Salam Ta'aruf

Allah telah membuktikan firmannya :
"Qul Hal Yastawilladzina Ya'lamuna wal Ladzina la Ya'lamuun"....
ayat tersebut merupakan anjuran kepada manusia agar supaya kita menjadikan ILMU sebagai sesuatu yang paling berharga dan tameng dalam hidupnya.
dengan Ilmu manusia bisa menggapai segala-galanya, dengan ilmu manusia bisa meraih apa yang dicita-citakannya, dengan ilmu manusia mampu menerobos angkasa, dan masih banyak lagi.
Allah menjamin dengan Jaminan yang Pasti, bahwanya terdapat perbedaan yang sangat besar antara orang yang berilmu dan tidak berilmu, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. begitu juga dalam menghadapi dan menyelesaikan sebuah permasalahan. orang berilmu menggunakan ilmu sebagai paradigma atau "pisau analisnya" melalui akal yang diberikanNya, sedangkan orang yang tidak berilmu mengambil cara pintas, dengan tanpa menganilasa sebab dan akibat yang akan ditimbulkannya.
Subhanallah, ternyata mahligai Ilmu dapat diraih dengan tafakkur, tadabbur, sehingga membawa manusia kepada kebahagian lahir dan batin yang menjadi idaman setiap manusia yang hidup di muka bumi ini.
Ingin bahagia lahir batin, dan dunia akhirat... dapatkan...carilah Ilmu....
Ingat.... Ilmu Allah sangat luas

Desentralisasi Pendidikan


ANALISIS KEBIJAKAN TENTANG DESENTRALISASI PENDIDIKAN
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGEMBANGAN
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : H. Hasan Baharun, M. Pd
A.    Pendahuluan
Seiring dengan lahirnya reformasi dan diundangkannya Undang-Undang Otonomi Daerah No.22 tahun 1999 yang mengubah segala peraturan dari yang bersifat sentaralisi (top down) menjadi desentralisasi. Pusat telah memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri demi membangun daerahnya masing-masing dengan mengakomodir dan mengoptimalkan segala sumberdaya yang ada di daerah tersebut.
Upaya desentralisai atau otonomi sekolah sebenarnya telah lama diperjuangkan oleh masyarakat pendidikan. Pasalnya, sistem sentralisasi dirasa sudah tidak relevan untuk konteks Indonesia kekinian yang sekarang penduduknya lebih kompleks. Karena itu, otonomi pendidikan sudah sepantasnya diterapkan jika pendidikan di Indonesia ingin lebih maju dan setara – bahkan lebih dibanding – dengan negara yang maju dan dapat diterima oleh mereka.
Dengan adanya desentralisasi, sekolah dipacu untuk mengembangkan sekolahnya dengan lebih leluasa ke arah yang lebih baik. Di samping itu, desentralisasi merupakan tantangan baru bagi sekolah terutama yang telah terkena candu dinina bobokkan oleh pemerintah, seperti sekolah-sekolah negeri yang baru. Pihak sekolah kini dituntut untuk membuat kurikulum yang cocok dengan keadaan sendiri dan dilaksanakan oleh sendiri, tidak lagi dipasok oleh pusat.
Berangkat dari pelaksanaan otonomi daerah dan otonomi dalam dunia pendidikan tersebut, dalam makalah ini akan kami bahas mengenai : pertama, bagaimana prinsip-prinsip otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang diterapkan di Indonesia dan bagaimana implikasi otonomi daerah terhadap system pendidikan Islam dewasa ini ?


B.     Prinsip-prinsip Otonomi Daerah (Desentralisasi)
Setelah pelaksanaan Undang-undang Pemerintahan di daerah lebih dari 25 tahun dan untuk tindak lanjut tuntutan revisi Undang-undang bidang politik, Undang-undang Pemerintahan di daerah No. 05 Tahun 1974 oleh daerah lebih dirasakan menutup kesempatan bagi otonomi daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, dan berdasar aspirasi dan potensi masyarakat. Di samping itu membuat tidak berfungsinya secara optimal peran dan tugas DPRD, baik sebagai badan legislatif maupun sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
            Penyelenggaraan yang tertuang dalam Undang-undang No.05 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan di daerah adalah sebagai berikut : azaz dekonstruksi, yaitu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada aparat pemerintah pusat di daerah, azaz desentralisasi, yaitu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom atau penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya[1], dan azaz pembantuan (medebewind), yaitu penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan, secara bersama-sama dan seimbang.
