya adalah dalam Al Qur’an disebutkan bahwa disetiap kelompok umat manusia ada Rasul yang jumlahnya kurang lebih tiga ratus lima belas, dan sebagian dari mereka ada yang dikisahkan dalam Al Qur’an dan sebagian tidak serta umumnya umat Islam mengenal 25 nabi mulai dari Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad. Diantara Rasul tersebut sebagian besar adalah keturunan Nabi Ya’qub yang bergelar Israil yang dalam bahasa Ibrani berarti Hamba Allah[27] sehingga mereka dikenal dengan sebutan Bani Israil (keturunan Israil). Deretan keturunan Nabi Ya’qub tersebut dalam Al qur’an disebut dengan Al Asbath  (QS. Al Baqarah: 136 dan 140) yang terbagi dalam 12 suku (QS Al A’raf: 170) mengikuti jumlah anak nabi Ya’qub yang 12 orang. Nabi Ya’qub sendiri adalah putra dari Nabi Ishaq, Nabi Ishaq adalah putra dari Nabi Ibrahim dari istri pertamanya Sarah, Sedangkan dari Istri keduanya Hajar nabi Ibrahim memiliki putra yakni Isma’il yang umurnya jauh lebih tua daripada Ishaq, dari Ismail inilah diturunkan Nabi Muhammad. Dari fakta tersebut dapat dikatakan bahwa Nabi Ibrahim disebut Bapak para Nabi (Abul Anbiya’) yang kemudian beliau mendapat julukan “Bapak Orang beriman” dalam tiga tradisi yakni Yahudi, Nasrani dan Islam.[28]
b.      Ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang kesamaan ajaran yang dibawa oleh semua Rasul yakni mengajak menyembah Allah SWT, misalnya dalam QS Asy -Syura : 13 – 17
c.       Dalam Al Qur’an sangat dianjurkan untuk bersikap toleransi, berbuat baik dan berperilaku adil terhadap orang yang berbeda pendapat, termasuk beda agama jika mereka tidak memerangi umat Islam karena agama serta tidak mengusir umat Islam dari negaranya (QS. Al Mumtahanah: 8-9). Yusuf Qardlawi memberikan penafsiran bahwa ayat tersebut dapat menghilangkan pemahaman yang selama ini berkembang dikalangan umat Islam bahwa mereka tidak dianjurkan berbuat baik dan adil kepada orang yang berbeda agama.[29]
d.      Tatacara berinteraksi dengan ahli kitab, Allah menyeru Rasul-Nya dalam firman-Nya dalam QS. Asy Syura ayat 15 :  “… dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan Kamu. Bagi amal-amal kami dan amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)”.
e.       Hadits Nabi yang memberikan aturan tentang sikap umat Islam terhadap Israiliyyat yakni tidak didengarkan, tidak boleh diingkari atau didustakan dan jika disampaikan juga tidak berdosa.
f.       Banyak ayat yang menerangkan tentang perilaku menyimpang dari aqidah atau ketentuan yang telah Allah perintahkan melalui Rasul-Nya, misalnya tentang pengingkaran orang Yahudi dan Nasrani tentang ajaran yang dibawa oleh Rasul Allah dalam QS : Al Maidah : 12 – 19, pertentangan antara kaum Yahudi dan Nasrani tentang Nabi Isa QS. An Nisa’: 155-159 yang menurut Asy Saekh As’ad Bayudh Attamimi sebagai pemicu permusuhan yang turun temurun sepanjang zaman antara kaum Yahudi dan Nasrani.[30]
g.      Menurut Hasbullah Bakry Al Qur’an pada prinsipnya membenarkan kitab-kitab sebelumnya (Injil dan Taurat) yang asli yang diturunkan kepada Nabi Isa dan Musa akan tetapi kitab yang ada sekarang sebagian telah diselewengkan oleh sebagian pengikutnya sehingga tidak boleh menganggap semua isi Injil dan Taurat benar serta semua isi Injil dan Taurat salah[31].
h.      Muhammad A Khalafullah berpendapat bahwa Al Qur’an memberikan cerita secara mujmal karena sikap orang Yahudi dan Nasrani yang suka berbicara bohong sehingga Al Qur’an sesuai dengan apa yang mereka katakan, akan tetapi tujuan Al Qur’an diturunkan bukan sebagai “kitab sejarah” akan tetapi sejarah digunakan untuk menjelaskan syariat Allah kepada umat manusia, terutama umat Islam .[32]
i.        Adanya penemuan dari para ilmuwan saat ini yang dapat membuktikan beberapa cerita Israiliyyat[33] misalnya tentang bukti arkeologik tempat Bahtera Nabi Nuh A.s mendarat dan eksistensi Bangsa ‘Ad, Tsamud dan Kora Iram.
Dari berbagai dalil dan argumen diatas maka dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa menjadikan Israiliyyat sebagai salah satu sumber dalam penafsiran Al Qur’an dibolehkan asalkan tidak bertentangan dengan aqidah Islam, karena jangankan dari Yahudi dan Nasrani yang secara jelas berasal dari sumber yang sama yakni dari Allah SWT bahkan dari luar Islam-pun jika itu suatu kebenaran boleh diterima.
Terlepas dari adanya pro dan kontra yang terjadi dikalangan mufassirin tentang boleh dan tidaknya menggunakan cerita Israiliyyat sebagai salah satu dasar dalam menafsirkan Firman Allah akan tetapi dalam kenyataannya ada beberapa cerita Israiliyyat yang telah terbukti kebenarannya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua yang disampaikan oleh ahli kitab itu salah atau bertentangan dengan aqidah Islam sehingga benarlah apa yang disampaikan nabi “ Janganlah kamu sekalian membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya”, artinya ucapan ahli kitab perlu diteliti ulang untuk dibuktikan kebenarannya. Disinilah diperlukan pemikiran atau ijtihad yang mendalam disaat menerima sebuah ayat atau hadits sehingga tidak dapat begitu saja diterima akan tetapi diperlukan usaha untuk mengeksplor apa yang terdapat didalamnya dengan menggunakan segala kemampuan yang ada.
Sedangkan mengenai masuknya Israiliyyat kedalam dunia Islam dapat dilihat dari berbagai bidang, misalnya:
1.      Sudut Pandang Geografis Jazirah Arab secara garis besar dapat dibagi kedalam dua kelompok yakni bagian tengah dan bagian tepi. Bagian tengah (Nejed dan Al Ahqaf) Wilayahnya terdiri dari pegunungan tandus dan penduduknya hidup nomaden sedangkan di daerah tepi (Yaman, Hijaz, Oman, Hadramaut) tanahnya subur dan penduduknya hidupnya menetap. Dari dua daerah yang berbeda yang masing-masing mampu menghasilkan budaya, pengalaman serta pola pikir masyarakat yang berbeda, maka jika mereka bertemu mereka akan saling bertukar budaya atau bahkan melakukan perpaduan antar dua budaya tersebut termasuk tentang cerita-cerita yang mereka yakini kebenarannya.
2.      Sudut Pandang Sosiologis, Al Qur’an turun di Jazirah Arab yang didalamnya telah terdapat agama-agama terdahulu yakni Yahudi dan Nasrani meskipun berasal dari satu sumber yang sama yakni Allah SWT. Adanya interaksi antara masing-masing pemeluk agama-lah yang sebenarnya merupakan jembatan diantara mereka sehingga Israiliyyat bisa masuk pada para sahabat nabi yang apad akhirnya mempengaruhi mereka dalam menafsirkan Al Qur’an dan Hadits.
3.      Sudut Pandang Teologis, Dalam Al Qur’an Banyak ayat-ayat yang menceritakan tentang Yahudi dan Nasrani. Karena Al Qur’an sebagai pedoman umat Islam maka apapun yang disampaikan oleh Al Qur’an adalah suatu kebenaran yang mutlak dan wajib di-imani oleh setiap pemeluknya.
4.      Sudut Pandang Psikologis, Setiap orang pasti senang apabila ia mendapatkan sesuatu yang baru, misalnya sebuah cerita yang baru, dari manapun itu berasal. Hal inilah yang kemudian menimbulkan sebuah motivasi untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang mereka dengar. Sebagai contoh dalam Al qur’an dijelaskan tentang perahu Nabi Nuh, maka orang yang mendengarnya akan berusaha mencari tahu tentang hal itu, misalnya jenis kayu yang digunakan, berapa panjangnya, dan lain-lain. Untuk memenuhi kebutuhan rasa ingin tahu tersebut mereka bertanya kepada umat sebelumnya yakni Yahudi dan Nasrani.


