Salam Ta'aruf

Allah telah membuktikan firmannya :
"Qul Hal Yastawilladzina Ya'lamuna wal Ladzina la Ya'lamuun"....
ayat tersebut merupakan anjuran kepada manusia agar supaya kita menjadikan ILMU sebagai sesuatu yang paling berharga dan tameng dalam hidupnya.
dengan Ilmu manusia bisa menggapai segala-galanya, dengan ilmu manusia bisa meraih apa yang dicita-citakannya, dengan ilmu manusia mampu menerobos angkasa, dan masih banyak lagi.
Allah menjamin dengan Jaminan yang Pasti, bahwanya terdapat perbedaan yang sangat besar antara orang yang berilmu dan tidak berilmu, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. begitu juga dalam menghadapi dan menyelesaikan sebuah permasalahan. orang berilmu menggunakan ilmu sebagai paradigma atau "pisau analisnya" melalui akal yang diberikanNya, sedangkan orang yang tidak berilmu mengambil cara pintas, dengan tanpa menganilasa sebab dan akibat yang akan ditimbulkannya.
Subhanallah, ternyata mahligai Ilmu dapat diraih dengan tafakkur, tadabbur, sehingga membawa manusia kepada kebahagian lahir dan batin yang menjadi idaman setiap manusia yang hidup di muka bumi ini.
Ingin bahagia lahir batin, dan dunia akhirat... dapatkan...carilah Ilmu....
Ingat.... Ilmu Allah sangat luas

Kajian Tafsir Al-Misbah


KAJIAN TENTANG KITAB TAFSIR AL-MISBAH

 

 

A.      Pendahuluan

Quraish Shihab merupakan salah seorang penulis yang produktif yang menulis berbagai karya ilmiah baik yang berupa artikel dalam majalah maupun yang berbentuk buku yang diterbitkan. Quraish Shihab juga menulis berbagai wilayah kajian yang menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Salah satu karya yang fenomenal dari Quraish Shihab adalah tafsir al-Misbah.

Pengambilan nama Al-Misbah pada kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab tentu saja bukan tanpa alasan. Bila dilihat dari kata pengantarnya ditemukan penjelasan yaitu al-Misbah berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu memberi penerangan bagi mereka yang berda dalam kegelapan. Dengan memilih nama ini, dapat diduga bahwa Quraish Shihab berharap tafsir yang ditulisnya dapat memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an secara lansung karena kendala bahasa. Disamping itu, beliau juga berharap agara karyanya dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup. Al-Qur’an itu adalah petunjuk, tapi karena al-Qur’an disampaikan dengan bahasa Arab, sehingga banyak orang yang kesulitan memahaminya. Disinilah manfaat tafsir Al-Misbah diharapkan, yaitu dapat membantu mereka yang kesulitan memahami wahyu ilahi tersebut.

Mengingat pentingnya metode dalam menafsirkan al-Qur'an, seperti yang telah dilakukan oleh Quraish Shihab dengan Tafsir al-Misbahnya, maka dalam makalah ini, penulis akan menghadirkan pemikiran tentang studi kritis terhadap hasil ijtihad Quraish Shihab yang dituanggkan dalam Tafsir al-Misbah, yang disertai dengan metodologi penafsirannya dan telaah tentang kelebihan dan kekurangan dari Tafsir Al-Misbah buah karya Quraish Shihab.



B.       Biografi Mufassir

Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan[1]. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang.

Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil "nyantri" di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul Al-I 'jaz Al-Tasyri'iy li Al-Qur an Al-Karim.

Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" (1975) dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).

Untuk mewujudkan cita-citanya, ia mendalami studi tafsir, pada 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur'an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm ad-Durar li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian terhadap Kitab Nazm ad-Durar [Rangkaian Mutiara] karya al-Biqa’i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cum laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa).