            Tetapi pada kenyataannya, di daerah lebih dirasakan bahwa otonomi tersebut lebih mengutamakan azaz dekonstruksi sehingga lebih menekankan kepada prinsip penyeragaman sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat, sedang di daerah lebih mengutamakan kewenangan eksekutif, sehingga dirasakan kurang berfungsinya DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat[2].
            Hal tersebut membuat daerah-daerah menuntut dilaksanakan peninjauan kembali serta pembaharuan Undang-undang Pemerintahan Daerah yang lebih menekankan pelaksanaan azaz desentralisasi. Dengan demikian akan lebih menjamin perkembangan demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahan daerah dan mampu mengembangkan inisiatif serta check and balance dalam pelaksanaan otonomi daerah.
            Hal ini tercermin dalam sidang Istimewa MPR tahun 1998, sehingga menghasilkan Tap MPR No. XV/MPR/1998 yang mengatur tentang penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut ketetapan ini daerah diberi kewenangan yang luas dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta pembagian keuangan pusat dan daerah. Di samping itu penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan memperhatikan keaneka ragaman daerah.
            Dalam pembahasan RUU Pemerintahan daerah yang diajukan oleh pemerintah (Departemen Dalam Negeri) yang sangat mendasar dalam Undang-undang baru adalah :
-          Memberdayakan masyarakat
-          Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas
-          Meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dan meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah[3].  
Sedangkan prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1999 adalah[4] :
1.        Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keaneka ragaman daerah.
2.        Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
3.        Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang pada daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4.        Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5.        Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom.
6.        Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelnggaraan pemerintahan daerah.
7.        Pelaksanaan asas dekonstrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
8.        Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah Kepala Daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepala desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan. 
Selain itu, otonomi daerah bersifat luas, nyata dan bertanggung jawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justeru berada pada pemerintah pusat (seperti pada Negara federal), disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut hal yang diperlukan, tumbuh dan hidup dan berkembang di daerah, dan disebut bertanggung jawab karena kewenangan yang diserahkan kepada daerah itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah[5].    
C.    Desentralisasi Pendidikan : Suatu Harapan
            Beberapa bulan menjelang tahun 2000, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan baru yang dituangkan dalam Undang-undang Nomer 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah, yang diberlakukan mulai tahun 2001. Pemberlakuan otonomi daerah tersebut memberikan proporsi kewenangan kepada daerah untuk mengelola daerahnya masing-masing. Diantara kewenangan-kewenangan pusat dan daerah dapat dilihat dalam BAB IV tentang KEWENANGAN DAERAH pada pasal 7 sampai 13. Dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 misalnya, Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa (1) kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintah, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. (2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta tekhnologi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional[6].   
Begitu juga dengan pasal 11 ayat 2 yang mengemukakan bahwa bidang peman bahwa andarisasi am r daya m entang _______________________________________________________________________________erintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan dearah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Begitu juga dengan pasal-pasal yang lain[7].  
Dalam tataran ideal teoritis, otonomi pendidikan merupakan tuntutan demokratisasi dan perkembangan peradaban serta ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Masyarakat ditempatkan pada posisi otonom untuk merancang dan mengelola pendidikan, sehingga diharapkan akan tumbuh suatu format kehidupan masyarakat yang semakin mandiri, kritis dan kreatif. Hal ini menjadi semakin strategis dalam hubungan warna dengan negara dalam segala benuk ekspresi dan praktek kenegaraan[8].