I. KESIMPULAN
            Dari Pembahasan ini dapat diambil suatu kesimpulan, diantaranya:
1.      Israiliyyat adalah cerita yang dinisbahkan pada Yahudi dan Nasrani.
2.      Masuknya Israiliyyat dalam Tafsir dan Hadits melalui beberapa cara, diantaranya: adanya golongan ahli kitab yang bearada di Jazirah Arab, kontak antara masyarakat Arab dengan masyarakat luar Arab, pertukaran ilmu pengetahuan, Diskusi antara kaum muslimin dan kaum Yahudi.
3.      Masuknya Israiliyyat kedalam Tafsir dan Hadits dalam waktu yang sama dan berbarengan karena keduanya adalah satu kesatuan.
4.      Pembagian Israiliyyat didasarkan pada kualitas sanad ada Shahih dan Dlaif, kesesuaian Israiliyyat dengan syariat ada tiga macam yakni sesuai dengan syariat, bertentangan dengan syariat dan ada pula yang didiamkan oleh syariat Islam sedangkan dari sudut materi ada dua macam yakni ada yang sesuai dan ada yang bertentangan dengan syariat Islam.
5.      Dalil yang menerangkan tentang hukum meriwayatkan Israiliyyat ada tiga macam yakni dalil yang melarang, dalil yang membolehkan serta dalil yang memadukan antara dua pendapat tersebut.
6.      terlepas dari dua perbedaan pendapat baik yang membolehkan maupun yang melarang menggunakan Israiliyyat maka yang lebih arif adalah dengan memadukan keduanya yakni menerima Israiliyyat akan tetapi perlu kemudian diadakan penelitian serta usaha yang sungguh-sungguh untuk meneliti kebenarannya.
