Pendidikan Tingginya yang kebanyakan ditempuh di Timur Tengah, Al-Azhar, Cairo ini, oleh Howard M. Federspiel dianggap sebagai seorang yang unik bagi Indonesia pada saat di mana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di Barat. Mengenai hal ini ia mengatakan sebagai berikut:

Quraish Shihab terdidik di pesantren, dan menerima pendidikan ting­ginya di Mesir pada Universitas Al-Azhar, di mana ia mene­rima gelar M.A dan Ph.D-nya. Ini menjadikan ia terdidik lebih baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Popular Indonesian Literature of the Quran dan, lebih dari itu, tingkat pendidikan tingginya di Timur Tengah seperti itu menjadikan ia unik bagi Indonesia pada saat di mana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di Barat. Dia juga mempunyai karier mengajar yang penting di IAIN Ujung Pandang dan Jakarta dan kini, bahkan, ia menjabat sebagai rektor di IAIN Jakarta. Ini merupakan karier yang sangat menonjol[2].

Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.

Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih Al-Qur'an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur 'an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.

Di samping kegiatan tersebut di atas, H.M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan yang kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional, dan kecenderungan pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai penceramah dan penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Kegiatan ceramah ini ia lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin dan Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di.bulan Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya.

C.      Karya Quraish Shihab

Quraish Shihab adalah sosok pemikir dan mufassir yang sangat handal. Disamping sebagai seorang pemikir dan mufassir yang handal, beliau juga diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di beberapa lembaga pendidikan dan organisasi social keagamaan. Diantaranya, berliau ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional; antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Di sela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.

Yang tidak kalah pentingnya, Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu dia menulis dalam rubrik "Pelita Hati." Dia juga mengasuh rubrik "Tafsir Al-Amanah" dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Selain kontribusinya untuk berbagai buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah, hingga kini sudah tiga bukunya diterbitkan, yaitu Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); dan Mahhota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988).

Beberapa buku yang telah ditulisnya adalah ;

o    Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984)
o    Filsafat Hukum Islam (Jakarta:Departemen Agama, 1987)
o    Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta:Untagma, 1988)
o    1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui
o    Membumikan Al Qur’an (Bandung:Mizan, 1992)
o    Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Republika, 2007)
o    Al Qur’an : Kisah dan Hikmah Kehidupan (Republish, 2007)
o    Mukjizat Al Qur’an : Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Aspek Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Republish, 2007)
o    Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Quran (Republika, 2007)
o    Wawasan Al Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Republish, 2007)
o    Tafsir Al-Mishbah, tafsir Al-Qur’an lengkap 30 Juz (Jakarta: Lentera Hati)



D.      Telaah Kritis Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab

1.      Metode Tafsir Al-Misbah

Al-Quran adalah panduan abadi yang Allah berikan untuk seluruh umat manusia. Bukan hanya petunjuk bagi umat Islam, al-Quran juga (sejatinya) aturan kehidupan bagi umat-umat lainnya. Sebagai kitab rujukan utama umat Islam, memahami al-Quran adalah sebuah keharusan. Hal ini penting, mengingat pemahaman adalah pondasi dari sebuah perbuatan. Pemahaman yang benar akan melahirkan amalan yang benar, begitu juga sebaliknya, pemahaman yang salah akan berakibat fatal pada ajaran-ajaran agama, yang kemudian berimplikasi pada amalan yang salah.

 Namun untuk memahami al-Quran bukanlah hal yang mudah. Bahasa Arab yang menjadi bahasa Kitab ini diakui sebagai bahasa yang sangat kompleks, luas, dan rumit. Dalam bahasa Arab terdapat majâz, îjâz, ithnâb, kinâyah, isti'ârah dan lain sebagaianya yang membutuhkan ketelitian tingkat tinggi untuk memahami makna aslinya. Tak salah kalau kemudian Ibnu Qutaibah mengatakan, "Tidak ada suatu bangsa di dunia ini yang diberikan oleh Allah kekayaan bahasa seperti yang diberikan oleh bangsa Arab."