            Otonomi daerah di bidang pendidikan di satu sisi tidak bisa dilepaskan dari gerakan global, yaitu demokratisasi, atau menurut istilah kontemporer adalah "proses menuju masyarakat madani". Di seluruh dunia muncul gerakan-gerakan dari bawah (grass root) yang menginginkan kehidupan yang lebih demokratis dan mengakui hak-hak asasi dalam seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Di sisi lain, ia juga merupakan kritik terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang lebih sentralistik. Selama masa Orde Baru proses pemberdayaan masyarakat daerah/local, termasuk individu, boleh dikatakan dikesampingkan. Segala sesuatu ditentukan dari atas, dan daerah dianggap tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Akibatnya, terjadi sikap ketergantungan yang tinggi terhadap pusat dan masyarakat lokal menjadi tidak mandiri, kurang inisiatif dan kurang kreatif. Pemerintah daerah, apalagi pemerintah kabupaten, boleh dikatakan tidak mempunyai wewenang apa-apa dalam penyelenggaraan pendidikan. Sekolah-sekolah telah menjadi milik pemerintah pusat, karena dikendalikan melalui berbagai peraturan yang ditentukan oleh pemerintah pusat, seperti : kurikulum, tenaga kependidikan, sarana, buku-buku pelajaran, pembiayaan dan lain-lain[9].
            Realitas tersebut menggaris bawahi adanya belenggu-belengu pendidikan yang dihadap oleh masyarakat apda masa Orde Baru. Belenggu-belenggu itu berupa sistem perundang-undangan, misalnya terlalu saratnya kurikulum, serta belenggu sentralisasi dan uniformitas, yang pada gilirannya dapat mencekal tumbuhnya diversivikasi yang menghambat terjadinya lembaga pendidikan unggulan.
Pemberian dan berlakunya otonomi pendidikan di daerah memiliki nilai strategis bagi daerah untuk berkompetisi dalam upaya membangun dan memajukan daerah-daerah di seluruh nusantara, terutama yang berkaitan langsung dengan sumber daya manusia dan alamnya dalam mendobrak kebekuan dan stagnasi yang dialami dan melingkupi masyarakat selama ini. Begitu juga dengan adanya desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah baik tingkat kabupaten atau pun kotamadya dapat memulai peranannya sebagai basis pengelolaan pendidikan dasar. Di tingkat propinsi dan kabupaten akan diadakan lembaga non structural yang melibatkan masyarakat luas untuk memberikan pertimbangan pendidikan dan kebudayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerahnya.
            Otonomi daerah di bidang pendidikan, dengan demikian berusaha memberikan kembali pendidikan kepada masyarakat pemiliknya (daerah) agar hidup dari, oleh dan untuk masyarakat di daerah tersebut, atau berusaha memandirikan suatu lembaga atau suatu daerah untuk mengurus dirinya sendiri. Makna dari otonomi pendidikan dalam hal ini adalah pendidikan dikembalikan lagi kepada the stake holder, yaitu masyarakat[10]. Sebagai konsekwensinya, maka sebagian besar sumber pembiayaan nasional akan dilimpahkan lebih banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah yang berbeda-beda. Melalui otonomi daerah, diharapkan layanan di bidang pendidikan dan kebudayaan dapat lebih memenuhi kebutuhan, lebih cepat, lebih efisien dan efektif dan lebih menegakkan aparat yang bersih dan berwibawa.
D.    Kewenangan-kewenangan dalam Otonomi Daerah di Bidang Pendidikan
Otonomi daerah telah menjadi tuntutan masyarakat. Dengan mengacu kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, Departemen Pendidikan Nasional bersama dengan tim yang ditetapkan dan instansi terkait harus dan sedang menyiapkan kebijakan bidang pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan jiwa UU No. 22 tahun 1999 tersebut.
Secara garis besar dapat disampaikan bahwa sesuai dengan pasal 11 ayat 2 UU Nomer 22 tahun 1999, salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota adalah pendidikan dan kebudayaan. Dengan demikian, pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional) hanya menetapkan kebijakan perencanaan dan pembangunan nasional secara makro, standarisasi dan kontrol kualitas di bidang pendidikan termasuk kebudayaan yang bersifat nasional. Dalam istilah manajemen biasa disebut penetapan kebijakan (steering), sedangkan aspek pelaksanaan  (rowing) diserahkan ke daerah, adapun untuk bidang agama berlaku pasal 7 ayat 1.