DAFTAR PUSTAKA


A. Jenie, Umar, H. 2000. Makalah “Bukti Ilmiah Arkeologis Mendukung Narasi Riwayat Dalam Al Qur’an” . STAIN Malang.

Al Dzahabiy, Muhammad Husain. 1986. Al Israiliyyat fi Al Tafsir wa Al Hadits. Kaero. Dar Al Taufiq.

_______________. 1976. Al Tafsir Wa Al Mufassirun. Juz I Beirut: dar al Fikr.

Al Ja’far, Musa’id Muslim. 1980. Manahijul Mufassiriin. Mesir; Dar Al Ma’rifah. Cetakan I.

Al Qardlawiy, Yusuf. 2001. Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban (terj. Oleh Abad Badruzzaman). Tiara Wacana Yogya; Yogyakarta.

Al Qattan, Manna’ Khalil. 1973.  Mabahits Fi ‘Ulumil Qur’an. Mansyurat Al ‘Asr Al Hadits. Cetakan III

As Sadahan, Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdullah. 2005. Cerita-cerita Populer Tapi Palsu Tentang Nabi dan Rasul (Terj. Oleh Izzudin Al Karimi). eLBA; Surabaya..

Attamimi, Asy Saekh As’ad Bayudh. 1994. Impian Yahudi dan Kehancurannya menurut Islam. Terj. Salim Basyarahil. Gema Insani Press. Jakarta.

Bakry, Hasbullah. Isa Dalam Al Qur’an Muhammad dalam Bible. Tt.

Ibnu Katsir. Tafsir Qur’an al Adzim. Beirut; Maktabah Ilmiyah.

Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah. Shahih Al Bukhari. Beirut ;Darul Al Khatab al Ilmiyah.

Khalafullah, Muhammad A. 2002. Al Qur’an Bukan “Kitab Sejarah”: Seni, Sastra, dan Moralitas dalam kisah-kisah Al Qur’an. (Terj).Zuhairi Misrawi dan Anis Maftukhin.Paramadina; Jakarta.

Madjid, Nurcholish dalam George B Grose dan Benyamin Hubbard (Ed). 1998. Tiga Agama Satu Tuhan. (alih bahasa oleh Santi Indra Astuti). Mizan; Bandung. Cetakan II

Perpustakaan Nasional. 2003. Suplemen I Ensiklopedia Islam. PT Ichtiar Baru Van Hoeve; Jakarta.