Kompleksitas dan keistimewaan bahasa Arab inilah yang menjadi ‘kendala’ utama dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Bukan hanya bagi orang non-Arab, tetapi termasuk orang Arab sendiri juga banyak yang kesulitan dalam memahami al-Quran. Jangankan kita, para sahabat dan salafus shalif saja telah mengakui hal ini. Khalifah Abu Bakar as-Siddiq harus ‘angkat tangan’ ketika ditanya makna lafal (أبا) dalam surat Abasa: 31, Ibnu Abbâs --sang turjumânul Quran-- baru mengetahui makna (فاطر) setelah mendengar dua orang badui saling bertengkar memperebutkan sumur, dan Sa'id bin Musayyib sampai mengatakan, "Saya tidak akan berbicara apapun tentang al-Quran," ketika ditanya makna sebuah ayat al-Quran.

Melihat kendala seperti ini, para ulama kemudian merumuskan sebuah metode (baca: disiplin ilmu) yang bertujuan untuk memudahkan para pelajar dan pemerhati al-Quran dalam memahami setiap jengkal ayat al-Qur’an. Ilmu itulah yang kemudian disebut dengan ilmu tafsir dan ulumul Qur’an. Tafsir, yang menjadi pintu untuk memahami al-Qur’an ini pun secara otomatis menjadi sangat penting. Pentingnya ilmu ini tercermin dari kegigihan para ulama dahulu sampai sekarang dalam mencurahkan segenap perhatiannya pada ilmu ini. Ratusan, bahkan ribuan buku tafsir telah lahir. Mulai dari tafsir Jami’ al-Bayan karya Imam at-Thabari yang lahir pada abad ke-3 sampai tafsir al-Wasith milik Syeikh Tantawi yang muncul pada abad 21 ini; mulai dari tafsir al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’an karya al-Quthuby yang ditulis di Spanyol sana, hingga tafsir al-Misbah-nya Qurays Shihab yang ada di ujung tenggara Asia.

 Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar al-Qur'an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan al-Qur'an dalam konteks masa kini dan masa modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar al-Qur'an lainnya. Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.

Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan al-Qur'an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur'an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan al-Qur'an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur'an. Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar bila seseorang mamaksakan pendapatnya atas nama al-Qur'an[3].Quraish Shihab adalah seorang ahli tafsir yang pendidik. Keahliannya dalam bidang tafsir tersebut untuk diabdikan dalam bidang pendidikan.

Akhir-akhir ini, kebutuhan akan tafsir-tafsir baru dianggap semakin penting karena problematika kehidupan yang semakin beragam, sedangkan nash-nash wahyu sudah lama terhenti. Ditambah lagi tafsir-tafsir klasik juga memiliki beberapa kekurangan. Di antara kekurangan itu menurut Quraish Shihab ada tiga macam.

Pertama, tafsir klasik banyak memiliki kecondongan-kecondongan tertentu, baik kecondongan teologis, madzhab, atau aliran bahasa. Hal ini membuat para mufassir terkadang dirasakan “memaksakan pemahaman terhadap al-Quran” agar sesuai dengan kecondongan mereka. Kedua, tafsir klasik banyak yang menggunakan metode penafsiran secara tahlili (menafsirkan seluruh ayat sesuai dengan urutan mushaf). Bentuk demikian menjadikan petunjuk-petunjuk al-Quran terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada pembacanya secara menyeluruh.

Ketiga, tafsir klasik dinggap semakin ‘tidak laku’ karena pembahasan yang dikemukakan kurang “up to date”, sehingga ada yang mengatakan bahwa al-Quran telah usang dan tidak mampu menjawab tantangan zaman. Hal ini wajar karena dunia kita memang bukan mereka. Perputaran roda kehidupan membuat problematika kehidupan yang kita alami semakin kompleks dan beragam, yang tentunya berbeda dengan zaman mereka.

Bertolak dari problematika inilah, para ahli keislaman kontemporer lalu mencoba untuk menggagas sebuah terobosan baru dalam keilmuan Islam, terutama metode penafsiran terhadap al-Quran. Bagi mereka al-Quran –dengan sifat keuniversalannya-- harus mampu menjawab tantangan zaman. Mereka kemudian mencoba untuk mengarahkan pandangan mereka kepada problem-problem baru dan berusaha untuk memberikan jawaban-jawaban melalui petunjuk-petunjuk Al-Quran, sambil memperhatikan hasil-hasil pemikiran atau penemuan manusia yang mutakhir.