Terdapat kesepakatan antara Departemen Pendidikan Nasional dengan Kelompok Kerja Tim Koordinasi Tindak Lanjut Pelaksanan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999, yaitu pembagian kewenangan pemerintah, propinsi, kabupaten dan kota di bidang pendidikan dan kebudayaan, antara lain sebagai berikut :
Kewenangan pemerintah pusat
1.      Penetapan kebijakan perencanaan nasional secara makro di bidang pendidikan dan kebudayaan, antara lain menjamin pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan dengan prioritas-prioritas nasionalnya, upaya menghindari kesenjangan antara daerah di bidang pendidikan, mempertahankan integritas dan jati diri bangsa serta persatuan dan kesatuan
2.      Menetapkan sistem pendidikan nasional, sebagai konsekwensi pasal 31 UUD 45
3.      Menetapkan kebijakan (standarisasi) di bidang pendidikan dan kebudayaan, antara lain menetapkan kompetensi minimal murid, guru, dosen dan tenaga kependidikan dan kebudayaan serta kebijakan pembinaan karir dan prestasi kerja, termasuk pengajian, tunjangan, kesejahteraan, kurikulum nasional, sarana pra sarana pendidikan, evaluasi belajar dan lain sebagainya. Standar ini bersifat minimal dan daerah dipersilahkan untuk meningkatkan atau menaikkan sesuai kemampuan sumber daya masing-masing
4.      Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Dalam pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia dilaksanakan secara terpusat agar tidak terjadi keaneka ragaman bahasa Indonesia
5.      Pengelolaan UPT pemerintah pusat yang melayani secara nasional dan apabila diserahkan ke daerah tidak efisien atau menimbulkan kurang serasinya antar propinsi, seperti Pusat Pengembangan Penataran guru (PPPG)
6.      Pengelolaan perguruan tinggi karena melayani antar propinsi, persaingan regional dan global, serta efisiensi penyelenggaraan, mengingat adanya pola unggulan di perguruan tinggi akan boros kalau semua uiversitas mengadakan, seperti : kelautan dan perikatan di Universitas Pattimura dan Universitas Riau
7.      Pengendalian pembangunan secara makro, termasuk kendali mutu dan pengawasannya
8.      Konservasi yang meliputi kebijakan pemeliharaan dan perlindungan nilai budaya, nilai sejarah benda cagar budaya dan sebagainya
9.      Kerja sama luar negeri antar negara di bidang pendidikan dan kebudayaan
10.  Dalam rangka pembinaan, pemerintah memfasilitasi peneyelenggaraan otonomi melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi (pasal 112).
Kewenangan propinsi bersifat sangat terbatas
A. Desentralisasi
1.      Untuk sementara masa transisi 5-10 tahun, sambil menunggu kesiapan kabupaten dan kota, baik membiayai, membuat kurikulum, keberadaan SMU, SMK dan SLB tidak di semua kabupaten dan kota, maka pengelolaan tetap berada di propinsi dengan segala konsekwensinya
2.      Di bidang lain BPKB (Balai Pengembangan Kegiatan Belajar) taman budaya, dan museum negeri, karena satu propinsi hanya ada satu, bahkan melayani lebih dari satu propinsi.
B. Dekonsentrasi
1.      Pelaksanaan pelatihan tenaga kependidikan di Balai Penataran guru (BPG), BPKB, Balai Latihan Pendidikan Tekhnik (BLPT) dan tenaga tekhnis kebudayaan
2.      Penelitian dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia serta pemasyarakatannya
3.      Pengembangan program pendidikan luar sekolah, pemuda, keolah ragaan dan kesegaran jasmani serta rekreasi melalui BPKB
4.      Pendanaan dan pengembangan kebudayaan daerah melalui balai kajian sejarah dan nilai tradisional, suaka peninggalan sejarah dan purbakala, balai arkeologi, balai konservasi prambanan, museum sono budoyo, museum benteng, museum sangiran
5.      Memantau dan mengevaluasi semua pelaksanaan kegaiatan di atas
Kewenangan Kabupaten / Daerah Kota
            Sebelas bidang yang wajib dilaksanakan (pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja). Sesuai dengan jiwa pasal 11 beserta penjelasannya, selain SMU, SMK, SLB dan yang disebut menjadi kewenangan propinsi untuk semua kegiatan yang bersifat pelaksanaan yang sampai saat ini berada di kabupaten / kota, semuanya diserahkan bahkan ditambah yang selama ini dilaksanakan di kantor wilayah, seperti pengelolaan SLTP, SKB dan yang setiap kabupaten / kota memiliki.