Hawa, Sa’id. 1999. Al Asasu Fi Tafsiri. Mesir; Darussalam



[1] Al Qur’an Terjemah bahasa Indonesia Mushaf Madinah An Nabawiyah. Mukadimah. Hlm. 25
[2] Ibid
[3] Al Qur’an Terjemah bahasa Indonesia Mushaf Madinah An Nabawiyah. Op. Cit. hlm. 28-29
[4]   Muhammad Husin Al Dzahabiy. 1976. Al Tafsir Wa Al Mufassirun. Juz I Beirut: dar al Fikr. Hlm 166
    Lihat Muhammad Husain Al Dzahabiy. 1986. Al Israiliyyat fi Al Tafsir wa Al Hadits. Kaero. Dar Al Taufiq. Hlm. 13-14.
   Lihat Sa’id Hawa. 1999. Al Asasu Fi Tafsiri. Mesir; Darussalam. Hlm. 123 - 125

[5] Musa’id Muslim Al Ja’far. 1980. Manahijul Mufassiriin. Mesir; Dar Al Ma’rifah. Cetakan I. hlm 80
[6] Manna’ Khalil Al Qattan. 1973.  Mabahits Fi ‘Ulumil Qur’an. Mansyurat Al ‘Asr Al Hadits. Cetakan III hlm. 355
[7] Muhammad Husain Al Dzahabiy. Al Israiliyyat fi Al Tafsir wa Al Hadits.  Op. Cit hlm 15

[8] Muhammad Husain Al Dzahabiy. Al Israiliyyat fi Al Tafsir wa Al Hadits. Op. Cit hlm 16-18
[9]  Muhammad Husain Al Dzahabiy. Al Israiliyyat fi Al Tafsir wa Al Hadits. Op. Cit hlm 15

[10] Ibid
[11] Muhammad Husain Al Dzahabiy. 176. al Tafsir Wa al Mufassirun. Juz I Beirut: Dar Al Fikr. Hlm. 176-177
[12] Muhammad Husain Al Dzahabiy. Al Israiliyyat fi Al Tafsir wa Al Hadits . Loc. Cit hlm 29 - 34
[13] Ibid
[14]  Ibnu Katsir. Tafsir Qur’an al Adzim. Juz I  hlm. 253
[15] Ibnu Katsir. Tafsir Qur’an al Adzim.  Op. Cit Juz IV hlm 221
[16] Imam Bukhori. Shahih Bukhori, Fathul Bari. Juz 8 hlm 108
[17] Ibnu Katsir. Tafsir Qur’an al Adzim. Loc. Cit. Juz I  hlm. 253
[18] Ibnu Katsir. Tafsir Qur’an al Adzim.  Op. Cit. Juz IV hlm. 35
[19] Ibnu Katsir. Tafsir Qur’an al Adzim. Op. Cit. Juz I hlm. 71
[20] Ibnu Katsir. Tafsir Qur’an al Adzim. Op. Cit.  Juz I hlm. 109
[21] Ibnu Katsir. Tafsir Qur’an al Adzim. Op. Cit.  Juz IV hlm 62, mengenai cerita Israiliyyat tersebut terdapat dua pendapat yakni ada yang menganggap bahwa tawa Rasulullah adalah sebuah pembenaran akan tetapi ada yang berpendapat bahwa tawa Rasulullah merupakan ekspresi dari rasa kaget dan pengingkaran Rasulullah terhadap cerita tersebut. Pendapat yang pertama terdapat dalam Shahih Bukhari, jilid 8 hlm 289,  sedangkan pendapat kedua disampaikan oleh Imam Khattabi yang mendasarkan pendapatnya bahwa dalam Al Qur’an dan hadits tidak pernah menyebutkan tajsim dan tasbih secara pasti.
[22] Ibnu Katsir. Tafsir Qur’an al Adzim. Op. Cit.  Juz I hlm 382
[23] Ibnu Katsir. Tafsir Qur’an al Adzim. Op. Cit. Juz II hlm 444.
[24] Muhammad Husain Al Dzahabiy. Al Israiliyyat fi Al Tafsir wa Al Hadits. Loc. Cit.  Hlm. 41