Dari terobosan itu maka bermunculanlah karya-karya ilmiah yang berbicara tentang satu topik tertentu menurut pandangan Al-Quran, misalnya Al-Insan fi Al-Quran, dan Al-Mar'ah fi Al-Quran karya Abbas Mahmud Al-Aqqâd, atau Al-Riba fi Al-Quran karya Al-Maudûdi, Kafalatul Yatim fil Quran karya Abdul Hay al-Farmawi dan sebagainya.

Metode pembahasan seperti ini kemudian mengalami perkembangan di tangan para ahli tafsir. Mereka mencoba untuk menghimpun setiap ayat dalam al-Qur’an yang berbicara tentang satu topik tertentu, lalu dikaitkan antara satu dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut dan solusinya menurut pandangan Al-Quran. Metode inilah yang saat ini dikenal dengan nama ‘Tafsir Maudhu’i” atau Tafsir Tematik.

2.      Keistimewaan dan Kelemahan Tafsir Al-Misbah

Tafsir al-Misbah adalah karya Quraish Shihab, seorang Doktor Tafsir lulusan Al-Azhar, Mesir. Tafsir ini mulai ditulis pada tanggal 04 Rabi’ul Awwal tahun 1420 H. bertepatan dengan tanggal 18 Juni tahun 1999. Maka dibanding tiga tafsir sebelumnya, al-Misbah adalah tafsir terkini. Saat itu Quraish sedang bermukim di Mesir sebagai Duta Besar Indonesia untuk Mesir, Somalia dan Jibuti.

Tafsir al-Misbâh terdiri dari 15 volume, setiap volumenya terdiri dari beberapa surat. Dalam pengantar tafsirnya, Quraish menjelakan mengenai makna dan pentingnya tafsir bagi seorang Muslim. Ia juga menjelaskan bahwa tafsir yang ia tulis tidak sepenunya hasil ijtihad dirinya. Akan tetapi merupakan saduran dari beberapa tafsir terdahulu, seperti tafsir Thanthawi, tafsir Mutawali’ Sya’rawi, tafsir fî dzilâlil qur`an, tafsir Ibnu ’Asyur, dan tafsir Thabathaba’i. Namun menurut Quraish, tafsir yang paling berpengaruh dan banyak dirujuk dalam al-Misbah adalah tafsir Ibrahim Ibn ’Umar al-Biqâ’i, seorang mufasir asal Lebanon yang meninggal pada tahun 1480 M. Tafsir inilah yang menjadi bahan disertasinya ketika ia menyelesaikan Doktornya di al-Azhar.

Dalam menulis tafsirnya, Quraish memberikan pengantar terlebih dahulu pada setiap awal surat yang berisi tujuan dan tema pokok surat tersebut. Karena menurutnya jika seseorang sudah mampu memahami tema pokok sebuah surat, maka secara umum ia dapat memahami pesan utama setiap surat.

Kemudian ia membagi surat kepada beberapa kelompok ayat. Al-Fatihah umpamanya ia bagi menjadi dua kelompok ayat, kelompok pertama ayat 1-4 sedangkan kelompok kedua ayat 5-7, pembagian ayat itu didasarkan kepada adanya keterkaitan antar ayat.

Tafsir al-Misbah memiliki kelebihan dibandingkan dengan kitab tafsir yang lainnya. Disamping penafsirannya yang konstekstual dan bersifat antroposentrisme, juga didasarkan pada pendekatan sosiologis-antrpologis yang memberikan kemudahan kepada pembacanya untuk memahami makna yang tersirat di dalam al-Qur'an. Disamping itu, keistimewaan tafsir ini adalah tat kala Quraish Shihab menerjemahkan dan menyampaikan pesan-pesan Al Quran dalam konteks kekinian dan masa post modern yang sangat sederhana dan mudah dimengerti.