Dalam bidang pendidikan, mulai dari kebijakan tentang kurikulum muatan lokal, evaluasi, percetakan buku pelajaran, pembangunan sekolah, sampai di bidang Diklusepora dan kebuadyaan, dilaksanakan secara penuh di kabupaten dan kota, tentu saja berpedoman pada kebijakan pemerintah (pusat)[11]      
E.     Implikasi Otonomi Daerah Terhadap Pengembangan Sistem Pendidikan Islam
            Menghadapi masa yang serba terbuka di alam demokrasi ini orang akan melakukan pilihan-pilihan rasional, utamanya dalam dunia pendidikan. Orang tidak akan hanya melakukan pilihan atas dasar hubungan paternalistic maupun juga atas dasar loyalitas kelompok atau paham/ideology tertentu. Jika sebelumnya, masyarakat dalam memberikan pengakuan terhadap lembaga pendidikan didasarkan atas penghargaan pemerintah, maka ke depan justeru masyarakat yang akan memberikan ukuran-ukuran tentang kekuatan masing-masing lembaga pendidikan. Itulah sebabnya lembaga pendidikan harus lebih terbuka dan mampu melihat tuntutan riil masyarakatnya[12].     
Pada era otonomi tersebut kualitas pendidikan akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Ketika pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerah bersangkutan akan maju. Sebaliknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated, tidak akan pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang.
Kebijakan pemerintah berupa pemberian otonomi daerah, mau tidak mau menuntut lembaga otonomi daerah memiliki kemandirian, terbuka dan peduli dengan tuntutan zaman dan mampu berkompetisi dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Kemandirian harus ditempuh dan tidak selayaknya lagi menunggu dari atas. Mereka bukan sekedar melakukan peran-peran sebagai pelaksana sebagaimana yang terjadi pada masa sebelumnya.
Mengenai dampak implementasi UU otonomi daerah tersebut, Mentri Pendidikan Nasional pada rapat koordinasi pejabat departemen agama Pusat dan Daerah, tanggal 29 November 1999, telah mengemukakan enam permasalahan dalam pelaksanaan UU tersebut, yaitu : masalah kepentingan nasional, mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan, pemerataan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas.
            Dalam konteks kepentingan nasional, permasalah yang perlu diantisasipasi adalah : pertama, bagaimana kita dapat menjamin bahwa wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dapat dituntaskan di semua daerah kabupaten dan daerah kota dalam waktu yang relative sama, sementara potensi dan kemampuan daerah berbeda-beda. Kedua, bagaimana kita dapat mengamankan program pendidikan dan kebudayaan yang dapat memberikan peluang kreativitas dan keragaman daerah, tetapi semuanya mengarah secara sentripetal ke kepentingan nasional melalui muatan yang sama dalam upaya pembentukan "national character building". Ketiga pendidikan merupakan investasi jangka panjang, yang kadang-kadang kurang menarik bagi sebagian pejabat daerah, karena hasilnya tidak dapat dilihat dan dinikmati, sebaliknya pembangunan fisik merupakan investasi jangka pendek yang segera dapat dilihat. Karena itu, bagaimana menjaga agar sumber dana untuk pendidikan dapat terjamin dan memperoleh prioritas dalam alokasi anggaran daerah ?, keempat, menyangkut pendidikan agama yang termasuk persoalan mendasar yang rawan, sehingga kepentingan nasional untuk membentuk masyarakat religius dalam masyarakat Indonesia yang pluralistic dapat menjadi persoalan dalam pelaksanaan di lapangan jika tidak diattur dan tidak ada rambu-rambu yang memadai[13].
Dalam konteks mutu pendidikan, permasalahannya adalah diberlakukan UU otonomi daerah tersebut apakah dapat dijamin mutu pendidikan masing-masing daerah, khususnya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang nota benenya "kurang siap" terutama dalam rangka memenuhi standar nasional dan internasional untuk menghadapi persaingan global, sedangkan kualitas sumber daya, prasarana dan kemampuan pembiayaannya bisa sangat berbeda.