[25] Maksud dari ayat “Jika kamu berada dalam keraguan” (فاء ن كنت في شك ) hanyalah pengandaian dan perkiraan saja, karena sesungguhnya Nabi Muhammad tidak pernah ragu terhadap apa yang difirmankan Allah kepadanya. Sebagaimana yang telah dikutip oleh Muhammad Husain Al Dzahabiy dalam kitabnya Al Israiliyyat fi Al Tafsir wa Al Hadits hlm. 43, Nabi pernah bersabda yang artinya “Aku tidak pernah ragu dan tidak pernah bertanya”. Atas dasar itu, maka ibarat yang digunakana adalah kata jika (إن) yang dalam kaidah bahasa Arab biasanya digunakan untuk sesuatu yang tidak terjadi atau bahkan digunakan untuk sesuatu yang mustahil terjadi baik menurut adat maupun menurut akal, misalnya dalam Firman Allah QS. Az Zukhruf : 81 (  قل ان كا ن للرّ حمن و لد فأ نا أ وّ ل العبد ين) artinya “Katakanlah, jika benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang mula-mula memuliakan (anak itu). Dapat juga dikatakan bahwa ayat tersebut mempunyai makna majasi atau makna kiasan dalam artian yang dalam ayat tersebut yang mendapat perintah adalah Nabi Muhammada akan tetapi sebenarnya adalah umatnya, dalam artian barangsiapa yang ragu-ragu tentang Al Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada manusia, maka hendaknya orang-orang itu bertanya kepada Ulama’ Ahli Kitab yang terdahulu, sebab dalam kitab mereka terdapat bukti nyata yang membenarkan Qur’an yang diturunkan kepada manusia.
[26] Muhammad Husain Al Dzahabiy. Al Israiliyyat fi Al Tafsir wa Al Hadits.  Op. Cit hlm 43-44
[27] Perpustakaan Nasional. 2003. Suplemen I Ensiklopedia Islam. PT Ichtiar Baru Van Hoeve; Jakarta. Hlm 251. lihat Nurcholish Madjid dalam George B Grose dan Benyamin Hubbard (Ed). 1998. Tiga Agama Satu Tuhan. (alih bahasa oleh Santi Indra Astuti). Mizan; Bandung. Cetakan II hlm xv. Lihat Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdullah As Sadahan . 2005. Cerita-cerita Populer Tapi Palsu Tentang Nabi dan Rasul (Terj. Oleh Izzudin Al Karimi). eLBA; Surabaya. Hlm 26-29.
[28] Nurcholish Madjid dalam George B Grose dan Benyamin Hubbard (Ed). 1998. Tiga Agama Satu Tuhan. (alih bahasa oleh Santi Indra Astuti). Mizan; Bandung. Cetakan II hlm xvi
[29] Yusuf Qardlawiy. 2001. Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban (terj. Oleh Abad Badruzzaman). Tiara Wacana Yogya; Yogyakarta. Hlm 429
[30] Asy Saekh As’ad Bayudh Attamimi. 1994. Impian Yahudi dan Kehancurannya menurut Islam. Terj. Salim Basyarahil. Gema Insani Press. Jakarta. Hlm. 51
[31] Hasbullah Bakry. Isa Dalam Al Qur’an Muhammad dalam Bible. Tt. Hlm. 33
[32] Muhammad A. Khalafullah. 2002. Al Qur’an Bukan “Kitab Sejarah”: Seni, Sastra, dan Moralitas dalam kisah-kisah Al Qur’an. (Terj).Zuhairi Misrawi dan Anis Maftukhin.Paramadina; Jakarta. Hlm. 6-9
[33] H. Umar A. Jenie. 2000. Makalah “Bukti Ilmiah Arkeologis Mendukung Narasi Riwayat Dalam Al Qur’an” . STAIN Malang. Hlm. 1 – 7 (Makalah ini disampaikan pada kuliah tamu di STAIN Malang tanggal 9 September 2000.

My Family

My Family
Kunjungan Dosen Native Speaker dari Sudan

My Duty

My Duty
Pelatihan Model Pembelajaran