Selain berusaha untuk ‘membumikan al-Quran’ metode 'tafsir baru' ini juga dianggap memiliki banyak keistimewaan lain. Dengan tafsir tematik, pembahasan al-Qur’an mengenai suatu topik akan semakin mendalam, sehingga mampu memberi jawaban yang memuaskan bagi siapa saja yang mencari solusi dari al-Qur'an. Di lain sisi kita juga bisa menangkal anggapan yang mengatakan bahwa al-Quran telah usang, tidak bisa menjawab perkembangan zaman. Dengan tafsir tematik inilah kita bisa membuktikan bahwa al-Quran adalah kitab segala zaman. Bukan hanya berbicara secara teoritis, al-Quran juga menjawab secara praktis dan aplikatif.

Ditengah semakin bertambahnya proplematika kehidupan, aktifitas manusia juga semakin padat. Padatnya rutinitas keseharian membuat manusia merasa waktu yang dimilikinya semakin sempit. Tak salah kalau kemudian manusia sekarang lebih menggandrungi hal-hal yang instan dan praktis. Saya yakin sudah semakin jarang orang yang sempat membuka buku-buku tafsir tahlili yang berjilid-jilid hanya untuk sekedar membaca atau mencari jawaban suatu permasalahan tertentu. Di sinilah metode tafsir tematik bisa menjadi solusi dan alternatif jitu.

Tafsir tematik ibarat sebuah hidangan prasmanan yang sudah dikotak-kotakkan sesuai dengan selera tamu. Berbeda dengan tafsri tahlili yang ‘memaksa’ para tamu untuk meracik hidangan sendiri, tafsir tematik telah menyajikan berbagai macam menu bagi para pengunjung sehingga mereka tinggal memilih sesuai selera dan kebutuhan. Praktis, mendalam dan solutif, itulah tafsir tematik.

Disamping keistimewaan dalam tafsir al-Misbah ini, terdapat pula kelemahan yang tidak bisa dilepaskan dalam system penafsirannya, yaitu terkait dengan “hegemoni penafsir” sendiri. Dalam tafsir dengan metode ini, dimana uraian dan pembahasan tafsir hanya dilakukan dengan cara yang singkat dan global, sehingga tidak membuka ruang yang lebar untuk memasukkan ide-ide dari pihak lain, sehingga melahirkan paradigma hegemoni penafsiran yang berlebihan. Walaupun memang dalam setiap penafsiran setiap mufasir memiliki hal subyektif dalam memahami al-Qur’an.

 

3.      Telaah Kritis Tafsir al-Misbah tentang Muka Masamnya Nabi

Berbicara tentang al-Qur’an adalah bak berbicara tentang samudera luas yang tak terbatas. Sesuai dengan kemampuannya, setiap orang pun mampu menyerap makna al-Qur’an sehingga dahaga spiritualnya terpuaskan. Tentu semakin tinggi ilmu seseorang maka semakin tinggi pula daya serapnya. Sosok Rasulullah saw dan Ahlul Baitnya adalah penafsir sempurna yang mengetahui secara tepat dan mendalam seluruh makna al-Qur’an, karena mereka adalah ar Rasikhuna fi al-`Ilm (orang-orang yang mendalam ilmunya). Maka, tak ada seorangpun selain mereka yang mengklaim bahwa buku tafsirnya sudah final alias sempurna, tak terkecualikan dalam hal ini Tafsir al-Misbah, karya besar Ustad M. Quraish Shihab.

Saya menyebutnya sebagai karya besar karena karya tafsir dalam bahasa Indonesia sedalam dan setebal ini sangat langka bisa kita temukan di tanah air, atau malah mungkin tidak ada sama sekali. Bagi saya, karya ini merupakan sumbangan besar dalam kepustakaan al-Qur’an di Indonesia. Hanya saja, “kebesaran tafsir ini” bukan berarti ia steril dari kesalahan dan kekurangan. Seperti yang dikatakan oleh penulisnya sendiri bahwa peminat studi al-Qur’an kiranya dapat menyempurnakannya. Karena betapapun, ini adalah karya manusia yang dha`if yang memiliki aneka kekurangan, demikian penegasan Ustad Quraish yang sangat tawadu`.