Dalam konteks pemerataan, otonomi di bidang pendidikan dapat meningkatkan aspirasi masyarakat akan pendidikan yang diperkirakan juga akan meningkatnya pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan. Tetapi akan semakin dibayar mahal dengan semakin tingginya jarak antar daerah dalam pemerataan akan fasilitas pendidikan yang akhirnya akan mendororng meningkatnya kepincangan dalam mutu hasil pendidikan. Tanpa intervensi pengelolaan, anggota masyarakat dari daerah kabupaten/kota yang kaya dengan jumlah penduduk sedikit akan menikmati fasilitas lebih baik dari anggota masyarakat dari kebupaten/kota yang miskin.
            Pendekatan sentralistis tentunya sulit mengadaptasikan kurikulum dengan kebutuhan lingkungan. Oleh karena itu, program pendidikan haruslah merefleksikan kebutuhan dasar manusia agar ia layak dan cukup intelegen hidup dalam lingkungannya. Sebaliknya, kurikulum yang terlalu berorientasi kepada lingkungan akan mengurangi wawasan pembentukan kepribadian peserta didik serta membatasi horizon penalarannya. Dengan menyadari kekurangan-kekurangan ini, pendekatan desentralisasi akan banyak manfaatnya untuk memenuhi fungsi pedagogis dari system pendidikan nasional[14]. Apa yang kita angan-angankan mengenai "muatan local" dari kurikulum, pada hakikatnya merupakan penyesuaian kurikulum nasional yang baku terhadap unsur-unsur lingkungan atau dengan apa yang kita sebut sebagai hidden curriculum[15].   
Adanya Otonomi daerah tersebut yang berimplikasi pada otonomi pendidikan, merupakan tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan Islam seperti tersebut di atas untuk dapat eksis dan bertahan dalam era persaingan "global" dengan memberikan suatu tawaran dan terobosan baru, karena kalau tidak, lembaga pendidikan Islam di berbagai daerah akan dikalahkan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum yang lebih menawarkan hal-hal menarik dalam dunia pendidikan. Diantara tantangan-tantangan lain yang akan dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam di beberapa daerah yaitu :
            Tantangan yang berkaitan dengan ketidak siapan lembaga pendidikan Islam di beberapa daerah dalam mengadakan berbagai renovasi-renovasi pada aspek kurikulum yang dipergunakan dalam peningkatan mutu dan kualitas lembaga pendidikan itu. Lemahnya upaya renovasi tersebut sebagai dampak dari sentralisasi pendidikan yang berlangsung pada masa dahulu, sehingga menyebabkan ketergantungan yang tinggi kepada pusat, yang pada akhirnya menumbuhkan ketakutan dan kekhawatiran dalam penyusunan kurikulum yang dapat mengapresiasikan terhadap berbagai kepentingan social, budaya daerah. Akibatnya kurikulum yang ada pada lembaga pendidikan Islam di beberapa daerah tetap seperti dulu tanpa ada pengayaan kurikulum baru, sehingga tidak mengapresiasikan tuntutan kebutahan masyarakat di sekitar lembaga pendidikan tersebut. Akibatnya, arah pendidikan yang dilaksanakan tidak sesuai apa yang menjadi harapan masyarakat dan lingkungan sekitar.
            Lemahnya pengadaan renovasi dalam aspek kurikulum ini, selain factor di atas, juga disebabkan oleh lemahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di beberapa daerah, sehingga menghambat terhadap pengembangan dan pengayaan kurikulum yang ada. Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha keras dari berbagai lembaga pendidikan Islam di berbagai daerah untuk mengatasi hal tersebut, diantaranya adalah dengan melakukan terobosan-terobosan baru dalam aspek peningkatan kualitas sumber daya manusianya dengan berbagai cara, disamping mengurangi sifat ketergantungan yang tinggi kepada pemerintahan pusat. Dengan cara demikian, maka renovasi dan pengayaan kurikulum lembaga pendidikan Islam di beberapa daerah yang mengapresiasikan terhadap kebutuhan daerahnya akan dapat terwujud.