Berangkat dari situ, saya mencoba menelaah dan memberi catatan atas beberapa tema penting dalam tafsir tersebut. Pada tulisan kali ini, saya memulai dengan membahas perihal “Muka Masamnya Nabi saw”. Menurut hemat saya, masalah ini merupakan masalah yang penting yang layak untuk kita diskusikan guna mencari titik temu atau titik terang yang lebih menjanjikan. Dan pada kajian berikutnya—yakni tulisan selanjutnya yang sedang saya persiapkan secara berkala—akan menyinggung tema-tema penting lainnya.

Selanjutnya, marilah kita masuki pokok kajian ayat pertama dan kedua surah Abasa.

Allah swt berfirman: Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang kepadanya seorang tunanetra (QS. Abasa: 1-2)

Sebelum memberikan pandangannya terhadap ayat tersebut, Ustad M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah terlebih dahulu menyampaikan pendapat Allamah Thabathaba’i berikut ini: Thabathaba’i tidak menerima riwayat yang menyatakan bahwa ayat-ayat di atas turun sebagai teguran kepada nabi Muhammad saw. Menurut ulama itu redaksi ayat itu tidak secara jelas menyatakan bahwa teguran ditujukan kepada nabi Muhammad saw. Ia hanya mengandung informasi tanpa menjelaskan pelakunya. Bahkan—menurutnya—terdapat petunjuk bahwa yang dimaksud bukan nabi Muhammad saw, karena bermuka masam bukanlah sifat beliau terhadap lawan yang jelas-jelas berseberangan dengan beliau, apalagi terhadap kaum beriman. Lalu penyifatannya bahwa beliau memberi pelayanan kepada orang-orang kaya dan mengabaikan orang-orang miskin, tidaklah serupa dengan sifat nabi saw dan tidak juga dengan al-Murtadha (Sayidina Ali ra). Allah swt telah mengagungkan sifat nabi Muhammad saw ketika Yang Maha Kuasa itu berfirman dalam surah Nun yang turun sebelum turunnya surah ini bahwa:

“Dan sesungguhnya engkau berada di atas budi pekerti yang agung.” (QS. Nun: [68]: 4) Maka bagaimana mungkin Allah mengagungkan budi pekerti beliau secara mutlak pada masa awal kenabian beliau, lalu Dia mengecam beliau atas beberapa sikap dan mencelanya karena melayani orang-orang kaya—lagi meminta petunjuk. Di sisi lain—lanjut Thabathaba’i. Allah juga telah berpesan bahwa:

Ayat-ayat tersebut (ayat pertama dan kedua—pen.) tidak mempunyai indikator kuat (dzahiratu dalalah) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Nabi saw. Itu hanya sekedar berita tanpa menjelaskan dengan tegas siapa yang menjadi pusat berita. Bahkan pada hakikatnya ayat itu menunjukkan bahwa yang dimaksud selain Nabi saw. Sebab, muka masam (al-`abus) bukan sifat Nabi saw terhadap musuh-musuhnya yang keras, apalagi terhadap orang-orang mukmin yang mendapatkan hidayah (petunjuk).

Allah swt telah mengagungkan akhlak Nabi saw ketika Dia berfirman—sebelum turunnya surah ini (surah Abasa): “Dan sungguh padamu (Muhammad) terdapat budi pekerti yang agung.” Ayat ini terdapat dalam surah Nun dimana banyak riwayat-riwayat yang menjelaskan urutan surah menyepakati bahwa surah ini diturunkan setelah surah ‘Iqra bismi Rabbik (al-`Alaq). Lalu, bagaimana dapat diterima oleh akal: di satu sisi Allah swt mengagungkan akhlaknya di saat permulaan pengutusannya dan Allah menyatakannya secara mutlak lalu setelah itu di sisi lain Dia justru mencelanya atas sebagian perilaku dan akhlaknya yang tercela di mana dinyatakan bahwa beliau lebih memperhatikan orang-orang kaya meskipun mereka kafir dan berpaling dari kaum fakir miskin meskipun mereka beriman dan memperoleh hidayah.