Disamping itu, problematika yang dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam di beberapa daerah berkaitan dengan kebijakan dan kemauan pemerintah (political will) dalam upaya menopang dan memajukan pendidikan di daerahnya. Pada kenyataannya, masih ada beberapa daerah yang pemerintahnya kurang memperhatikan aspek pendidikan, sehingga dana yang dikucurkan dalam APBD di bidang pendidikan sangat minim. Hal ini berimplikasi pada lambatnya perkembangan dari aspek pendidikan di daerah, yang menyebabkan masyarakatnya kurang berkualitas di dalam sumber daya manusianya.    
Menghadapi problematika yang sedemikian rumit, maka hal ini menjadi tanggung jawab masyarakat di daerah dengan cara memberikan masukan dan konstribusi kepada pemerintah daerah agar supaya memperhatikan dan meningkatkan APBD di bidang pendidikan. Dengan cara inilah diharapkan mampu menyadarkan pemerintah dalam mengupayakan kemajuan di bidang pendidikan.
Akan tetapi, kenyataan ini akan menjadi lain ketika hambatan daerah dalam pengembangan pendidikan berkaitan dengan kecil dan minimnya penghasilan dan pendapatan daerah setempat. Ketika hal tersebut terjadi, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mengkonsultasikan dengan pemerintah pusat tentang berbagai kebijakan otonomi daerah yang diberlakukan di daerahnya.
            Selanjutnya adalah berkaitan dengan kesiapan unsur pendidikan di beberapa daerah dalam menghadapi persaingan global. Ketika daerah tidak mampu dalam menyiapkan beberapa tenaga yang professional dalam berbagai bidang pendidikannya, maka mau tidak mau, daerah tersebut akan jauh tertinggal bila dibandingkan dengan daerah yang lain. Kenyataan yang akan dihadapi adalah pendidikan di daerah tidak akan menghasilkan produk dan out put yang mumpuni dan professional pada bidangnnya[16].
Oleh karena itu, hal tersebut haruslah menjadi catatan penting bagi lembaga pendidikan Islam di berbagai daerah agar supaya memiliki strategi ampuh dalam menghadapi era otonomi pendidikan dalam penyiapan tenaga yang professional di berbagai bidang. Cara yang dapat dilakukan oleh daerah adalah dengan mengadakan studi banding dengan daerah lain sebagai suatu analisa terhadap berbagai kekurangan daerah untuk kemudian ditindak lanjuti dengan pengayaan keilmuan dan keterampilan kerja secara professional[17].  
            Kemampuan dari konsep desentralisasi untuk mencapai atau paling tidak mendekati esensinya, akan sangat ditentukan oleh bagaimana proses pengambilan keputusan atau konsep itu sendiri dilakukan. Idealnya, proses pengambilan keputusan atas kebijakan desentralisasi pendidikan harus dilakukan melalui "bargaining" yang dinamis antara state dan society. Dengan mekanisme ini, kalaupun pada akhirnya konsep desentralisasi harus dilaksanakan, maka kehadirannya benar-benar merupakan refleksi keinginan dari pihak state dan society[18].
Dari beberapa tantangan yang dihadapi oleh berbagai lembaga pendidikan Islam tersebut di atas, maka akan dapat diketahui bahwa permasalahan dalam pengimplementasian Undang-undang Pemerintah tentang Otonomi Daerah 1999 di bidang pendidikan dapat dipetakan dalam permasalahan kepentingan nasional, permasalahan mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan, pemerataan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas.


F. Kesimpulan
·         Penyelenggaraan otonomi daerah menggunakan azaz dekonstruksi, yaitu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada aparat pemerintah pusat di daerah, azaz desentralisasi, yaitu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom dan azaz pembantuan (medebewind)
·         Otonomi pendidikan merupakan tuntutan demokratisasi dan perkembangan peradaban serta ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
·         Otonomi daerah bersifat luas, nyata dan bertanggung jawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justeru berada pada pemerintah pusat (seperti pada Negara federal), disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut hal yang diperlukan, tumbuh dan hidup dan berkembang di daerah, dan disebut bertanggung jawab karena kewenangan yang diserahkan kepada daerah itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah.