Setelah memaparkan pendapat Allamah Thabathaba’i tersebut, ustad M. Quraish Shihab memberikan tanggapan dan kritikan atas keterangan Allamah sebagai berikut:

Agaknya ketika itu beliau sadar bahwa menangguhkan urusan sahabat (Abdullah Ibn Ummi Maktum) dapat dimengerti oleh sang sahabat dan dapat diberi kesempatan lain, sedang mendapat kesempatan untuk memperdengarkan dengan tenang kepada tokoh-tokoh musyrik itu tidak mudah. Di sisi lain, kata “talahha” bukanlah berarti mengabaikan dalam pengertian menghina dan melecehkan, karena seperti penulis kemukakan di atas ia digunakan juga untuk mengerjakan sesuatu yang penting dengan mengabaikan sesuatu lain yang juga penting.

Apa yang dilakukan Nabi saw dengan hanya bermuka masam, tidak menegur dengan kata-kata apalagi mengusirnya adalah satu sikap yang sangat terpuji—dalam ukuran tokoh-tokoh masyarakat dewasa ini dan kala itu. Jangankan mengganggu pertemuan orang penting, mendekat saja ke ruangnya bisa-bisa mengakibatkan penangkapan atau paling tidak hardikan. Nabi saw sama sekali tidak melakukan hal itu. Bahkan muka masamnya pun tidak terlihat oleh Abdullah Ibn Ummi Maktum. Anda boleh bertanya: Jika demikian, mengapa beliau ditegur? Jawabannya karena beliau adalah manusia teragung, sehingga sikap yang menimbulkan kesan yang negatif pun tidak dikehendaki Allah untuk beliau perankan. Memang seperti bunyi rumus: Hasanat al-Abrar Sayyi’at al-Muqarrabin (apa yang dinilai kebajikannya orang-orang yang amat berbakti, masih dinilai keburukan oleh orang-orang yang didekatkan Allah kepada-Nya). Nabi Muhammad saw adalah makhluk yang paling didekatkan Allah ke sisi-Nya, karena itu beliau ditegur.

Dalam pandangan mata lahiriah, kesemuanya tidak dapat dibenarkan, tetapi dalam pandangan Allah dan hakikat sebenarnya justru itulah yang terbaik. Dalam kasus nabi Muhammad saw ini, Allah mengajarkan beliau bahwa kalaulah kelihatannya berdasarkan indikator-indikator yang nyata bahwa tokoh kaum musyrikin yang dilayani nabi Muhammad saw itu diharapkan memeluk agama Islam, maka pada hakikatnya tidaklah demikian.

Catatan dan Telaah atas Pendapat Ustad M. Quraish Shihab :

a)        Metedologi tafsir yang diyakini oleh Allamah adalah tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an. Artinya, beliau meyakini bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu satu sama lain saling menafsirkan, saling menjelaskan dan saling menguatkan. Menurut Allamah, al-Qur’an itu pelita dan penjelas buat segala sesuatu maka mana mungkin ia tidak menjadi penjelas untuk dirinya sendiri!

b)        Bila Ustad M. Quraish Shihab menyatakan bahwa yang bermuka masam itu memang nabi saw maka itu berarti beliau membenarkan riwayat Asbab Nuzul yang mengisahkan hal itu, padahal sanad perawinya bermasalah/lemah (dha`if). Redaksi riwayat itu sebagai berikut:

Dalam tafsir al-Misbah, Ustad M. Quraish Shihab mengemukakan pendapat al-Wahidi yang meriwayatkan–tanpa menyebut sanad (rangkaian perawinya) bahwa setelah peristiwa ini, bila Abdullah Ibn Ummi Maktum ra datang, menyambutnya dengan ucapan: “Marhaban (selamat datang) wahai siapa yang aku ditegur—karena ia—oleh Tuhanku.”