·         Kebijakan pemerintah berupa pemberian otonomi daerah, mau tidak mau menuntut lembaga otonomi daerah memiliki kemandirian, terbuka dan peduli dengan tuntutan zaman dan mampu berkompetisi dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
·         Pemberian dan berlakunya otonomi pendidikan di daerah memiliki nilai strategis bagi daerah untuk berkompetisi dalam upaya membangun dan memajukan daerah-daerah di seluruh nusantara, terutama yang berkaitan langsung dengan sumber daya manusia dan alamnya dalam mendobrak kebekuan dan stagnasi yang dialami dan melingkupi masyarakat selama ini.



DAFTAR PUSTAKA

Adisubrata, Winarna Surya, 1999, Otonomi Daerah di Era Reformasi, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Ballantine,Jeanne H, 1993, The Sociology of Education : A Systematic Analysis, Prentice Hall, Engliwood Cliffs, United State of America.
Fattah, Nanang, 2004, Landasan Manajemen Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung
Hidayat, Syarif, 2000, Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan ke Depan, Pustaka Quantum, Jakarta.
Masykur, Nur Rif'ah, 2001, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, PT Permata Artistika Kreasi, Jakarta.
Muhaimin, 2002, Paradigma Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
________, 2003, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Mulkhan, Abdul Munir, 2002, Nalar Spiritual Pendidikan : Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, PT Tiara Wacana, Yogyakarta.
PERTA (Jurnal Komunikasi Peruruan Tinggi Islam, Vol. III, No. 01, 2000
Sujamto, 1993, Perspektif Otonomi Daerah, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Sujamto, 1988, Desentralisasi Versus Sentralisasi dalam Cakrawala Otonomi Daerah.
Suprayogo, Imam, 2004, Pendidikan Berparadigma al-Qur'an : Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam, UINPRESS, Malang.
Tilaar, H.A.R, 1994, Manajemen Pendidikan Nasional : Kajian Pendidikan Masa Depan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
___________, 2002, Membenahi Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta
Tim ICCE UIN Jakarta, 2003, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.




[1] Sujamto, 1993, Perspektif Otonomi Daerah, PT Rineka Cipta, Jakarta, hal : 13.
[2] Baca Sujamto, 1988, Desentralisasi Versus Sentralisasi dalam Cakrawala Otonomi Daerah, hal : 27.
[3] Winarna Surya Adisubrata, 1999, Otonomi Daerah di Era Reformasi, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, hal : 10.
[4] Nur Rif'ah Masykur, 2001, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah,, PT Permata Artistika Kreasi, Jakarta, hal : 21.
[5] Tim ICCE UIN Jakarta, 2003, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hal 169.
[6] Winarna Surya Adisubrata, Op-cit, hal : 48
[7] Ibid, hal : 50
[8] Abdul Munir Mulkhan, 2002, Nalar Spiritual Pendidikan : Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, PT Tiara Wacana, Yogyakarta,  hal 251.
[9] Muhaimin, 2003, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal : 280.
[10] H.A.R Tilaar, 2002, Membenahi Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, hal : 76.
[11] PERTA (Jurnal Komunikasi Peruruan Tinggi Islam, Vol. III, No. 01, 2000, hal : 6-8.
[12] Imam Suprayogo, 2004, Pendidikan Berparadigma al-Qur'an : Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam, UINPRESS, Malang,  hal : 133.
[13] Muhaimin, 2003, Op-Cit, hal : 282.
[14] H.A.R Tilaar, 1994, Manajemen Pendidikan Nasional : Kajian Pendidikan Masa Depan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal : 40.
[15] Jeanne H. Ballantine, 1993, The Sociology of Education : A Systematic Analysis, Prentice Hall, Engliwood Cliffs, United State of America, hal : 220.
[16] Muhaimin, 2002, Paradigma Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal : 119-120.
[17] Nanang Fattah, 2004, Landasan Manajemen Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal : 15.
[18] Syarif Hidayat, 2000, Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan ke Depan, Pustaka Quantum, Jakarta, hal : 23.

My Family

My Family
Kunjungan Dosen Native Speaker dari Sudan

My Duty

My Duty
Pelatihan Model Pembelajaran