Di sini saya akan menyampaikan analisa dan kritikan terhadap kebenaran riwayat bermuka masamnya nabi saw tersebut. Kritikan ini saya sarikan dan nukil dari buku “Nabi Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam”, karya guru saya yang terhormat al-Marhum Ustad Husein bin Abu Bakar al-Habsyi. Analisa dan kritikan terhadap kebenaran riwayat bermuka masamnya nabi saw yang saya maksud adalah:

a.         Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkannya, sehingga hadis ini tidak muttafaqun alaih (yang disepakati oleh keseluruhan).

b.        Sebab turunnya ayat tersebut simpang siur, yakni:

§   Delegasi Bani Asad datang menjumpai Rasul saw dan tidak ada hubungannya dengan Ibnu Ummi Maktum.

§   Sebab turunnya, al-A`la bin Yazid al-Hadhrami ditanya oleh Rasulullah saw, ‘Apakah ia dapat membaca al-Quran?’ Kemudian ia menjawab, ‘Ya, dan membaca surah Abasa.’

§   Sebab turunnya karena datangnya Abdullah bin Ummi Maktum kepada Rasulullah saw. Dalam hadis tersebut terdapat para perawi sebagai berikut:

1)        Yahya bin Sai`d.

2)        Urwah bin Zubair (ayah Hisyam).

3)        Hisyam bin Urwah.

4)        Ummul Mukminin Aisyah.




E.       Kesimpulan

 

·         Quraish Shihab adalah sosok pemikir dan mufassir yang sangat handal. Disamping sebagai seorang pemikir dan mufassir yang handal, beliau juga diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di beberapa lembaga pendidikan dan organisasi social keagamaan.
·         Quraish Syihab cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.
·         Tafsir al-Misbah memiliki kelebihan dibandingkan dengan kitab tafsir yang lainnya. Disamping penafsirannya yang konstekstual dan bersifat antroposentrisme, juga didasarkan pada pendekatan sosiologis-antrpologis yang memberikan kemudahan kepada pembacanya untuk memahami makna yang tersirat di dalam al-Qur'an.
·         Tafsir Al- Misbah memiliki kelemahan, yaitu terkait dengan “hegemoni penafsir” sendiri. Dalam tafsir dengan metode ini, dimana uraian dan pembahasan tafsir hanya dilakukan dengan cara yang singkat dan global, sehingga tidak membuka ruang yang lebar untuk memasukkan ide-ide dari pihak lain, sehingga melahirkan paradigma hegemoni penafsiran yang berlebihan.


DAFTAR BACAAN

M. Quraish Shihab, 1992, Membumikan al-Qur’an, Bandung, Mizan.
Howard M. Federspiel, 1996, Kajian al-Qura’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, Bandung, Mizan.
Dewan Redaksi, 1994, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Manna' Kholil al-Qattan, 2004, Studi-studi Ilmu al-Qur'an, Bogor, Lintera Antar Nusa.
Muhammad bin Abu Syahbah, al-Mudhol Li Dirosatil Qur'anil Kariim, Bairut, Darul Jail.
Ramli Abdul Wahid, 1993, Ulumul Qur'an, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Said Aqil Husin al-Munawar, 2004, al-Qur'an Membangun Kesalehan Hakiki, Jakarta, Ciputat Press.
Syahiron Syamsuddin, 2003, Hermeneutika al-Qur'an : Madzhab Yogya, Yogyakarta., Islamika
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, 2002, Ilmu-ilmu al-Qur'an : Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan al-Qur'an, Semarang, Pustaka Rizki Putra.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, 2000, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Semarang, Pustaka Rizki Putra.



[1] M. Quraish Shihab, 1992, Membumikan al-Qur’an, Bandung, Mizan, hlm : 6.
[2] Howard M. Federspiel, 1996, Kajian al-Qura’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, Bandung, Mizan, hlm : 295-299.
[3] Dewan Redaksi, 1994, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm : 110-112.

My Family

My Family
Kunjungan Dosen Native Speaker dari Sudan

My Duty

My Duty
Pelatihan Model Pembelajaran